21

4 0 0
                                    

Khia hampir kesetanan sendiri di lorong rumah sakit ini: menunggu tanpa kabar pasti bersama abangnya dan orang tua Laké.

Pelukan Bang Jio terasa tidak seperti pelukan. Apakah karena ia merasa terlalu takut, gelisah? Ritme napas Khia belum mau mereda dan darahnya rasanya masih berdesir kencang.

Dokter keluar dari balik tirai unit gawat darurat. Wajahnya tampak serius dan orang tua Laké yang sedari tadi juga duduk dengan sama tidak tenangnya itu sontak berdiri kalut atas keadaan putra satu-satunya mereka.

"Saya berbincang dengan orang tua dari Laké... Toer?" ia bertanya setelah melihat lagi berkas nama Laké.

"Benar, dokter." Apak Laké menjawab dengan nada tergesa-gesa.

"Laké terkena pukulan yang cukup kuat sampai dia tidak sadarkan diri dan saya harus memastikan damage pukulannya apakah separah itu." Jelasnya. "Boleh salah seorang dari Bapak atau Ibu mengikuti saya ke depan untuk menandatangani berkas? Anak Bapak dan Ibu tampaknya butuh ke radiologi."

Amak Laké terduduk kembali. Tindakannya itu membuat suaminya langsung paham bahwa dialah yang harus mengikuti sang dokter.

Jio membawa Khia menjauh, memberikan ruang kepada Amak Laké yang sudah memegang kepalanya karena pening. Rasa gelisahnya belum akan berakhir selagi putranya masih terbaring disana.

"Bang, tadi kata Mbak Lasmi, Laké kok bisa sampai kayak gini?" sang gadis bertanya.

"Dipukul dari belakang sama Abby waktu Laké sibuk kelahi sama Eric."

Oh, Tuhan... jangan bilang, cowok itu mencari Eric dan menghajarnya karena Khia? Si gadis memang merasa tidak tenang saat ia menyadari bahwa Laké yang kata abangnya harusnya bersamanya dan menunggu di pintu tiba-tiba menghilang entah kemana.

Semua rutukan yang ada di kepala Khia dituangkannya dengan bar-bar di tempat. Bang Jio tidak terlalu peduli orang-orang melihat ke arah mereka atas kalimat-kalimat tidak beradab itu.

"Sekarang mereka berdua dimana?"

"Eric dirawat di rumah sakit juga karena ternyata pacar lo tuh bukan lover. Anjirlah, karena Anarkhia Lai', Laké sampai turun ke lapangan lagi." Tawanya singkat, berusaha mencairkan atmosfer gila yang dibangun oleh adiknya. "Iya, iya. Jangan natap gue dengan tatapan serem gitu. Kalau mau ngebunuh, mending sekalian si Abby aja. Anaknya di rumah sakit ini."

"Ngapain, bangsat?" Khia sontak ingin berjalan mengelilingi rumah sakit ini dan mencari tahu kemana gadis sialan itu. Sayangnya, abangnya yang tahu gerakannya berikutnya langsung menahannya di tempat. "Bang, jangan nahan gue, sumpah."

"Tenangin diri dulu." Khia memotongnya dengan tatapannya. Makanya, Bang Jio langsung cepat-cepat melanjutkan. "Gue tahu memang susah buat tenang di detik begini, tapi lo harus tenang biar nggak buat lo ditahan padahal harusnya lo bisa datengin kamar Laké waktu cowok itu sadar nanti."

"Tapi, Bang, cewek bajingan itu—" benar-benar harus diselesaikan sebelum Laké-nya terkena kekacauan lain.

"Gue tahu. Kawan gue dibuat sama dia nggak sadarkan diri. Tunggu sampai at least cowok lo sadar, baru lo hajar si Abigail." Setidaknya janji itu tidak muluk-muluk. Khia berusaha menenangkan tempo napasnya. "Okay?"

Khia tidak perlu menjawab ketika gestur tubuhnya sudah bisa dibaca oleh abangnya. Setidaknya, kalau begitu, Bang Jio juga bisa bernapas. "Rokok?" tanyanya sambil merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebungkus rokok dari dalamnya. "Udah bibir asem, kepala gue bentar lagi pecah." Khia menolaknya. Rokok tidak bisa membantu kekhawatirannya terhadap Laké Toer itu.

Kegelisahan masih menyelimuti Khia sampai kira-kira pukul setengah enam saat cowok yang ia tunggu-tunggu kabar baiknya itu tersadar. Dia dan Bang Jio masuk juga setelah giliran Apak dan Amaknya yang keluar dengan raut wajah yang lebih lega daripada sebelumnya.

"Laké?" panggil Khia. Dia tidak bisa menahannya. "Oh, Tuhan."

Dengan cepat, gadis itu langsung ke samping ranjang tidurnya dan memegang lembut tangan kanan Laké untuk ia elus.

"Lo bikin gue takut." Khia menempelkan tangan mereka yang bertautan ke dahinya. "Jangan lagi, tolong."

"Maaf, ya." Laké tersenyum tipis. "Kemarin kelepasan soalnya pacar gue diejekin sama cowok nggak jelas gitu."

"Please, ya. Jangan ngebucin depan mata gue. Lo udah kena hantam di belakang kepala aja masih flirting, anjir." Jio ingin menggamparnya lagi tetapi ia tidak butuh huru-hara lain untuk hari ini. Apalagi usai ini, adiknya pasti akan melakukan sesuatu terhadap anak keluarga Kriyani itu.

"Laké." Khia memanggilnya dan Laké senang dengan namanya sendiri tiap keluar dari bibir sang gadis. "Yang mukul kepala lo tadi beneran si—"

"Iya, Abby." Dia menelan salivanya. Entah bagaimana, masih terasa berat untuknya.

Khia menggertakkan giginya, ngilu. "Mana bikang na?"








*

:bikang (bahasa Sunda) berarti betina / ucapan tentang perempuan yang sangat kasar dan cenderung digunakan untuk istilah hewan.

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang