Khia selalu merasa dia dan abangnya hidup di dua dunia yang berbeda.
Abangnya selalu tengil dan terlibat masalah, dan dia senang dengan ejekan orang-orang. Entah apa yang membuatnya sepercaya diri itu, sedangkan dia lebih seperti yang selalu ingin orang-orang melihatnya dalam tampilan terbaik.
Meski sesungguhnya ia tidak merasa demikian, ia harus meyakinkan semua orang kalau anak bungsu keluarga Lai' itu tidak seperti kakak laki-lakinya.
Jadi, ketika Bang Jio mengajaknya, "Khi, daripada skill nge-drum lo cuma sebatas di rumah, mending join band ano gue." Khia tidak bisa menolaknya.
Ia selalu butuh tempat untuk menunjukkan dirinya yang sesungguhnya, dan dengan jaminan bahwa identitasnya tidak ketahuan, dia akan menyetujui perjanjian menguntungkan ini.
"Mikirin apa lo?" itu Bang Jio, menanyai kondisinya sejak di jalan tadi. "Kebanyakan bengong lo. Kenapa, sih? Gara-gara Laké, ya, waktu itu?"
Pikirannya yang melayang kepada asal-muasal dia mau-mau saja ikut band ciptaan Jio dan beberapa kawan angkatannya itu langsung beralih kepada cowok yang ia goda beberapa hari lalu. Sialan si Jio. Dia tidak tahu, ya, Khia sudah berusaha sekuat mungkin agar tidak teringat tentang Laké?
"Lo bisa diem nggak, sih? Nggak ada yang mikirin Laké."
"Kasihan dah si Laké. Padahal dia mikirin lo."
Meski tidak mau menunjukkan bahwa dirinya penasaran dan ingin mendengar topik ini lebih dalam lagi, dia tetap bersuara. "Siapa yang bilang dia mikirin gue? Nggak mungkin, lah."
"Kata siapa? Kan gue temennya." Khia mau mengulik lebih lanjut tapi sepertinya cowok itu sudah tahu dia ingin bertanya lebih banyak, jadi Khia ditinggalkan begitu saja. "Udah, ya, gue mau nyari si Riko."
Entah apakah karena Jio bertingkah sebagaimana dia biasanya, yang usil itu kepadanya sampai si gadis tidak sadar sudah waktunya tampil didepan semua penonton. Rasa gugupnya yang harusnya sudah datang meski dia sudah mengadakan pertunjukan lewat band ini—bahkan dengan topeng—tidak datang juga.
Di malam Minggu, mungkin sekitar jam sembilan dan tangan sibuk bermain diatas alat musiknya, Khia menyadari ada satu pasang mata yang tidak dia sangka akan membuatnya sesadar itu.
Laké, cowok dengan nama keluarga yang tidak ia ketahui sampai detik itu, melihatnya dengan anteng dan senyuman—yang ingin Khia sebut sebagai senyum centil. Fuck, man.
Khia tidak mau melihatnya karena bisa-bisa seringai jahil itu membuatnya tidak fokus dengan pertunjukannya.
Bodoh amatlah, Laké. Siapa suruh berhasil buat Khia jadi suka centil sendiri kalau berbincang dengan dia?
*
Malam itu berlalu dengan cepat ketika Khia menyadari dia sudah mengemper di warung depan kafe tempatnya setelah tampil. Dia berharap habis-habisan agar Laké langsung pulang karena disuruh orang tuanya.
Tapi, ketika ia menyuapkan daging lele dan nasi dalam satu suapan besar, cowok itu muncul begitu saja didepannya.
Bang Jio dan teman-teman band-nya yang lain langsung minggir dari posisi duduk mereka yang sebelumnya, membiarkan orang yang baru datang dan sudah menyaksikan dua momen paling memalukan dan banyak tingkah oleh Khia didepan matanya, duduk di seberang meja ini. Di seberangnya, untuk informasi saja.
"Hai, Anarkhi." Sapanya, membuat Khia yang sedang mencoba menelan makanannya mengangguk-angguk tanpa suara. "Jarang ngelihat lo belakangan ini."
Khia hanya tersenyum.
Sedangkan Laké menyandarkan pipi kirinya di tangan kirinya pula. Tatapannya seperti tatapan merayu seorang lelaki kepada perempuan mereka.
"Tadi perform-nya bagus, anyway."
"Thanks, Laké." Bisa tidak si Laké mengobrol saja dengan abangnya atau teman-temannya yang lain?
"Ké, ngomong-ngomong—" cowok itu beralih ke arah Bang Jio, yang membuat Khia juga mengalihkan pandangnya. Dia memaksa senyumnya, yang alasannya juga tidak ia ketahui.
Diam-diam, Khia melirik ke arah cowok didepannya juga sih meskipun mereka tidak melanjutkan pembicaraan. Sibuk memandangnya dalam rahasia, Khia mendengar suara cowok lain dari arah belakangnya karena ia duduk dengan posisi membelakangi arah kafe tempatnya manggung tadi.
Suara yang familier dan dihafal oleh telinganya meski setengah bindeng. "Jio, nggak nyangka bakal ketemu lo pada disini."
Khia melihat kepada abangnya sekarang dan meskipun Bang Jio berusaha untuk menutupinya, sorot matanya tidak bisa berbohong. "Udah lama gue nggak lihat lo, Erik."
"Hai, Khia." Suara Erik di sebelah daun telinga Khia, dan cewek itu mematung. "Udah lama deh nggak ketemu sama lo."
Erik masih sama seperti terakhir kali Khia melihatnya. Kalau seperti perkataan abangnya saat dia putus dengan cowok ini 'baik-baik', Erik Pratama itu udah berengsek, nggak tahu lagi dirinya begajulan.
"Hai, Erik." Cicitnya, seolah Erik Pratama yang itu tidak akan menjauh dari daun telinganya kalau tidak ia jawab sapaannya.
"Mau kemana lo habis ini, Rik?" Bang Jio menanyainya lagi tetapi hembusan napasnya yang terasa ringan dan tidak tahu diri itu terus menghantui indra pendengaran si gadis.
"Udah nanya habis dari sini aja lo, Yo. Ngusir gue, kah?"
Bang Jio tertawa formalitas. "Nanya aja, Rik. Kan lo sibuk melulu."
"Oh, kirain males ketemu sama mantan gitaris kesayangan Midmann." Khia rela harus menerima karbon dioksida didekat telinganya asal bukan dari yang satu ini. "Gue tadi nonton pertunjukan lo pada. Nggak ngira lo sekarang jadi gitaris, Yan. Butuh uang juga ternyata anak kesayangan keluarga?"
"Haha." Tawa singkat keluar dari bibir Bang Ian. "Bisa aja lo, Rik."
"Sisanya masih sama aja kayaknya, tuh? Gimana dunia malem lo, Ké?"
"Bisa aja bercandaan lo." Yang disebut namanya berdiri. Tingginya yang semampai dan setara dengan Erik hanya menatapnya dengan tatapan seolah ia bisa saja mematahkan tangan siapapun di tenda itu.
Berjalan ke arah Khia dan Erik, gadis itu menyaksikan Laké berdiri disebelahnya dengan raut tak terprediksi.
Khia menengadah untuk memperkirakannya. "Berdiri aja, Anarkhi." Suara bass itu, dengan nada mengancam. "Udah kelar jam malam hari ini."
"Lo pada masa udah pulang sekarang? Payah amat, lovebirds." Erik mendekat ke Khia. "Padahal gue kangen loh, Khi."
"Minggir." Laké berujar kembali. Ia menggertakan giginya.
Buru-buru meninggalkan tempat itu, Laké cepat mengenggam tangan Khia, meninggalkan Erik dan segala rahasia yang ada di tempatnya masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Manners
Teen FictionDi tengah sirene polisi dan suara drum yang tidak boleh terlihat dipukul sempurna oleh si gadis yang katanya anak paling pendiam di sepenjuru kota Bandung, Khia menyimpan rahasia. Katakan Laké Toer jenius langsung menebak jitu Anarkhia Lai' bukan ga...