Part 24 - Flashback

77 11 2
                                    

Umurnya beranjak lima tahun kala menyadari ada sesuatu pada dirinya yang menjadikannya beda. Itu adalah alasan mengapa sejak lima belas menit lamanya, Jaemin mematut diri di depan kaca panjang di dalam kamar. Anak kecil itu menatap lamat bayangannya sendiri.

Dia mendongak ketika bayangan tubuh dewasa berdiri di sampingnya. Sosok paman Kim yang baru saja datang, kini ikut menatap pantulan cermin yang kini menampilkan dua sosok beda usia.

"Apa yang Anda lihat, Tuan Muda?"

Sejenak keadaan hening sebelum Jaemin menjawab, "Mataku."

Kim menunduk dan mata mereka bertemu di dalam cermin. "Kenapa dengan mata Anda?"

"Warnanya berbeda." Dia mengatakan hal yang sejauh ini telah Ia amati.

Iris matanya kelabu gelap, berbeda dengan Jeno yang hitam kecoklatan dengan bentuk mata bulan separuh, dimana hampir semua anggota keluarga Elbenezer memiliki ciri itu, bahkan ibunya, meski bentuk matanya lebih terlihat penuh.

Ia telah menyadarinya sedari lama, tapi baru memikirkannya ketika salah satu anak di sekolah meledeknya karena ciri fisik itu lebih terlihat seperti cacat.

Di usia belia itu, Jaemin menyadari dirinya teramat berbeda. Tidak ada satupun dari keluarga Elbenezer yang punya manik mata kelabu gelap, yang ternyata makin terang kian bertambahnya usia. Kulitnya yang juga pucat membuatnya tampak transparan saat siang terik dan tak terlihat kala malam tiba. Cukup dengan fisik itu, orang-orang telah melihatnya dengan keraguan sebagai salah satu pewaris darah keluarga bangsawan penguasa Nessel.

"Mungkin itu karena anda istimewa, Tuan Muda." Hari itu, dia mendapat jawaban yang tidak menjelaskan dari paman Kim.

Pikirannya masih polos kekanak-kanakan saat waktu itu tiba; pengasingannya, masa kelamnya.

Jaemin adalah sosok yang cerdas. Usia sepuluh tahun, dia telah dapat menalar tentang apa sudah terjadi pada hidupnya tidak seharusnya Ia dapatkan. Tapi Jaemin tidak bisa melakukan apapun meski ingin memborbardir tanya. Setiap dia mengeluh atau menanyakan kenapa sang nenek melakukan semua hal kejam itu padanya, dia akan lebih membuat Jaemin tersiksa hingga tak bisa lagi bersuara. Lagipula, tak ada yang mendengarkan. Dia tidak punya satupun orang di sampingnya.

Terbiasa sendiri, membentuk nya menjadi pribadi yang lebih suka menyendiri. Pengasingan di rumah bukit telah membentuknya menjadi pribadi dengan sifat yang berbeda dari anak kecil kebanyakan.

Anak polos pendiam itu menjadi lebih pendiam sebab Ia hampir kehilangan sebagian besar kosa kata. Nyonya Tua tak suka kebisingan, tapi agaknya keterlaluan sebab di rumah itu tak dibiarkan seorang pun membuka suara barang satu hela napas tanpa seizin dua nyonya itu.

Apalagi, tekanan dan ketakutan yang membebani Jaemin makin membuat anak itu kehilangan jati diri disertai trauma.

Dia sempat kehilangan arah hidup untuk sesaat. Tidak ada orang yang berdiri di sampingnya ketika statusnya dipertanyakan. Tidak ada yang menggenggam tangannya ketika dia dorong untuk diam di tempat dan tak berbuat apa-apa.

Daripada dirinya yang di abaikan, dia pasti akan lebih senang jika dilibatkan dalam hal sekecil apapun itu. Jaemin bahkan tidak akan menuntut perannya akan sepenting Jeno, tapi bahkan ayahnya sendiri enggan mengajaknya berbicara meski sekadar basa-basi.

Apalagi di keluarga itu, tidak ada satu orang pun yang menaruh peduli pada si anak kecil bermata kelabu. Di dalam atau di luar rumah, dia hanya akan menjadi asing.

**

Klik

DOR!!

The ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang