17

28 13 0
                                    

Ujian telah selesai. Nilai gue emang ga pernah ada harapan. Yang penting bisa lulus aja udah syukur.

Pengambilan rapot udah selesai dari satu jam yang lalu. Tapi sedari pagi Upit belum menampakkan batang hidungnya. Ga biasanya dia bolos, apalagi hari ini jadwal ambil raport.

Udah gue kirim pesan dan juga telepon berkali kali. Tak ada jawaban sama sekali. Kalo dia sakit biasanya langsung bilang. Tapi ini... gue jadi khawatir.

Gue memutuskan pergi ke pantinya yang ga jauh dari kosan.
Ya Upit juga yatim piatu sama kayak gue. Dan hal itu mungkin yang bikin kita berdua mudah akrab.

Dia kemana sebenarnya. Ibu pantinya bilang kalo Upit pergi ke sekolah hari ini.
Sepertinya ada yang ga beres. Ga biasanya dia ngilang gini.

Notifikasi ponsel mebuyarkan lamunan. Pesan dari Upit.

To.
Trimakasih Herin.

Apa maksudnya?.
Setelah puluhan chat gue kirim yang ga dia bales. Bisa bisanya balesannya seaneh itu. Pikiran gue yang kacau memaksa gue melacak ponsel Upit. Ketemu, tanpa lama lama gue menuju kearea gedung mangkrak tak jauh dari Minimarket.
Ngapain dia disana.

Tubuh ini melesat cepat keatas rooftop bangunan tinggi ini. Nafas yang tersenggal senggal bikin gue makin gemetar. Gue berharap gaada sesuatu yang buruk terjadi sama Upit.

Brakkk

Gue tendang pintu besi sekuat tenaga. Setelah terbuka kepala beredar memantau dimanakah gerangan Upit. Dan dia... dia...
Tanpa menunggu lama gue berlari sekencang mungkin. Menariknya dan melemparkannya kesisi yang aman.
Menjauhkannya dari pinggiran batas gedung.
Pikiran gue kacau. Gue hancur liat Upit sehancur itu.

" GILA LO...!".
Gue hanya bisa memeluknya dan menangis kejer.
Entah apa yang terjadi kalo gue terlambat beberapa saat saja.

Hal buruk lainnya yang ga pernah gue pikirkan kembali menghampiri.
Apa yang terjadi padanya. Seberat itukah beban yang dia pikul sampai mau mengakhiri semua.

Tubuh Upit bergetar hebat. Menangis sesenggukan. Sorot matanya kosong. Tubuhnya lemah. Dan... dan .. tangannya... memegang...perut?.

Hahah gimana bisa takdir bisa seburuk ini. Tubuh gue boleh 17 tahun tapi jiwa gue tetep 25 tahun. Tubuh berisi yang akhir akhir ini gue kira karna dia lagi suka makan ternyata.. hamil.

Setelah Upit tenang gue membawanya ke taman kota untuk menjernihkan pikiran. Gue gamau ambil resiko membiarkan dia tetap disini dan mengajaknya bicara.

Air pada botol mineral yang sisa setengah sedari tadi menjadi objek yang cukup menarik dimatanya. Tanpa ada obrolan sama sekali. Angin yang berhembus cukup menenangkan.

Gue sadar gue ga sedewasa itu untuk menggurui. Tapi disaat ini dia mungkin hanya ingin didengar.

" Lo udah bicarain ini sama bapaknya?".

Dia tertegun dan seketika menoleh.

" Rin..?".

Dia kembali menangis.
Dan dia mengangguk.

Sepertinya kali ini bukan kabar yang baik.

" Dia minta aku buat g.. gu.. gugurin ..."
Kepalanya menunduk.

"Siapa bajingan itu?".

Tanya gue serius. Gue marah. Gue marah banget. Gue sampai saat ini masih berjuang buat mempertanggung jawabkan hidup gue mati matian. Tapi bagaimana seseorang dengan mudahnya membuang tanggung jawab begitu aja.

" Kenapa...? Kenapa kamu ga marah? Kenapa kamu ga jijik sama aku? Kenapa Rin?".

Tanyanya sesenggukan dengan nada meninggi. Wajahnya benar benar kacau.
Kenapa gue ga menyedarinya dari awal. Gue amat menyesal.

Bukan Pemeran (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang