# Herin POV
Sebulan berlalu sejak pembicaaran ditaman belakang.
Bara tetap Bara yang sama. Tak ada perubahan sama sekali. Oh satu, dia menjadi sangat berisik.Semua hal yang kulakukan pasti dia komentari. Rata rata komentarnya berupa nyinyiran. Sudah mirip emak emak emang.
Seperti hari ini, aku padahal sudah mengirimkan chat bahwa aku izin untuk pergi sebentar sepulang menjemput Evan.
Tapi saat aku balik dia tidak berhenti mengomel. Untung dia mengajak obrolan unfaedah ini di ruang kerjanya.
Aku sudah benar benar malu pada Mbok Ipah sebulan ini." Kamu ijinnya kan hanya 2 jam. Kenapa baliknya telat?". Tuh kan mulai.
" Maaf pak, tadi saya udah chat bapak kalau ban motor saya bocor jadi harus mampir dulu ke bengkel". Apa dia tidak buka hp.
" Saya merasa tidak menerima chat dari kamu?".
" Tapi saya udah beneran kirim pak".
" Kamu dari mana memangnya?".
" Dari bengkel pak.....".
" Sebelum itu".
" RSJ"
Setelah mendengarnya terlihat alisnya menukik.
" Siapa yang sakit?"
" Saya".
Iya aku sudah menjalani pengobatan sejak 3 tahun yang lalu.
Memikirkan semua kemungkinan yang terjadi pada novel membuatku depresi. Aku selalu menyalahkan keadaan setiap hari.Semakin hari jiwaku semakin sakit. Dan rasa sakit itu perlahan membunuhku. Semakin kucoba mencari jawabannya sendiri, makin membuatku kesakitan.
Aku tidak bisa mati seperti ini. Kalau memang jawaban itu tidak bisa kutemukan, artinya mungkin yang salah bukan keadaan. Tapi bisa jadi selama ini kesalahan itu ada padaku. Pada diriku sendiri.
Sehingga kuputuskan untuk mengobatinya secara medis melalui seorang psikolog.
Saat itu aku memberanikaan diri menceritakannya pada Upit tentang semua hal konyol yang sangat aku percayai. Setelah mendengarnya dia terkejut dan memaksaku untuk segera berobat.
Aku bimbang tapi aku juga ingin tahu kebenarannya seperti apa. Aku akhirnya menurut. Dia selalu mensupport penuh.Aku dinyatakan sembuh setelah menjalani pengobatan kurang lebih dua tahun.
Tetapi melihat psikisku yang begitu lemah, pihak rumah sakit menganjurkan agar selalu chek up rutin sebulan sekali.Faktanya Novel dan dunia nyata yang kuyakini itu hanyalah halusinasiku. Rasa trauma mendalam dimasa lalu yang terbawa hingga dewasa menjadi penyebabnya.
Alam bawah sadarku mengarang sebuah skenario sebagai bahan pengalihan rasa sakit yang aku derita.Selama bertahun tahun aku sakit begitu parah namun diriku tidak menyadarinya.
Mendapatkan kenyataan itu. Akhirnya jiwaku merasakan apa itu kebebasan.
Semua beban itu rasanya luntur. Jiwaku begitu ringan dan aku benar benar bersyukur.Aku menceritakan hal itu pada Majikanku. Dia tersenyum lega setelah hanya raut khawatir yang dia perlihatkan dari tadi.
Dan ada satu hal yang sangat ingin aku tanyakan padanya. Aku sangat ragu sebenarnya, dan tidak yakin dengan hal ini. Dia begitu mementingkan apa yang menurutnya penting. Dan masalah itu kuyakin bukan termasuk list urusannya. Tapi akan kucoba.
" Pak, ehmmm boleh ga saya melihat chip 6 tahun lalu yang pernah saya berikan sama bapak? Apa masih ada?".
Kemudian dia terlihat membuka loker dibawah meja. Mengeluarka sebuah dompet dan ya chip itu tersimpan rapi didalam sana. Dia masih menyimpannya?. Waw.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran (END)
Teen FictionIni cerita pertamaku Jadi kalo gaje, ga paham dan acak adul mohon kritik saran yaaa MAKASI Gabisa bikin deskripsi, so...