23

30 19 0
                                    

Dering telfon beberapa saat lalu membangunkanku dari alam mimpi. Jam satu dini hari tepat majikanku itu mengatakan bahwa Evan badannya panas. Aku dengan setengah kesadaranku mengatakan untuk membawanya ke dokter. Tapi dia menolaknya dan menyuruhku untuk datang kesana sekarang juga. Sefleksibel itu memang jam kerjaku.

Aku tidak berpamitan dengan Upit. Aku tidak tega membangunkannya.
Alhasil disinilah aku, diatas motor Upit yang aku pinjam tanpa pamit.
Titik titik air mulai berjatuhan. Dan yaa aku kehujanan. Tanpa persiapan jas hujan atau apapun.

Sampailah aku dirumah Bara dengan basah kuyup.
Ku pencet bel dengan brutal efek  tubuh yang menggigil kedinginan.
Dibukalah pintu oleh Mbok Ipah. Raut wajahnya terlihat khawatir. Dia menggiringku ke kamarnya sebentar untuk mengganti baju. Daster lemgan panjang yang untungnya muat.

Kunaiki tangga segera membuka pintu perlahan dan mendapati Evan yang tengah tidur dengan tidak nyaman. Dan tidak lupa Bara yang senantiasa di sampingnya.

Kulangkahkan kaki mendekat.
Mengecek suhu badannya. Dia demam dan setelah mengecek thermometer suhunya sangat tinggi.
Suhu setinggi ini rawan sekali anak mengalami kejang.

" Dari kapan dia seperti ini pak?. Tadi malam pas saya tinggal dia baik baik aja... ".

Tak ada jawaban. Yang kudapati hanya raut khawatir. Dia sepertinya syok.

" Mbok...?".

" Iya non?".

" Boleh minta tolong bawakan bawang merah yang sudah diiris dua siung aja, sama handuk untuk ngompres ga mbok?"

" I.. iya non sebentar non. Mbok ambilkan".

Aku bangkit mengambil minyak kayu putih dilaci tempat p3k.
Mengambil baskom dengan air dingin dari kamar mandi yang memang terletak didalam kamar Evan.

Mbok Ipah telah kembali membawa barang yang aku minta. Setelahnya aku baluri tubuh Evan dengan minyak yang telah kucampur dengan bawang merah. Dan mengompres dahinya.
Dan saat aku akan membuka pakaiannya...

" Ngapain kamu buka? Kamu mau anak saya masuk angin?".

Tak kuhiraukan omongan dia dan tetap melanjutkannya.
Setelah beberapa saat ku cek kembali suhunya dan syukurlah sudah tidak setinggi tadi.

" Suhu badan Evan tinggi sekali, kalau pakaiannya tidak dibuka dia bisa makin panas. Saat suhu anak setinggi ini rawan terjadi kejang. Bapak mau anak bapak kejang?".
Tanyaku tanpa menoleh.
Aku tau dia syok mendapati anaknya seperti ini. Tapi bisakah mulutnya itu tidak nyinyir sebentar.

Mbok Ipah yang sepertinya memahamiku menawarkan untuk mengganti air kompresan. Aku tau Mbok Ipah juga berpengalaman soal beginian. Tapi sepertinya sikap Bara yang otoriter membuatnya kesulitan untuk membantu dari tadi.

" Mbak... mbak..".

Ucap evan lirih. Sepertinya dia mengingau.
Kuusap keringat nya yang bercucuran dan kembali mengompresnya dengan air dingin.

Dan tidak terasa sudah pagi. Aku menemani Evan tidur semalaman setelah memastikan suhu badannya turun.
Aku mengeceknya kembali dan syukurlah suhunya kembali normal.

Aku turun kedapur untuk membuatkannya bubur.
Saat sedang mengaduk bubur yang hampir matang, deritan kursi menyit perhatian. Bara yang sudah rapi dengan jasnya terlihat siap untuk pergi kekantor.

Tak habis pikir, bagaimana bisa dia kekantor disaat anaknya sedang sakit begini.

" Saya sarapan bubur ya Mbok".

" Tapi ini buburnya untuk..." aku segera mencolek lengan Mbok Ipah. Mengisyaratkan agar mematuhi perintahnya saja. Aku tidak mau terjebak lama lama dengan Bara disini.

Bukan Pemeran (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang