20

29 16 0
                                    

Kebahagiaan itu hal ambigu. Tapi penderitaan begitu jelas.

Bagaimana bisa sesuatu yang tak terduga ini terjadi.

" Pake dulu bajunya ". Ucap Bara pada Evan dan menurunkannya.

Aku masih setia mematung disini.
Sampai Evan menarik tanganku membuat kesandaranku kembali.
Ku taruh ember kecil dan mulai memakaikan kaos pada tubuh mungilnya.

" Mbak mau jemur baju dibelakang ya?" Tanya Evan yang sudah menjadi kebiasaan beberapa hari ini sejak dia masuk sekolah.
Aku mengangguk.

" Aku boleh ikut?".
Aku kembali mengangguk. Dan mulai menggandeng tangannya keluar.
Aku tak berani mengeluarkan suara, takut kalau suara yang keluar terdengar bergetar.

Dan aku sadar bahwa rasa itu masih tersimpan rapi didalam sana. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi sedari tadi aku merasakan tatapan menusuk yang mengintai punggungku. Sampai aku berlalu menuju area belakang.

" Mbak sakit ya?".

Aku menggeleng.

" Mbak kenapa?".

" Mbak gapapa... Setelah ini Evan makan terus istirahat. Oke?".
Dia mengangguk sambil menyerahkan cucian ditangannya yang mungil padaku. Ya Evan terbiasa membantu memeras cucian juga, katanya itu bisa membantunya cepat besar. Entah dimana korelasinya :(.

Setelah membuatkannya makan siang dan membantunya tidur. Aku kembali ke dapur untuk mencuci piring kotor.

" Ke ruangan saya!" Suara berat itu cukup mengagetkan. Aku seketika menoleh tapi sang pelaku sudah berlalu manaiki tangga.
Dia masih berpengaruh sebesar ini pada jantungku.

Aku mengikutinya dari belakang. Dengan jarak yang cukup jauh.
Mungkin ini hanya formalitas kerja  ya jangan berpikir aneh aneh.

Tok tok tok.

"Masuk".

Aku pun masuk. Berjalan ke hadapannya sambil menunduk.

" Duduk".

Huft jantungku!!!.

Dia berjalan menuju sofa yang bersebrangan dengan yang sedang kududuki sekarang.

" Kontrak kamu dua tahun, saya minta tolong untuk menjaga Evan dengan baik. Apapun yang Evan butuhkan kamu bisa langsung bilang sama saya biar nanti saya urus".

" B.. Baik pak" kenapa jadi gugup gini.

" Karina sudah mengatakan semuanya kan?"

" sudah pak".

" kalau jawab itu lihat saya, memangnya lantai lebih ganteng dari muka saya!" Ucapmya sarkas yang sarat narsis. Perangai memang ga bisa diubah.

Aku mendongak menatap matanya dengan sekuat hati. Suami orang suami orang.

" Bagaimana kabar kamu?"

BOOM...

Hancur sudah pertahanan.

" Kalau sudah tidak ada hal penting lagi, saya izin kembali bekerja pak".
Semua ini ga baik untuk jantung, untuk hati, untuk masa depan. Aku gamau dicap sebagai pelakor. Hanya dengan dia yang menanyakan kabar, aku takut hatiku goyah.

Ku berdiri dan bergegas keluar secepat mungkin.

"HERIN"

Ga bisa ga bisa. Tak kuhiraukan panggilannya dan tetap melaju keluar.
Sesampainya dikamar Evan aku terduduk lemas. Rasanya campur aduk.
Bagaimana dia masih seperti itu padahal posisinya sudah memiliki anak istri. Menyebalkan.

Bukan Pemeran (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang