Q

647 75 13
                                    

Sebagian mahasiswa yang memilih jurusan diluar ilmu eksakta mungkin berniat untuk menghindari rumitnya matematika. Tetapi tidak sedikit dari mereka yang malah terjebak dengan pilihannya sendiri. Seakan kekal, sifatnya memang akan tetap abadi, matematika akan selalu hadir, sekalipun tanpa diminta.

Dari banyaknya mahasiswa yang mengeluhkan hal itu, Shani menjadi salah satu diantaranya. Ujian komputasi statistik siang ini membuat energinya seakan terkuras habis. Ia harus menjaga fokus, daya pikirnya dipaksa berjalan lebih ekstra menghadapi angka-angka yang digabungkan beberapa variabel di layar komputer itu. Salah input satu angka saja, ia harus mengulang semuanya dari awal.

"Shan, lo gak pulang?"

Feni menepuk pundak Shani yang menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangan yang bertumpu di atas meja.

"Hmm..."

Shani hanya menoleh dengan mata sayu tanpa mengangkat kepalanya yang terasa sangat berat.

"Jam berapa Fen?" Tanya Shani, kemudian.

"Jam 2"

"Duh, kok lo gak bilang dari tadi."

Shani tersentak saat menyadari saat ini sudah melewati jam pelaksaan sidang yang Sisca beri tau jauh-jauh hari. Ia langsung bangun dari duduknya, kepalanya yang masih pusing membuat penglihatannya menjadi berkunang-kunang, tubuhnya hampir ambruk kalau saja Feni tidak menahannya.

"Makan dulu deh yuk ke bawah atau mau gue bawa kesini?" Feni membawa tubuh Shani agar kembali duduk.

Shani menggeleng lemah, "Gak Fen, gue mau pulang aja"

"Muka lo pucet banget gini Shan, gak usah nekat pulang dah daripada kenapa-kenapa di jalan."

"Kak Sisca lagi sidang Fen, dia pasti udah nunggu."

"Gue yang jelasin ke cewe lo kalo dia marah."

Shani masih saja menolak, berusaha bangkit meski dengan kepala yang  masih berat.

Gemas melihat temannya yang tidak mementingkan dirinya sendiri, Feni segera menarik tangan Shani menuju ke kantin bawah. Terkadang Shani memang harus dipaksa.

"Makan yang bener Shan. Tenang aja dia gak akan marah kalo lo telat karena keadaan kaya gini." Tegur Feni ketika melihat Shani yang sedari tadi belum melahap makanannya.

"Gue kepikiran Fen, kan ini seumur hidup sekali."

"Kalian kan udah tinggal seatap, gak papa kali, gak harus ngucapin di kampus juga kan?"

"Iya sih tapi ya tetep aja, gue takut dia sedih."

"Bucin lo. Buru deh abisin biar lo cepet ke kampus dia."

Setelah menyelesaikan makan siang mereka, atau lebih tepatnya terpaksa makan karena Shani hampir pinsan, keduanya beranjak melangkahkan kaki ke luar gerbang utama kampus mereka.

"Lo hati-hati ya, gue gak bisa nganter."

"Makasih Fen, gue duluan."

Mereka terpisah oleh tujuan yang berbeda. Ojek online yang dipesan telah menunggunya di halte kampus. Motor yang ia tumpangi melaju menembus ramainya pengendara di jalanan menuju kampus Sisca. Sementara kedua tangannya sibuk menghalangi paperbag yang tertiup angin.

Shani setengah berlari memasuki kampus Sisca, mencari ruang sidang yang Sisca beri tau melalui pesan. Sesampainya di sana, ia tidak melihat siapapun. Matanya mengintip dari jendela, ruangannya pun sepi. Shani tidak salah ruangan, karena ia sempat bertanya ke mahasiswa yang tadi ia temui di lantai dasar.

"Ck"

Shani mencoba menghubungi Sisca berkali-kali namun tidak ada jawaban. Shani kembali ke bawah melalui tangga. Arah langkah kakinya berbelok ketika melihat teman Sisca yang sudah ia kenali.

Kadang-kadang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang