Z

853 74 4
                                    












"Sekarang izinin aku putusin kamu ya?"

Setelah mengatakan itu, Shani kembali merendahkan tubuhnya di depan Sisca, menaruh kepalanya di pangkuan Sisca, matanya menghangat mengalirkan air mata yang tanpa permisi membahasi celana Sisca.

Shani merasakan usapan lembut di rambutnya, bersamaan dengan sentuhan kening Sisca di atas kepalanya. Menyatukan tangis mereka berdua.

"A-aku ggak bisa s-shan." Tangis yang sulit dikontrol, membuat ucapan Sisca terdengar berantakan dan tertahan.

Shani tidak pernah mendengar tangis yang membuat dadanya sesakit ini. Ia masih enggan menjawab dan mendongak untuk menatap Sisca.

Shani merindukannya, rindu meluapkan kerinduan di pangkuan ini, tetapi kali ini, ia bukan sedang mengadu kepalanya terasa pusing atau ingin bermanja, detik ini ia benar-benar menumpahkan semuanya, sebelum menjadi terakhir kali ia merasakannya.

Rekaan percakapan Sisca dan lelaki itu di telepon, hari lalu, masih terdengar jelas di telinga Shani. Percakapan tersebut juga yang membuat rasa percaya Shani kepada Sisca mulai berkurang.

Shani tahu saat ini Sisca bersamanya, menangis dengannya, membasahi lantai dengan air mata mereka berdua, saling menumpahkan kesedihan di tempat yang sama. Tetapi, kepercayaan Shani yang dibiarkan terbengkalai membuatnya berpikir;

Apakah Sisca benar-benar mencintainya?

Apakah Sisca memiliki perasaan yang sama besar dengannya?

Apakah Sisca hanya kasihan?

Apakah...? Apakah...? Apakah...?

"Kenapa gak bisa?" Shani menarik kepalanya, mengusap matanya yang basah. Menatap Sisca dalam.

"A-aku sayang kamu." Suaranya masih bergetar. Matanya mulai membengkak.

Di hadapan Shani, Sisca menunduk sendu. Memilih diam setelah menjawab itu.

Shani merapikan bajunya, kembali mengambil duduk di hadapan Sisca. Shani hanya diam, menunggu Sisca menyelesaikan tangisnya. Di dalam diamnya, dadanya semakin bergetar kencang, sesak semakin memburu. Tetapi, Shani tidak sampai hati untuk meluapkan emosinya pada Sisca. Apalagi melihat Sisca seakan lebih terpukul dari dirinya.

"Kamu cinta aku?" Terlalu lama jika menunggu tangis Sisca mereda. Shani tidak sabar melempar tanya.

Sisca mengangguk.

"Tapi kamu juga cinta dia!"

"Shan.." Sisca mendongak. Menampilkan mata dan hidungnya memerah.

"Kamu cinta dia, kak!" Pernyataan itu keluar lagi dengan suara yang lebih lirih.

Ada hening yang panjang diantara mereka.

Shani diam. Sisca diam. Tidak ada suara yang memecah keheningan itu.

"Aku cinta kamu, Shan. Tapii.."

Shani menunggu Sisca menyelesaikan kalimatnya. Dari matanya keluar lagi air menyesakkan.

"Tapi apa?" Tanya Shani, jantungnya terasa ingin meledak.

"......aku juga cinta dia. Maafin aku, Shani."

Sisca kembali tertunduk. Shani menatapnya dengan perasaan sedih, kecewa dan bingung. Ia bingung dengan perasaan Sisca. Ia bingung dengan pikirannya sendiri. Logika berkata harus meninggalkan. Namun, hati selalu memilih untuk bertahan.

Shani berusaha tenang. Memegang bahu Sisca. Menatap mata Sisca. Tersenyum pada Sisca.

"Kak, aku senang kenal kamu sampe sejauh ini. Jatuh cinta sama kamu juga bukan suatu penyesalan. Meski aku gak pernah meminta dan merencanakan jatuh cinta sama kamu. Tapi takdir selalu begitu kan? Kamu harus tau, aku sayang banget ke kamu, aku bahagia kalo liat kamu bahagia. Lakukan apa yang bikin bahagia, kak. Lakukan apa aja yang hati kamu mau. Walau pada akhirnya, aku bukan jadi satu-satunya di hati kamu. Bukan aku yang benar-benar kamu cintai. Lepasin aku ya?" Shani tersenyum getir.

Kadang-kadang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang