X

836 110 23
                                    

Tiga hari yang dilalui dengan kesendirian dan kesunyian. Salah satu unit apartemen di lantai tujuh itu hanya meninggalkan sepi yang menemani seseorang di dalamnya, hanya ada suara dari game moba sebagai pemecah hampa. Sungguh, siapapun tidak akan betah berdiam dengan keadaan tidak tahu harus melakukan apa untuk menghilangkan rasa sepi yang menyerang. Apalagi terbentang jarak dengan pasangan yang membuat perasaan semakin gegana; gelisah, gundah, gulana.

"Gini banget el de er." Gerutu Shani, melampiaskan kesalnya dengan menembak musuh di dalam layar.

Sebelum terbang, Sisca memang berpesan kepada Shani supaya tetap di apartemen. Sisca pun sengaja mengisi saldo milik Shani agar segala kebutuhan bisa dipesan secara online sehingga Shani tidak perlu keluar.

Tetapi, bukan kesukacitaan yang dirasakan oleh Shani. Ia malah uring-uringan karena Sisca tidak memberi kabar apapun setelah mengirim pesan bahwa dirinya sudah sampai di rumah, seakan membiarkan Shani semakin bergulat dengan kesepian.

Hari ini pun Sisca baru membalas pesan yang Shani kirim, setelah beberapa jam menunggu. Rindu yang sudah menggunung membuat Shani memaksa Sisca untuk menerima panggilan videonya, tetapi Sisca meminta untuk menghubunginya kembali pada pukul sepuluh malam.

Jam di dinding seolah berjalan sangat lambat. Masih tersisa tiga puluh menit sebelum jarum pendek menyentuh angka sepuluh. Ia mematikan ponsel, kemudian melepas kacamata. Matanya terasa lelah menatap layar ponsel terlalu lama. Jika saja Sisca bersamanya saat ini, sudah pasti ia akan mengeluarkan lima ribu kata dengan speed 2x.

Shani jadi kangen lagi.

Ditengah lamunannya, tiba-tiba bayangan seseorang melintas. Menerobos pikirannya. Seseorang yang tidak pernah bosan membawakan segelas susu hangat sambil menasihati agar tidak tidur larut malam, saat Shani masih terjaga karena asik membaca.

Setelah kepergian mendiang sang ayah, ibunya harus memulai kehidupan baru dengan dua peran. Sebagai tulang punggung dan ibu rumah tangga. Di rumah, bahkan sebelum ayam berkokok, sang ibu sudah bersiap ke pasar. Rutinitas setiap hari yang harus dilakukan seorang diri, demi menyambung hidup dan melanjutkan mimpi anak satu-satunya.

Tidak terasa, mata air terjatuh di pipi. Rindunya kepada sang ibu terpaksa masih harus disimpan sampai waktu yang tidak tahu kapan. Ibunya memilih bekerja di luar kota. Berkilo-kilo meter jaraknya dari kampung halaman, juga dari tempat tinggalnya saat ini. Liburan semester kali ini pun menjadi liburan pertama yang Shani lalui tanpa pulang ke rumah seperti teman-teman yang lain.

Seusai menyelesaikan sekolah menengah atas, Shani sempat menolak tawaran dari sang ibu untuk melanjutkan kuliah karena tidak ingin membebani perekonomian mereka yang sedang tidak stabil waktu itu. Tetapi, perempuan paruh baya yang selalu menuangkan kasih sayang tersebut terus menerus mendorong Shani untuk tetap kuliah dengan jurusan yang diminati sedari sekolah. Tabungan sang ayah yang memang sudah dipersiapkan, digunakan untuk biaya awal di perkuliahan. Selanjutnya, sang ibu membiarkan dirinya sendiri yang berusaha untuk mewujudkan mimpi anak semata wayangnya.

Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Menampilkan nama Sisca di layar panggilan. Hanya panggilan biasa, bukan panggilan video yang sebelumnya Shani inginkan. Ia segera mengangkat telepon itu.

"Maaf ya, aku baru sempet ngabarin kamu sekarang." Ucap Sisca, setelah menyapa singkat.

"Iya, gak papa. Aku cuma kangen aja. Gak enak banget sendirian." Jawab Shani.

"Cie yang kangen aku. Bubub di apart aja kan?"

"Kan kak Sisca gak bolehin aku keluar."

"Keren deh dedek cani kalo nurut gini. Nanti aku bawain oleh-oleh ya. Kamu mau apa?"

Kadang-kadang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang