V

833 88 2
                                    

POV SISCA

Aku melihat jam di layar ponselku, ternyata sudah menjelang tengah hari, kemudian aku beranjak ke jendela, menatap pemandangan di luar. Memang, matahari sudah hampir berdiri tegak di antara timur dan barat.

Perasaanku masih sulit diartikan, ada rasa cemas yang sedari tadi masih melonjak, mengkhawatirkan Shani yang belum juga pulang. Aku mencoba menghubunginya melalui telepon, tetapi dering dari ponselnya malah terdengar di sekitar ruangan ini. Ada perasaan lega, dia nggak mungkin ninggalin aku tanpa membawa ponselnya. Tapi, bisa aja dia kabur dan beli ponsel baru.

"Kamu kemana sih!"

Aku takut kalau Shani benar-benar pergi dan nggak pulang lagi. Tadinya, aku mau mencari dia ke luar. Tapi aku harus packing untuk pemberangkatan besok. Aku juga bingung, bagaimana harus mengatakan ini kepada Shani. Dia pasti akan semakin mendiamkanku karena aku nggak ngasih tau dari jauh-jauh hari. Aku pun belum menyiapkan alasan yang bisa diterima olehnya. Meski selalu ngeluh dengan kuliahnya, Shani sebenarnya kritis, suka nanya dan harus dijelaskan secara rinci kalau ada apa-apa.

Walaupun hatiku harus terbagi untuk dua orang, tetapi perasaanku sama Shani nggak sepenuhnya hilang. Dia masih menempati ruang khusus di hatiku, sama seperti awal kita pacaran.

Lima hari berturut, kita memang nggak saling ngobrol. Aku ngerasa kesepian, karena dia lebih milih tidur di sofa, padahal setiap malam aku nunggu dia masuk kamar dan menemani aku tidur. Peluk aku sampai pagi. Aku sebenarnya tau, dia nggak nyaman tidur di sofa. Sebelum masalah diam mendiamkan ini terjadi, aku pernah nyuruh dia tidur di sofa karena disaat aku pengen deeptalk tengah malam, dia malah asik main game, membiarkan aku ngomong sendiri, sementara dia cuma jawab oh, iya, terus. Paginya, dia ngeluh sakit pinggang, nggak bisa lurusin badan, tulang-tulangnya seperti saling tindih, melilit di dalam, seakan nyawanya sedang dicabut, katanya. Dia memang lebay.

Aku jadi tambah kangen.

Samar-samar aku mendengar pintu utama terbuka, aku mendengar langkah kaki seseorang memasuki apartemenku. Aku langsung merebahkan diri di kasur, pura-pura tidak mendengar apapun. Aku membuka aplikasi youtube, menonton video dari salah satu vlogger yang entah siapa, karena aku membuka asal video yang muncul di beranda youtube-ku, sengaja untuk menciptakan suara.

Jantungku berdetak lebih cepat, ketika langkah kaki itu berjalan mendekat ke kamar. Aku buru-buru memiringkan tubuhku, membelakangi pintu. Aku sangat berharap dengan posisi seperti ini, bisa membuat Shani memelukku dari belakang ,menghirup wangi rambutku, dan menciumku dengan brutal.

Aku semakin nggak fokus menonton video di layar ponselku ini, sisi kasurku berdecit, pertanda ada yang duduk di atasnya.

Aku masih menunggu pergerakan selanjutnya, menunggu hembusan napasnya di tengkukku kemudian menyentuh lembut telingaku menggunakan bibirnya. Ah, maaf kalau aku berlebihan.

"Kak?"

Suara itu. Suara yang aku tunggu. Dia menepuk pelan pundakku. Darahku seakan berhenti mengalir, desiran aneh menghampiri, tubuhku menjadi hangat.

"Aku beli bubur ayam. Aku taruh di sini ya."

Setelah mengatakan itu, dia berlalu meninggalkan aku yang sudah menantinya sejak pagi. Perasaanku menjadi amburadul karena harapanku nggak terjadi. Aku melirik bubur ayam yang diletakkan di kasur tepat di sebelahku.

Aku segera bangun, menguncir rambutku, dan membawa bubur ayam itu ke luar kamar.

Langkahku terhenti saat melihat Shani tengah membereskan gelas dan mangkuk bekas sarapanku pagi tadi. Aku kembali merasa bersalah karena susu dan buah yang dia siapkan untukku belum aku habiskan. Dia pasti kecewa berat.

Kadang-kadang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang