S

604 80 4
                                    

"Maafin aku ya, aku janji kita akan kembali bersama lagi suatu hari nanti. Kamu tunggu aku ya. Aku cuma butuh waktu untuk meyakinkan orangtuaku. Hubungan kita masih layak diperjuangkan."

Pikirannya melayang pada bayangan beberapa tahun lalu. Di tepi hamparan pantai yang menari tenang. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada dia, kekasihnya dan senja.

Menjadi anak laki-laki tunggal di keluarga, membuat orangtuanya menaruh harapan besar di pundak lelaki itu.

Jika saja orangtuanya tidak meminta untuk memutuskan hubungan mereka, mungkin Devan tidak akan melepas tangan Sisca dari genggamannya. Diiringi kalimat perpisahan.

Hingga keduanya kembali menemui senja yang masih menunggu di tempat yang sama. Di hadapan senja, mereka menautkan sepasang jemari yang sempat terlepas. Mencoba untuk memperjuangkan hubungan mereka dengan langkah baru.

"Kak"

Tepukan pelan di pipi membuyarkan lamunannya. Ah, Sisca tidak sadar jika sekarang ia berada di dalam dekapan hangat Shani. Jahat sekali rasanya memikirkan orang lain ketika sedang bersama pacar seperti ini. Tetapi bukankah seseorang yang dipikirkan juga pacarnya?

"Hape kak Sisca dari tadi bunyi, kayanya ada yang nelpon."

"Biarin aja." Sisca semakin mengeratkan pelukannya di perut Shani. Menganggap itu hanya panggilan dari seseorang yang iseng.

"Aku ambilin ya siapa tau penting kak."

Sisca menahan tangan Shani yang hendak beranjak turun dari kasur untuk mengambil ponselnya yang masih berdering.

Shani menatap heran Sisca yang menarik tangannya sehingga tubuhnya kembali terjatuh di sebelah Sisca.

"Aku pengen peluk kamu yang lamaa..." Ucapnya merengek manja.

"Kalo penting gimana kak?" Tanya Shani.

"Gak bub, lagian siapa orang yang nelpon malem-malem gini kalo bukan orang iseng." Jawab Sisca kembali melingkarkan tangannya di tubuh Shani.

"Siapa tau kak Gre yang nelpon kak."

"Gracia kalo mau nelpon selalu chat dulu."

Sisca segera membungkan Shani dengan bibirnya sebelum mulutnya kembali terbuka.

"Kamu kok bawel sih!"

"Yaa orang hapenya bunyi berkali-kali, kan bisa aja urgent kak."

"Mending kamu pukpuk kepala aku biar ngantuk."

"Kak, besok udah gak ke kampus kan?" Tanya Shani sambil mengusap lembut rambut Sisca.

"Kenapa?" Sisca memundurkan diri tanpa melepaskan pelukannya supaya dapat melihat Shani.

"Aku mau ngajak kak Sisca main. Udah lama kan kita gak keluar bareng."

"Kan kita selalu bareng-bareng."

"Beda dong kak, di apartemen sama di luar. Hangout ke mana gitu kak, mumpung revisi kak Sisca udah selesai dan aku masih ada libur."

"Lusa aja gimana?"

"Emang besok kak Sisca mau kemana? Katanya udah beres?"

Ada hening yang tercipta ketika menerima pertanyaan beruntun dari Shani. Saat melihat wajah polosnya, Sisca sebenarnya tidak tega untuk menolak. Ia bukan tidak mau, tetapi sudah terlanjur membuat janji dengan orang lain. Tidak enak juga jika harus membatalkan janjinya semendadak ini.

"Aku mau nganter temen beli buku, skripsinya belum kelar, jadi mau aku bantu."

"Harus kak Sisca yang nganter?"

Kadang-kadang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang