U

722 87 0
                                    

Sudah lima hari berlalu, selama itu juga Shani membiarkan pegal menyerang tubuhnya karena harus tidur di sofa. Shani pun tidak mengerti apa yang membuat Sisca mendiamkannya selama ini. Shani merasa seperti asing di apartemen ini, ada tetapi tidak terlihat.

Shani mengambil mangkuk yang terisi bermacam buah yang ia kupas. Ia memakan sepotong buah apel dari mangkuk itu, sambil menulis sesuatu di selembar kertas. Beberapa hari tidak ada interaksi dengan Sisca, ia mencoba membangun komunikasi melalui tulisan. Meskipun Sisca tidak pernah membalas tulisannya, tetapi, masih ia lakukan agar Sisca menyadari, dirinya masih ada di sini.

Shani menarik napas setelah menaruh lembar kertas itu di bawah mangkuk buah. Kegiatan baru yang setiap pagi Shani lakukan, karena ia tahu Sisca tidak bisa memakan makanan berat untuk sarapan.

Shani beranjak menuju kamar, membuka pintu dengan perlahan supaya tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu seseorang yang masih tenggelam dalam mimpinya.

Ia berjalan mendekat ke arah Sisca. Memperhatikan wajah tenang dibalik lelapnya. Ia ingin sekali menuangkan rindu yang sudah penuh, menjatuhkan diri ke dalam pelukan Sisca. Sayangnya, keberanian itu tidak sebesar rasa rindu yang dipendam. Tangannya seakan kaku untuk sekadar merapikan rambut yang menutupi sebagian wajah kekasihnya.

Shani sontak memundurkan langkahnya saat melihat pergerakan kecil dari Sisca. Shani mengunci netranya untuk menangkap setiap gerak yang tercipta,  membiarkan menatap dengan pandangan yang menyimpan banyak kerinduan.

"Sayang." Sapa Shani, pelan.

"Sarapannya udah aku siapin ya, maaf aku ganggu tidur kamu."

Melalui mata yang setengah terbuka, Sisca menatap Shani yang beranjak meninggalkannya. Rasanya aneh, ketika Shani menyapa paginya dengan nada bersalah seperti tadi.

Tidak ingin larut pada serantai pertanyaan yang belum memiliki jawab, Sisca menyingkap selimut yang menghangatkan tubuhnya. Ah, Sisca merindukan itu, ia baru menyadari beberapa hari ini yang menghangatkan malamnya bukanlah pelukan dari Shani.

Ia berjalan menuju meja makan. Meja makan yang biasanya ramai dengan protes-protesan Shani terhadap masakan Sisca. Beberapa hari ini, riuhnya tidak lagi terdengar, karena Shani sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan untuknya. Seperti sekarang, hanya ada segelas susu dan semangkuk buah yang sudah terpotong, tanpa Shani yang menunggu untuk menikmati sarapan bersama.

Ia meraih kertas yang Shani tinggalkan di bawah mangkuk, membacanya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Jangan lupa diabisin ya! 3 sendok susu bubuk + 150 gram air, sesuai sama takaran yang biasa kak Sisca minta. Kalau udah, taruh aja nanti aku yang cuci.

Love you

Perasaan tidak tega tiba-tiba menyalakan desir di dadanya. Seharusnya ia bisa bersikap lebih dewasa menghadapi hal yang sebaiknya tidak perlu diperpanjang. Tidak seharusnya juga ia mendiamkan Shani selama ini tanpa alasan yang jelas.

Ia melipat rapi kertas itu dan menyimpannya di kotak yang Shani siapkan di samping gelas susu. 

Sisca berhenti menelan makanannya sejenak, saat menyadari sedari tadi ia belum melihat Shani. Biasanya, Shani akan menunggu di balkon sampai Sisca menghabiskan makannya, bergantian menikmati sarapan, yang sebenarnya terasa kurang nikmat karena kesenyapan yang terbentang di antara mereka berdua.

Tetapi, meski matanya belum terbuka sempurna, setelah mengingatkan untuk sarapan beberapa menit lalu, ia melihat Shani berjalan ke luar kamar bukan ke arah balkon.

Lantas ia segera beranjak, memeriksa balkon, berharap Shani berada di sana. Sayangnya, hanya kekosongan yang ia temukan. Raut sendu terukir di wajahnya ketika melihat kursi yang sepertinya ikut termenung menunggu seseorang yang biasa menikmati pagi bersamanya.

Kadang-kadang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang