W

658 77 5
                                    

"Kak Sisca, mau ke mana?"

Pijatannya pada bahu Shani mendadak berhenti, seolah busur panah menembus dadanya dan membuat kaku pergerakan. Ia menatap Shani yang duduk lebih rendah dari dirinya kini telah mengubah posisi menjadi menghadap ke arahnya. Sisca masih terdiam, sementara Shani menatapnya bingung. Shani menyentuh tangan Sisca yang bertumpu pada tepi kasur. Mengulang kembali pertanyaan yang tadi dilontarkan.

"Kak Sisca, mau pulang?"

Shani bangkit dan berpindah di sebelah Sisca. Menuntut jawaban.

"Kamu tau dari mana?" Tanya Sisca, menyelidik. Sebab, ia belum sempat memberitahu Shani perihal ini.

"Itu." Shani menunjuk ke sudut kamar, disana terdapat dua buah tas kecil dan koper yang sepertinya sudah memuat beberapa barang di dalamnya.

Seketika hembusan samar keluar seakan menjadi pertanda kelegaan. Tetapi, Sisca hanya bisa menjawab dengan anggukan. Dalam diamnya, ia memaksa kepalanya bekerja lebih lincah, gesit menemukan alasan yang dapat diterima oleh Shani.

"Kenapa gak pernah bilang aku?" Tanya Shani, mengunci tatapan mereka berdua.

"Aku mau bilang tapi beberapa hari ini kan kamu gak ngajak aku ngomong." Jawab Sisca, masih dengan kepala yang sibuk merangkai alasan.

"Gak usah nyalahin orang lain."

"Aku gak nyalahin kamu."

"Alasan mulu."

Sisca menggeser tubuhnya mendekat ke Shani yang sudah duduk di ujung ranjang. Menciptakan jarak diantara keduanya. Sisca mengusap pelan bahu Shani yang tiba-tiba terdiam, melipat salah satu kakinya, dan tidak memedulikan Sisca yang tengah membujuk.

"Ayang liat aku" rayu Sisca kepada Shani yang memutar tubuhnya beberapa derajat ke sudut lain.

"Gimana aku mau jelasin kalo kamu kaya gitu." Lanjut Sisca.

"Yaudah jelasin tinggal jelasin. Aku juga masih bisa denger." Balas Shani, masih enggan mengubah posisinya.

"Iya sini liat aku, jelek!" Sisca menarik celana Shani, geram melihat Shani yang tidak mengindahkan ucapannya.

"Apa sih kak! Jangan tarik-tarik, bisa melorot ini celana aku." 

Sisca tertawa kecil melihat ekspresi kesal yang Shani tunjukkan sambil membetulkan celananya yang satu senti pun tidak turun dari pinggangnya. 

"Lebai banget, aku gak sekencang itu ya nariknya." Ucap Sisca seraya menyentil telinga Shani.

"Udah siksa akunya kak. Sekarang jelasin ke aku kenapa kak Sisca mendadak mau pulang gini?"

"Kok sekarang kamu lebai banget, sentilan pelan gitu aja dibilang penyiksaan." Sisca menatap tidak santai.

"Jawab aja pertanyaan aku."

"Tau ah! Sana keluar!" 

Shani mengernyitkan kening.

"Ngapain masih di sini!" Sisca membaringkan tubuhnya memunggungi Shani yang menatapnya dengan tatapan bingung.

"Gak jelas banget, orang tua."

Dengan gerakan tiba-tiba, Sisca berbalik badan, menarik baju Shani sampai tubuhnya condong ke depan. "AKU DENGER YA SHANI!"

Shani hanya meringis karena suara tingkat tinggi Sisca terdengar sangat nyaring di telinganya.

"Nyebelin banget!" Sisca melepas cengkeramannya dari baju Shani, kemudian mendorong wajah Shani yang terlihat menyebalkan.

"Astaga... Kekerasan ini akan aku laporkan ke Kak Seto."

"Kak Seto juga males nanggepin kamu."

"Kata Siapa? Beliau kan bekingan aku dari PAUD."

Kadang-kadang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang