Aroma gelombang laut bersatu dengan suara desirannya yang menenangkan. Lukisan langit sedang terbakar menambah indah pemandangan. Siluet perahu nelayan menjadi penyempurna. Semua terekam jelas di mata Sisca. Perempuan yang saat ini berdiri menghadap hamparan laut, ia tidak sedang menunggu seseorang, bagi Sisca, terlalu sia-sia melewatkan senja tanpa merasakan damainya.
Sebuah kamera terus saja ia bidikkan pada barisan awan yang menggumpal, beriring perlahan menuju ujung langit. Ia ingin sejenak melupakan rasa pilu yang masih ia sembunyikan dari dunia yang bisa kapan saja mengusik sedihnya.
Tidak sedikit yang mengatakan bahwa Sisca pendengar yang baik saat menerima curahan hati orang-orang. Namun, kelebihannya dalam menutupi kesedihan, membuat tak satu pun menyadari jika Sisca begitu banyak menyimpan rahasia yang selama ini dipendam sendiri.
Beberapa kali Sisca menjepretkan kameranya, membayangkan Devan menjadi objek bidikan kamera itu. Kekasih yang begitu ia sayangi, yang membuatnya mengerti bahwa cinta bukan hanya belajar tentang membagi bahagia, tapi juga belajar mempersiapkan perpisahan
Baginya, pernah bersama Devan adalah hal terindah yang sulit terganti. Devan mengajarkan banyak tentang senja, bagaimana senja dengan lapang dada menerima malam menyembunyikan jingga indahnya, bagaimana senja menjadi penutup setelah lelah dengan ingar-bingar dunia. Ingatannya kembali ke masa itu. Saat Devan menyatakan ada rasa yang bersemi tatkala menatap Sisca, menggenggam lembut tangan Sisca, juga tatapannya yang selalu mampu memberi ketenangan.
Matanya berbinar, membayangkan kekasihnya berada di tempat yang sama dan memandang langit yang sama. Laki-laki yang kini hanya ada dalam kenangan. Bahkan hingga saat ini, Sisca tidak menemukan cara menumpahkan rindunya yang telah menumpuk. Entah sampai kapan, ia mampu bertahan dengan perasaan yang selalu membuatnya sesak. Tapi Sisca percaya, rencana indah dari Tuhan pasti menunggunya di masa depan.
"Kamu benar, Dev. Terkadang kita harus belajar melepaskan walau terasa berat. Kita harus keluar dari tempat yang membuat kita nyaman. Tempat yang membuat kita selalu bersikap pasrah. Kita harus menemukan tempat yang lebih baik."
Ucapan Devan yang masih tersimpan rapi di ingatan. Saat mereka berdua sama-sama saling terdiam di hadapan senja. Saat mereka harus saling merelakan.
Langit semakin menggelap, ia berjalan meninggalkan segala kenangan di tempat itu. Sudah saatnya ia pulang dan kembali menjadi manusia yang terlihat baik-baik saja.
Di kamar, ia meletakkan kamera di sebelah pajangan foto bersama sang kekasih, dulu. Seulas senyum terukir saat melihat betapa bahagianya mereka di foto tersebut. Ada kenangan yang kembali singgah. Ia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Sisca mengambil foto itu dan menyimpannya di kotak kecil di bawah meja. Semoga kisah masa lalunya setelah ini tidak lagi menyapa ingatan.
Malam semakin berlalu. Rasa kantuk belum juga menghampiri. Demi menghilangkan bosan, Sisca mengambil kameranya untuk sekadar melihat hasil jepretannya sore tadi.
"Bagus juga." Gumam Sisca ketika melihat beberapa foto senja yang ditangkap dengan begitu mempesona.
Sisca memperhatikan salah satu foto, sepertinya ia tidak sengaja memotret seseorang. Seseorang dengan rambut panjang yang terlihat asik memainkan air dengan kedua kakinya. Dari postur tubuh serta penampilan sosok yang ada dikameranya, Sisca merasa tidak asing. Ia memperbesar ukuran foto tersebut. Ah! Sisca memang mengetahui siapa orang itu.
"Orang aneh", ucapnya. "Udah sore bukannya langsung pulang, malah main ke pantai."
"Diliat-liat, oke juga. Emang boleh sefotogenic itu?" Batin Sisca.
Ia menatap wajahnya di cermin yang menyatu dengan meja rias di kamar tercinta. "Ck! jerawat baru lagi." Sisca yang selalu menjaga penampilan dan merawat diri memang tidak suka jika ada yang terlihat mengganggu di wajah cantiknya. Dasar perempuan, tumbuh jerawat satu saja sudah seperti ada yang mengancam hidupnya.
Lagi-lagi ingatannya tertuju pada seseorang. Seseorang yang dulu selalu siap memuji kalau dirinya sedang tidak merasa percaya diri. Seseorang yang membuatnya sepenuh hati mengubah kebiasaan dan penampilan.
Bucin.
Gadis itu merebahkan diri di kasur kamar apartemennya.
Tiba-tiba saja Sisca kembali tertuju kepada sosok manusia dalam kamera. Ia tertawa pelan ketika mengingat lawakan garing yang Shani lontarkan kemarin.
"Ada-ada aja." Gumam Sisca sambil terus menatap foto tersebut.
Sisca berpikir, apakah semesta sengaja mengirimkan seorang Shani menjadi obat untuk lukanya atau ini semua memang hanya kebetulan.
Shani Indira
Apakah masih tersedia?
Masih kak, silakan kalau berminat hehe
Harga pas apa masih bisa ditawar?
Paling turun dikit. Kakaknya dari mana? Biar langsung ketemu aja.
Saya dari arah timur
Oke kak, ketemu di tengah-tengah ya biar sama-sama enak hehe
Di mana?
Deket taman yang biasa dipake acara aja kak. Tau kan? Kalau dari timur, lewatin mall.
Oke jam 5 sore
Siap gan.
Percakapaan yang menjadi awal pertemuan Sisca dengan Shani. Saat itu Sisca sedang membutuhkan handphone cadangan supaya urusan pribadi dan urusan lain tidak bercampur. Kalau saja handphonenya tidak bermasalah, mungkin mereka tidak akan lanjut bertemu setelah menyelesaikan Cash on Delivery seminggu lalu.
"Dih ngapain juga gue mikirin dia."
Sisca segera mematikan lampu kamar, menarik selimut dan memejamkan mata.
Seperti biasa, aku ucapkan terima kasih yaaa