Three's a Crowd, Two of Us

607 78 9
                                    

Selasa malam. Waktu yang tepat untuk dihabiskan dengan bersenang-senang, setelah sepanjang siang disibukkan dengan aktivitas. Banyak di antara mereka yang memilih untuk bersantai di rumah sembari menonton film pilihan. Namun, tak jarang juga para manusia yang memutuskan untuk melewatkan Selasa malam bersama kekasih. Bagi yang tak punya pasangan, biasanya hang out saja dengan teman-teman, mengisi waktu di luar rumah sekadar untuk nongkrong, setelah seharian diserbu kegiatan yang cukup menjemukan.

Sepasang kaki tampak berjalan menyeberangi rumahnya. Dandanannya bagus, khas pemuda yang hendak menghabiskan malam di luaran. Mengenakan hoodie berwarna hitam, lengkap dengan ripped jeans dan sepatu kets pilihan, membuat Zafran terlihat sangat-sangat tampan. Langkahnya pasti, terarah menuju rumah sahabat kecilnya. Dia memasuki gerbang tanpa sungkan, terus melangkah melewati halaman depan yang tertata apik, kemudian mengetuk pintu.

Seorang wanita paruh baya menjadi penerima tamu untuknya malam itu. Kacamata baca membingkai wajah sang Wanita, dengan senyum ramah yang senantiasa menghias, lebih mengembang kala beliau tahu siapa yang berkunjung malam ini.

“Wah, ganteng sekali kamu, Zaf!” puji Mama Aldy, seraya meneliti tamu seberang rumahnya dari atas hingga bawah.

Yang dipuji sontak menyentuh tangan sang Tetangga, mencium dengan sopan. “Aldy ada, Tan? Zafran mau ajak dia jalan-jalan.”

“Ada, di kamar. Masuk!”

Seolah sudah menjadi bagian dari anggota di keluarga Qhialdy, Zafran naik ke atas; ke kamar sahabatnya, seperti kebiasaan lama. Di sana, tampak si Pemilik kamar sedang duduk di depan komputer. Telinganya tersumpal headphone berwarna merah, matanya fokus pada layar. Mulutnya tak henti mengumpat tiap beberapa detik sekali. Tanpa memandang pun, sudah dapat dipastikan bahwa anak itu sedang hanyut dalam game online.

“Al!”

Panggilan Zafran tak membuat Aldy menoleh. Bukan berarti dia tak tahu jika temannya sudah masuk ke kamar. Dia sadar, hanya saja tak menggubris agar permainannya tidak kalah.

“Ke bioskop, yuk!” ajak Zafran. Lagi-lagi, yang diajak bicara tak tampak menyahut. Alih-alih memberi jawaban, pemuda itu malah mengeluarkan beberapa kata umpatan lain ketika permainannya terancam gagal.

“Al!”

“Sebentar ... Mati, lo!”

Tak punya pilihan, Zafran memutuskan untuk duduk di tempat tidur, merebahkan tubuh dan mengeluarkan ponsel dari saku celana. Aldy susah diajak bicara jika sedang sibuk dengan dunia permainan begitu, jadi dia memutuskan untuk menunggu. Nanti juga kalah sendiri.

Dan, benar saja. Dengan umpatan keras terakhir, Aldy melepas headphone dengan gelagat kesal, kemudian memutar kursi menghadap sang Tamu yang sedang terlentang.

“Ganteng banget!” gumamnya, ketika telah sepenuhnya sadar dengan penampilan kawannya.

Si Pengunjung terlihat melirik dari posisinya, tersenyum jahil, sembari mendudukkan badan. “Baru tahu? Padahal, gue ganteng dari dulu.”

“Mau ke mana?” tanya Aldy. Pasti Zafran hendak mengajaknya pergi ke luar. Tak mungkin laki-laki itu sengaja berdandan hanya untuk mengunjungi rumahnya. Seperti kurang pekerjaan saja!

“Bioskop, yuk!” ajak Zafran sekali lagi. Tangannya mengutak-atik ponsel, kemudian menunjukkan layarnya pada sang Penanya. Di sana, terpampang sebuah judul film thriller, yang cukup untuk membuat Qhialdy mengernyit dan menyunggingkan senyum usil.

“Tumben! Biasanya takut sama yang horor begitu!” ejeknya.

“Pemerannya Florence Pugh,” jawab Zafran singkat, menyebutkan salah satu nama aktris yang sangat digemari. Pemuda itu bangkit dari duduknya, kemudian memerintah, “Ganti baju, sana! Filmnya mulai jam delapan.”

They Don't Know About Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang