Six Words You Never Understood

729 82 2
                                    

Olivia pulang pukul sembilan malam, mendapati pintu rumah masih terkunci, tetapi kuncinya tak ada di balik keset. Hanya satu yang ada di pikirannya, Zafran sudah ada di dalam. Tak mungkin orang tuanya yang membuka pintu, karena mereka telah berpamitan sehari sebelumnya; tak bisa pulang ke rumah selama beberapa lama. Jadi, gadis itu mengeluarkan ponsel dari tas, menelepon adiknya. Panggilan tersambung, tetapi tak ada jawaban. Membuat perempuan itu mundur ke halaman, mendongak ke arah jendela kamar Zafran yang tak tertutup tirai.

"Zafran! Bukakan pintu!" teriaknya dari bawah. Namun tetap, yang diteriaki tak juga muncul. Bahkan, adanya tanda-tanda orang hidup di dalam rumah pun tak ada.

"Zafran!" Gadis itu berteriak sekali lagi, dengan volume suara yang lebih kencang. Tetap nihil. Tak ada sesuatu pun yang terjadi dari dalam rumah.

Akhirnya, dia menyambar beberapa kerikil, melempar satu-satu pada kaca jendela adiknya. Ilmu yang satu ini didapat dari Qhialdy, yang sering melakukan hal yang sama ketika Zafran sedang dalam mode menulikan telinga. Cukup berguna juga, ternyata.

Kerikil pertama, tak membuahkan hasil. Kerikil kedua, tetap sama. Batu mungil ketiga, sang Adik belum juga menampakkan diri. Hingga pada lemparan ke empat, sebuah kepala muncul dari balik jendela, tetapi bukan Zafran. Itu Aldy, dengan rambut berantakan dan mata yang semakin kecil karena baru bangun tidur.

"Al, bukakan pintu!" teriak Olivia, yang kini menghentikan segala aksi pelemparan kerikil.

Qhialdy mengucek matanya yang masih memburam, kemudian berujar dengan suara serak, "Cari siapa? Kak Oliv enggak di rumah."

"Ini Oliv! Melek, makanya!"

Aldy berusaha menajamkan penglihatan, mencoba menghilangkan segala kabur pada retina yang sedikit mengganggu. Hingga akhirnya dia sadar, bahwa Olivia sedang berdiri di bawah. Membuatnya berujar, "Sebentar, Kak! Aku turun!"

Pintu terbuka tiga menit kemudian, bersamaan dengan munculnya sosok tetangga seberang, dengan mata terbuka sedikit lebar.

"Eh, kok gelap? Jam berapa sekarang?" tanyanya, kaget dengan kondisi di depan rumah. Rasanya, tadi langit masih terang, sekalipun matahari sedikit tertutup awan kelabu. Cepat sekali waktu berlalu.

"Jam sembilan," jawab Olivia. "Zafran mana?"

"Tidur," sahut sang Tetangga, sembari mengarahkan pandangan ke bawah, ke arah tangan si Gadis yang sedang menenteng sesuatu. Baru satu detik, matanya tiba-tiba berbinar, menghilangkan segala kantuk yang membayang. Terlihat dari caranya memekik, "Wah! Bawa ayam goreng, ya? Sebentar Aldy ke atas, Kak! Makan bareng, asyik!"

Tanpa menunggu, atau sekadar meminta izin, Qhialdy bergegas berlari masuk, menyusuri tangga menuju kamar Zafran. Dengan serampangan, pemuda itu membuka paksa selimut yang menutupi tubuh temannya, berteriak keras seperti anak tunawisma yang benar-benar kelaparan.

"Zaf! Bangun!" jeritnya, seraya memukul kaki si Pria tidur dengan keras. Yang dipukul tetap bergeming, masih menutup mata, hanya menggerakkan jari-jarinya sedikit setelah mendapat bogem samar yang tak menyakitkan.

"Bangun! Kak Oliv bawa makanan!"

Pemukulan tak berhenti hingga beberapa detik, memaksa Zafran membuka mata dengan sangat-sangat malas. Ada apa, sih? Kenapa heboh sekali?

"Jam berapa?" tanyanya. Suaranya serak, khas manusia yang baru saja mendapatkan kesadaran dengan cara seratus persen tak menyenangkan.

"Jam sembilan. Ayo, makan! Kakak lo beli ayam goreng."

Yang diajak tampak menguap lebar, menggeliat seperti ulat bulu ketika diberi perasan jeruk, kemudian menarik selimutnya sembari menolak, "Gue enggak lapar. Lo makan berdua sama Kak Oliv."

They Don't Know About Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang