Leave Me Confuse

541 64 3
                                    

Hari-hari berlalu dengan sangat berbeda untuk Aldy. Dia tetap menjalani rutinitas seperti biasa. Pergi kuliah, bermain basket, mengunjungi keponakannya di kota seberang, biasa-biasa saja. Namun, rasanya ada yang tak sama.

Terhitung tiga bulan setelah insiden bersama Zafran yang terakhir. Sejak saat itu, Aldy tak lagi melihatnya. Tidak di kampus, tidak juga di rumah. Tak ada lagi pesan masuk yang menanyakan, "Besok berangkat bareng?" atau "Mau pulang bareng? Kalau iya, gue tunggu."

Zafran ada di rumah, dia tahu itu. Pemuda itu juga pergi ke kampus, tetapi sama sekali tak pernah berpapasan di koridor, atau kantin, atau mana pun.

Bisa dibilang, persahabatan mereka yang terjalin bertahun-tahun rusak karena satu hal. Hal yang sepele, tetapi tidak juga. Nyatanya, tak ada yang bisa disepelekan jika berhubungan dengan cinta.

Jujur saja, Aldy merasa kehilangan. Dulu, hari-harinya diisi dengan berbuat iseng pada Zafran, dipenuhi dengan gerutu lucu sahabatnya itu ketika dia diganggu. Aldy mengalami rasa rindu. Rindu dengan tawanya, caranya mengumpat, menendang, menoyor, semuanya. Ada teman-teman lain di kampus, banyak sekali. Ditambah teman-teman basket. Namun, tetap saja rasanya tidak sama. Bercanda dengan mereka tak se-menyenangkan saat bercanda dengan Zafran.

Sudah beberapa kali ini muncul pikiran untuk berkunjung ke rumah di seberangnya, tetapi beberapa kali pula keraguan menghinggap. Dia penyebab Zafran menangis beberapa minggu lalu. Bayangkan saja, orang yang membuatmu menangis, yang mendiamkanmu berminggu-minggu, tiba-tiba masuk ke kamarmu tanpa permisi, sambil tersenyum lebar dan menyapa, "Hai! Lagi apa?"

Benar-benar berandal tak tahu malu!

Setiap pulang dari kampus atau latihan, Aldy menyempatkan berdiri beberapa menit di depan pagar rumahnya, berharap agar pemilik rumah di seberang tiba-tiba keluar (atau pulang) dan tanpa sengaja berpapasan dengannya. Itu sudah cukup. Sumpah, Aldy kangen sekali! Namun, hal itu tak pernah terjadi. Zafran benar-benar hilang. Bahkan, tak ada update terbaru di sosial medianya. Tak ada foto baru, tak ada status baru, seakan pemuda itu baru saja melempar ponselnya ke planet Jupiter.

Lucu juga, jika dipikir-pikir. Rumah mereka berdekatan, tetapi tiga bulan tak pernah bertatap muka. Itu namanya kurang niat! Harusnya, jika Aldy memang ingin bertemu, kesampingkan saja semua omong kosong tentang tak tahu malu yang tadi menjadi penghalang. Tinggal berjalan santai beberapa langkah, memencet bel, basa-basi dengan entah itu orang tua, atau Olivia, yang akan membukakan pintu, lalu naik ke kamar Zafran. Dan mereka bisa saling lempar bantal di sana. Setidaknya, mereka bertemu. Obat rindu memang harus bertemu, 'kan?

Sore ini, Aldy sedang menggendong keponakannya di halaman depan. Si Kecil itu sudah dua hari menginap di rumahnya, karena kedua orang tuanya sedang ada workshop (atau sejenis itu) di luar kota. Jadilah, Aldy menjadi pengasuh saat jam kuliahnya senggang, atau saat tak ada latihan basket.

Sedari tadi, bocah kecil itu tak henti menunjuk rumah di seberangnya sambil bergumam tak jelas. Mungkin, dia kangen dengan om-nya yang satu lagi. Sudah sangat lama mereka tak bermain bersama.

"Apa?" tanya Aldy, saat keponakannya tak lelah menunjuk rumah Zafran dengan heboh. Bahkan, sepertinya makhluk kecil itu ingin sekali diajak ke sana.

"Mau ketemu Zafran?" Si Sipit itu bermonolog sendiri, "Zafran marah sama aku. Gimana, dong? Kamu kangen sama dia? Sama."

"Apan! Apan!"

"Lean, aku harus apa, ya? Lama banget enggak ketemu Zafran. Kira-kira, dia sekarang lagi apa? Ternyata sepi juga kalau enggak ada dia."

Aldy tak berhenti dengan monolognya. Mungkin, meluapkan perasaan pada anak kecil yang belum bisa bicara kedengaran menyenangkan.

"Apan?" sahut Lean, dengan bahasa bayi yang hanya bisa dimengerti dirinya sendiri.

They Don't Know About Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang