Seminggu lagi telah berlalu. Percakapan yang terakhir tak menghasilkan apa pun, tak memperbaiki kondisi mana pun. Aldy tetap susah ditemui, bahkan dia sudah terang-terangan menghindari Zafran. Setiap berkunjung ke rumahnya, orang tua Aldy selalu berkata, “Aldy enggak mau diganggu, Zaf. Kamu coba naik ke kamarnya, gih! Sepertinya dikunci, tapi mungkin kalau kamu yang ke sana, dia mau buka pintu. Tante juga enggak tahu dia kenapa. Tiap ditanya, dia bilang capek banyak tugas.”
Zafran memang sudah sangat akrab dengan keluarga Aldy, bisa keluar masuk rumah itu kapan pun tanpa dilarang, tetapi dia juga tahu diri. Jika Aldy tak ingin bertemu dengannya, ya sudah. Dia tak akan membobol masuk kamar orang hanya untuk bicara. Tidak beradab.
Hari ini, Aldy bertanding. Zafran datang, seperti di banyak pertandingan yang lain. Bedanya, biasanya beberapa menit sebelum bertanding, Aldy akan menyempatkan menyusup ke bangku penonton, menemuinya, bergurau kecil hanya untuk meredakan gugup. Kali ini, tak ada yang menghampiri.
Enggak apa-apa. Setidaknya, gue tetap dukung dia.
Beberapa menit kemudian, para pemain basket mulai memasuki lapangan, termasuk Aldy. Gadis-gadis di samping kanan-kiri Zafran terus menjerit, meneriakkan nama-nama pemain. Beberapa terdengar menyebutkan nama Aldy, beberapa membawa kertas berukuran sedang, bertuliskan “GO ALDY!”.
Semuanya sama. Pertandingan yang sama, penggemar Aldy yang sama antusiasnya dengan banyak pertandingan lain. Tak ada yang beda.
Bedanya cuma ada di gue.
Peluit ditiup. Pertandingan dimulai. Antusiasme penonton makin menggila, apa lagi ketika jagoan masing-masing mampu merebut bola dari tangan lawan. Riuh tepuk tangan dan sorakan terdengar memekakkan telinga. Ditambah dengan suara-suara jeritan dari gadis-gadis cheerleader di samping lapangan, bersorak meneriaki tim masing-masing. Memang sudah menjadi tugas mereka untuk memberi semangat bagi pemain basket saat pertandingan.
Empat puluh menit berlalu, tim Qhialdy menang. Sekalipun bukan hal baru, Zafran tetap saja bertepuk tangan dengan kencang, bangga pada sahabatnya. Apalagi di babak terakhir, Aldy yang menjadi dewa. Teman-temannya menggendongnya, dengan sorakan-sorakan kemenangan yang terdengar merdu di telinga para penggemar mereka.
Zafran turun, bermaksud menghampiri Aldy untuk mengucapkan selamat. Dia lupa dengan kondisi mereka saat ini, lupa dengan tembok besar yang sekarang sedang berdiri di tengah keduanya. Yang ada di otaknya hanya rasa bangga, ingin cepat-cepat memeluk sahabatnya, menoyor kepala pemuda itu dengan riang, lalu tertawa-tawa dan menodong traktiran makan seperti biasa. Hanya itu yang ada di ingatan Zafran saat berjalan dengan langkah semangat mendekati pemain di tim Aldy.
“Al ... ”
Belum sempat mendekat, belum sempat menyelesaikan panggilannya, seorang perempuan sudah berjalan mendahului. Salah satu gadis pemandu sorak, berlari cepat ke arah Aldy dengan senyum lebar tergambar jelas di wajahnya. Aldy menoleh ketika tangan gadis itu menyentuh pundaknya, ikut tersenyum lebar, lalu keduanya berpelukan.
Zafran diam di tempat beberapa saat, mencoba mengatasi keterkejutan. Dia seperti pernah melihat gadis itu. Siapa, ya? Di mana?
Oh, iya! Dulu Aldy pernah mengirim foto si Perempuan di chat, menanyakan pendapat tentangnya.
Mendadak, dia ingat dengan kecanggungan yang berminggu-minggu terjadi, perubahan Aldy yang tak masuk akal. Jadi, gara-gara ini?
“Al!”
Aldy menoleh, langsung melepaskan pelukan teman perempuannya ketika melihat Zafran.
“Gue kira, lo enggak ke sini,” katanya, dengan sedikit kikuk. Membuat Zafran tertawa kecil. Memaksakan tawa, lebih tepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
They Don't Know About Us (End)
Fanfiction(Park Jeongwoo x Watanabe Haruto AU; BxB) Ini bukan kisah tentang agama. Bukan kisah tentang undang-undang dasar. Bukan juga tentang benar atau salah. Ini hanya kisah dua insan yang saling menyayangi, yang memutuskan untuk mencari ketika kehilangan...