Disease

568 69 6
                                    

Jadi, kira-kira seperti itu kehidupan Aldy semenjak kejadian di tempat parkir berbulan-bulan lalu. Hatinya dipenuhi dengan rasa menyesal, kehilangan, sepi, yang bergabung membentuk satu kata; galau. Hanya karena seorang Zafran Abqary.

Heran juga. Padahal, ketika Jadira menolaknya berbulan-bulan lalu, galaunya hanya terasa satu malam. Esoknya, dia kembali baik-baik saja, seperti tak pernah mengalami apa pun. Ini kenapa bisa sampai sebulan, dua bulan, tiga bulan, begini? Karena apa, ya, kira-kira?

Soalnya, dulu Zafran yang hibur lo waktu ditolak mentah-mentah sama Jadira.

Aldy membenarkan jawaban yang sering muncul tanpa wujud itu. Zafran yang menghiburnya, membuatnya kembali baik di keesokan hari. Bahkan, Zafran juga yang selalu menjadi penghibur hampir di setiap moment-moment tak menyenangkan yang melanda, membuat yang tidak bagus menjadi bagus. Sekarang, penghibur itu malah hilang. Pantas saja Aldy gundah gulana begini.

Terlebih, tugas kuliah juga sedang lengang. Dosen-dosen itu bisa-bisanya memberikan kebebasan di saat Aldy sedang butuh kesibukan betulan untuk mengalihkan fokus. Sepertinya, saat ini seluruh dunia sengaja berkomplot untuk mengerjainya, mengolok-olok, "Gimana rasanya, Bro? Kayak puyer, ya? Pahit? Coba kalikan perasaan lo sama tahun-tahun yang dilewati Zafran. Mana yang lebih pahit?"

Mungkin, ini yang dirasakan Zafran di masa lalu. Bahkan, sepertinya lebih sakit. Memendam semuanya sendirian selama lebih dari tiga bulan, bertahun-tahun. Hebat juga pemuda itu masih waras hingga detik ini.

Sejak malam pertemuan tanpa sengaja di dekat lapangan, Zafran kembali menghilang. Aldy kembali bertanya-tanya sendiri, anak itu dari mana? Apa Zafran sudah benar-benar berani tampil di panggung-panggung, mengikuti festival musik, seperti yang selalu disarankannya dulu? Bagus, sebenarnya. Akhirnya dia mau menunjukkan bakatnya ke dunia luar.

Tapi, kenapa gue enggak rela begini, sih!

Hati Aldy yang paling dalam merasa cemburu. Cemburu pada orang-orang yang beruntung mendengarkan suara Zafran. Kali ini, dia menciptakan lagu tentang apa? Bagaimana liriknya?

Saking penasarannya, sepulang dari membeli nasi goreng kapan hari, dia memberanikan diri mengirim pesan pada Olivia. Menanyakan pertanyaan sederhana seperti, apakah Zafran baru saja keluar rumah? Ke mana? Bersama siapa?

Namun, sayangnya jawaban Olivia sebagian besar bertulis 'enggak tahu'. Bukan urusannya, jadi dia malas bertanya-tanya pada adiknya. Yang dia tahu, Zafran baru saja pergi ke rumah temannya, di malam 'pertemuan nasi goreng' itu.

Pesan itu semakin membuat Qhialdy penasaran. Teman siapa? Siapa yang berani-beraninya menggantikan posisinya sebagai pendengar setia lagu-lagu Zafran?

"Sialan, Zafran!" Aldy mengumpat sendiri di dalam kamar. Rasanya kesal setengah mati.

Lo yang sialan! Zafran cuma korban ketololan lo!

"Jangan berisik, Setan!"

Aldy memukul kepalanya sendiri. Dia sering melakukannya akhir-akhir ini, karena otaknya sering bicara tanpa permisi. Pun kalimat yang keluar selalu bisa membuatnya makin kesal. Bukan karena terlalu kasar, tetapi karena otaknya selalu berkata kebenaran.

Daripada suntuk, galau sendiri, lebih baik dia bermain basket. Menyalurkan kekesalan pada bola mungkin bukan ide buruk. Lagi pula, sudah lama dia tak mengunjungi lapangan di kompleks rumah. Sekalian nostalgia, siapa tahu kenangan-kenangan waktu Zafran menungguinya bermain sedikit meredakan rindu.

Tanpa berpamitan, pemuda itu mengambil bola basket yang berdiam di sudut kamar. Dia berjalan keluar rumah sembari memantul-mantulkan bola, melangkah menuju lapangan dengan semangat yang tak bisa dibilang besar.

They Don't Know About Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang