24/7, 365 ♡

586 64 6
                                    

Hujan semakin deras, tetapi kedua sahabat yang sedang memutari kompleks perumahan sepertinya belum bosan melakukan aktivitas mereka. Seluruh tubuh keduanya basah kuyup, dari rambut hingga ujung kaki. Bahkan, Zafran sudah sedikit menggigil. Aldy menawarkan untuk berhenti saja, pulang ke rumah dan menghangatkan diri, tetapi temannya itu menolak. Kapan lagi mereka bisa bermain hujan.

Mereka berhenti bersepeda, duduk di aspal dekat pos security kompleks. Beberapa satpam menyapa keduanya, menawarkan tempat berteduh, tetapi baik Zafran maupun Aldy menolak dengan sopan.

"Harusnya tadi kita berhenti di lapangan. Lo bisa sekalian main basket," kata Zafran, sedikit menggoda.

"Lapangan ada penunggunya," timpal Aldy, membuat Zafran berusaha menahan senyum. Dia tahu siapa 'penunggu' yang dimaksud oleh tetangganya itu.

"Jangan kayak anak kecil! Masa gara-gara cinta ditolak, lo enggak mau ketemu sama orangnya?" ejeknya.

"Aneh aja. Iya, 'kan? Pasti canggung kalau kita ngobrol sama dia. Apa lagi, akhir-akhir ini dia jarang kelihatan."

"Dia siapa? Si 'dia' yang lo maksud itu punya nama, Al."

Aldy mencibir kecil mendengar sindiran Zafran. "Jadira! Lo rese banget, sumpah!"

Zafran tertawa mendengar gerutu ala bocah yang baru saja terlontar. Asyik juga ternyata menggoda Aldy.

"Dia kira kita bertengkar," katanya, menceritakan sebagian dari percakapan bersama Jadira.

"Cuma gara-gara dia? Sorry, Bos! Cewek ada banyak di sini!"

Sungguh, segala tingkah Qhialdy mampu membuat Zafran tertawa semakin keras. Laki-laki itu benar-benar tampak seperti bocah enam tahun yang sedang merajuk saat ini.

"Lo enggak ada rasa canggung waktu ngomong sama dia tadi?" tanya Aldy, penasaran. Jadira terang-terangan menyukai Zafran. Bagaimana caranya pemuda itu biasa-biasa saja saat bicara berdua dengan seseorang yang menyukainya?

Yang ditanya menggelengkan kepala dengan pasti. "Kalau gua yang suka, baru gue canggung."

"Lo itu sebetulnya cari yang seperti apa sih, Zaf?" tanya Aldy. Sekian lama berteman dengan Zafran, dia tak juga paham bagaimana tipe ideal Zafran yang sebenarnya. Temannya itu tak pernah terdengar membicarakan tentang seorang perempuan yang diincarnya, juga tak pernah tampak dekat dengan siapa pun.

Selama ini, Aldy tak pernah ambil pusing. Bagaimana pun, ini Zafran yang sedang dibicarakan. Dia tipe orang yang sulit. Jadi, sebenarnya Aldy mengerti kenapa sahabatnya itu benar-benar tak menunjukkan minat apa pun tentang 'mengincar perempuan'. Namun, lama-lama dia penasaran juga.

"Banyak yang titip salam buat lo. Banyak yang titip hadiah, banyak yang suka, banyak penggemar, tapi gue enggak pernah lihat lo kasih respons yang bagus ke salah satu di antara mereka. Tipe cewek lo yang secantik apa, sih? Nanti gue bantu cari."

"Secantik Kak Oliv," jawab Zafran, asal. "Cari, deh! Kalau ada yang mirip Kak Oliv, langsung gue tembak."

"Lo pacaran sama kakak lo sendiri, sana!" kata Aldy, sedikit kesal. Bisa-bisanya Zafran tetap saja menyembunyikan tipe idamannya. Takut apa, sih? Takut Aldy ikut menyukai incarannya?

Untuk ke sekian kali hari ini, Zafran tertawa. Menggoda Aldy rasanya bisa sebegini menyenangkannya. "Lo kenapa, sih? Penasaran banget? Gue enggak punya tipe spesifik, soalnya yang gue suka itu susah dinalar."

"Jadi, sekarang lo lagi suka sama seseorang?"

"Ya ... bukan begitu juga ... " Zafran menggaruk rambutnya yang basah, sedikit salah tingkah, tetapi sukses mengendalikan dirinya dengan baik. "Maksudnya, gue itu juga enggak ada pikiran mau yang seperti apa. Bingung juga, sih."

They Don't Know About Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang