Drenched in Vanilla Twilight

574 66 13
                                    

“Zafran! Dicari Aldy, nih!”

Suara Olivia terdengar sangat kencang dari ruang tamu, hingga membuat Aldy, yang sedang berdiri di depan pintu, tampak sedikit terganggu. Olivia akan selalu mengeluarkan teriakan ekstra jika sedang bersemangat, entah itu dalam hal positif seperti sedang gembira, atau dalam hal negatif seperti sedang marah. Aldy paham itu. Sudah terlalu sering dia mendengar teriakan dari tetangganya.

“Dapat pacar baru, ya?” goda Qhialdy, membuat Olivia tertawa, kemudian menggumamkan sesuatu seperti, anak kecil jangan sok tahu!

“Mending kamu ke kamarnya. Kayaknya, Zafran lagi tidur,” kata Olivia, mempersilakan.

Maka, itulah yang Aldy lakukan; berjalan menaiki tangga dan menuju kamar Zafran.

Benar saja. Di dalam, si Pemilik kamar tampak memejamkan mata, memeluk guling layaknya bayi. Membuat Aldy tersenyum senang. Kelewat senang, malah. Akhirnya dia bisa kembali merecoki sahabatnya, setelah berbulan-bulan yang lama.

Tanpa perlu meminta izin, si Jago basket itu masuk begitu saja, melempar tubuhnya ke kasur dan mengusik tidur Zafran.

“Bangun, woy! Tidur terus kayak Snow White! Bangun, Zaf! Lo enggak kangen sama gue?”

Mendengar suara berisik, plus merasakan ada tangan-tangan yang memukuli lengannya, mau tak mau, Zafran membuka mata. Dia tampak kaget melihat Aldy duduk di sampingnya. Sahabatnya yang sudah lama tak ditemui, tak bertatap muka, kini ada di sebelahnya, sembari menampakkan senyum khas yang menyebalkan. Senyuman yang membuat Zafran jatuh lagi dan lagi.

Ekspresi kaget di wajah Zafran hanya bertahan beberapa detik, lalu kekesalan tergambar jelas. Ini Aldy. Aldy yang sama dengan yang menghancurkan hatinya di hari lalu. Aldy yang sama dengan seseorang yang menjadi alasannya menangis, dan membuat papanya bingung karena menerima permintaan maaf secara tiba-tiba. Setelah berhasil mengacaukan hari-harinya, si Kurang ajar itu berani-beraninya muncul tiba-tiba begini? Seperti tak punya dosa pula?

Zafran melempar guling ke kepala temannya, kemudian mendudukkan diri. “Siapa yang suruh lo masuk?”

“Kak Oliv yang cantik dan baik hati, dong! Siapa lagi?”

Sialan, Oliv!

“Lo enggak kangen sama gue? Lama enggak ketemu. Udah satu abad. Gue jadi makin ganteng begini,” kata Aldy, dengan nada usil.

“Lucu?”

Ditanya dengan penuh sarkasme begitu, Qhialdy malah tertawa, membuat Zafran semakin kesal. Kesal pada diri sendiri karena masih belum bisa menghapus perasaan yang bersarang. Bahkan, sepertinya rasa itu makin membesar, seiring dengan datangnya rindu yang berbulan-bulan menemani.

“Mau apa lo ke sini? Kalau enggak penting, mending pulang!”

Sekalipun merasakan bahagia karena bisa melihat sahabatnya lagi, Zafran tetap bersikeras untuk mengesampingkan segalanya. Dia tak mau menangis lagi karena orang yang sama.

“Penting. Kalau enggak penting, gue enggak akan ke sini,” jawab Aldy, tanpa beban. “Gue kangen sama lo.”

Jantung sialan di dalam diri Zafran berdetak makin cepat. Dia mengumpat dalam diam, mewanti-wanti dirinya agar tak terlalu hanyut dalam perasaannya sendiri. Dia harus bisa mengambil alih. Tiga bulan susah payah memperbaiki hati, membangun dinding yang sudah hancur dari nol. Jangan sampai tembok yang baru terbangun 3cm itu kembali roboh. Semennya mahal.

“Damai, yuk!” Suara Aldy terdengar lagi, kembali berucap, “Ternyata, hidup gue kosong kalau enggak ada lo, Zaf.”

Zafran masih belum melontarkan kalimat balasan. Kepalanya masih memproses. Bayangkan, baru saja (dipaksa) bangun dari tidur, kemudian melihat seseorang yang seharusnya tak dilihat, mendengar suaranya, melihat senyumnya. Lalu, si ‘Orang Terlarang’ itu mengucapkan kata-kata yang membuat merinding. Semesta sedang bercanda, rupanya.

They Don't Know About Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang