Noise and Tears

492 64 21
                                    

Olivia segera menyeret lengan Zafran, membawa adiknya pulang. Dia tak peduli pada umpatan Azion, tak peduli dengan tangisan Mama Aldy yang berusaha membujuk suaminya agar tak menghukum si Sulung, karena Aldy harus diutamakan. Telinganya berdenging. Ucapan Zion tadi menggema di otaknya. Zafran pacar Aldy. Segalanya masuk akal sekarang. Ternyata, praduganya memang benar.

Di luar, mereka berpapasan dengan kedua orang tuanya, yang tentu saja bingung dan panik melihat tangan anak bungsunya berdarah. Lebih bingung ketika mendengar ribut-ribut dari rumah di seberang. Papa Zafran segera menghampiri rumah tetangganya, disusul oleh istrinya, setelah Olivia memberi tahu kalau Aldy pingsan karena dipukuli.

"Nanti Oliv yang obati Zafran. Mama mending bantu mamanya Aldy," kata Olivia. Hanya alasan yang dibuat-buat. Faktanya, dia enggan menjelaskan jika orang tuanya bertanya perihal kejadian.

Gadis itu menyeret Zafran ke kamarnya sendiri, tanpa kelembutan seperti biasanya. Marah? Tidak, dia tidak marah. Lebih ke arah kecewa, mungkin.

Zafran duduk di kasur, tak berani menatap kakaknya sedikit pun. Yang tertua keluar sebentar, kembali beberapa menit kemudian sambil membawa kotak obat. Dia duduk di samping adiknya, tak melirik sama sekali. Bahkan, caranya membalut tangan Zafran dengan perban juga tampak kasar. Padahal, Olivia adalah sehalus-halusnya manusia.

Selesai dengan tangan, Olivia mengobati wajah adiknya. Tetap tanpa kelembutan, dan tetap tak menatap mata Zafran sama sekali.

"Kak," panggil si Bungsu, lalu dia mengernyit menahan perih. Beberapa saat lalu, dia hanya mendapat luka kecil di ujung bibir. Saat ini, lihat wajahnya! Memang cepat sekali Tuhan membolak-balikkan jalan hidup manusia.

Olivia tetap mengabaikan. Bahkan, setelah selesai dengan wajah Zafran, dia hendak pergi begitu saja, jika adiknya itu tak menahan lengannya, menatap dengan pandangan tersedih yang pernah dilihatnya.

"Kak, aku minta maaf."

Akhirnya, dengan satu kalimat itu, Olivia menatap mata Zafran. Dia memperhatikan wajah adiknya, entah apa yang ada di pikiran gadis itu saat ini. Namun, alih-alih menjawab, dia malah berkata, "Jangan dipegang luka-lukanya. Nanti susah sembuh."

"Kak Oliv marah?"

Tanpa menjawab, perempuan itu melepaskan lengannya dari genggaman si Bungsu, membuat Zafran semakin sakit. Selama ini, Olivia selalu di sisinya, apa pun yang terjadi. Baru sekarang dia melihat kakaknya memandangnya dengan tatapan seperti itu. Hatinya sakit. Dia marah. Marah pada diri sendiri karena membuat kakaknya kecewa.

Baru saja Olivia hendak keluar kamar, Papa Zafran masuk dengan langkah cepat, lalu menampar anak lelakinya. Mama menyusul dua detik kemudian, menarik badan suaminya agar tak terjadi keributan lain.

"Bikin malu!" teriak Papa. Pria itu benar-benar marah saat ini. Sepertinya, Azion sudah menceritakan semuanya.

Ya sudah! Tak ada rahasia. Semuanya terbongkar. Kalau sudah begini, sekalian saja Zafran jujur. Toh, wajahnya juga sudah penuh lebam. Kalau sebentar lagi Papa mau memukulinya sampai pingsan, bukan masalah.

"Zafran enggak pernah minta, Pa. Enggak pernah request apa pun ke Tuhan buat sayang sama Aldy," katanya. Matanya berair. Namun, sekuat tenaga dia mencoba mempertahankan agar air itu tidak jatuh.

Papa maju lagi, hendak menempeleng anaknya, ketika Olivia menghalangi. Gadis itu berdiri di depan Zafran, kemudian berucap, "Lukanya Zafran belum sembuh, Pa. Papa enggak ada bedanya sama Bang Zion kalau main tangan begini."

"Adikmu itu salah pergaulan! Harusnya, dia jangan boleh dekat-dekat sama Aldy. Rusak!" bentak Papa. Pria itu menatap Zafran, masih dengan sorot emosi. Kemudian, berkata, "Besok ikut Papa ke dokter."

They Don't Know About Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang