Done With the Silence

533 67 16
                                    

Four years later

 

Riuh terdengar dari lapangan basket seperti hari-hari yang lalu. Suara teriakan perintah, pantulan bola, derap kaki yang berlari, bercampur menjadi satu di siang yang panas. Sesekali terdengar umpatan dari salah satu pemain yang gagal merebut bola, juga tiupan peluit yang menandakan pelanggaran.

Seorang laki-laki berhasil merebut bola dari tangan lawan, membawanya berlari ke arah ring, diikuti beberapa orang mengejar di belakang. Namun, agaknya pemuda itu cukup gesit untuk menghindari mereka. Dia mendekat, melompat dan melempar bola cokelat.

Bukannya mencetak gol, bola malah meleset jauh ke pagar tinggi pembatas antara pemain dan penonton, kembali terpantul di detik selanjutnya, dan sukses menumbuk kepala lawannya dengan kencang. Si Korban mengumpat keras, marah sambil menunjuk-nunjuk si Pelempar yang tak sengaja membuat kesalahan.

“Kalau ada masalah, jangan begini!” Teriakan terdengar dari si Korban, sambil mendekat ke arah si Pelempar.

Yang melempar bola sudah meminta maaf, berkata bahwa dia benar-benar tak sengaja, tetapi tampaknya yang satu tak peduli. Yang dia tahu hanya kepalanya baru saja disambit bola dengan keras.

“Ribut sekalian, ayo!”

Tonjokan pertama berhasil dilayangkan, lalu datang balasan dari pihak sebelah. Ribut. Keduanya berkelahi di lapangan, mengabaikan latihan yang seharusnya mereka jalani saat ini. Membuat bunyi peluit terdengar nyaring, diikuti derap langkah pelatih yang mendekat, memisahkan keduanya.

“Bisa serius?”

Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada membentak, berhasil menginterupsi pertengkaran kedua mahasiswa yang masih bau kencur itu. Hanya perkara sepele, kenapa jadi baku hantam di lapangan?

“Dia sengaja lempar bolanya ke pagar biar balik ke kepala gue, Bang!” adu si Korban, membuat sang Pelatih makin geram.

Tidak bisakah remaja-remaja zaman sekarang tak bertindak sok jago seperti ini? Mereka kira, dengan adanya acara saling tonjok, bisa membuat mereka tampak keren, begitu?

“Ada luka?” tanya si Pelatih. “Kalau niat lo ke sini murni latihan basket, harusnya lo santai. Tapi kalau niat awal lo mau cari ribut, mau bertengkar sama dia karena mungkin ada urusan pribadi, mending lo pulang. Kalian berdua. Jangan bertengkar di depan gue. Paham?”

Keduanya menjawab dengan suara pelan, mungkin takut pada pelatih mereka. Tentu saja mereka harus takut. Qhialdy adalah pemain basket hebat, yang terkenal tak memberi ampun jika ada yang membuat masalah. Namanya sudah dikenal di sepenjuru kampus. Bahkan, beberapa kalangan yang mencintai basket di Jakarta juga pasti mengenalnya. Salah satu alumni yang berhasil membanggakan nama universitas karena piala yang beruntun didapat.

Laki-laki itu didaulat menjadi pelatih basket di mantan kampusnya, sembari mengerjakan pekerjaan rutinnya di dunia design. Membuatkan logo untuk perusahaan-perusahaan besar, design untuk tampilan web, cover buku, tampilan feed untuk pasar sosial media, semacam itu. Sibuk, sudah pasti. Namun, Aldy tetap mengutamakan basket, mendahulukan kegiatan menjadi pelatih di atas segalanya.

Umurnya dua puluh empat saat ini, dan masih sendiri. Semua orang beranggapan bahwa Aldy masih fokus dengan kariernya, mengumpulkan banyak uang tanpa peduli dengan asmara. Namun, bukan itu yang menjadi alasan di balik status lajangnya. Dia belum bisa berdamai dengan masa lalu.

“Al!”

Panggilan dari seseorang membuatnya menoleh. Dani ada di sana, entah kapan laki-laki itu datang. Ingat Dani? Iya, benar. Yang dulu pernah memukuli Aldy karena cemburu dan kalah bertanding.

They Don't Know About Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang