Precious

718 65 13
                                    

Aldy sudah ada di dalam rumah Zafran saat ini, duduk di sofa, sambil menunggu pemilik rumah mengambilkan minuman dan makanan kecil. Dia mendongak, menoleh kanan dan kiri, menatap sekeliling rumah. Tak terlalu besar. Rumah itu memiliki ruang tamu sederhana, dapur, satu kamar mandi dan satu kamar. Bukan hunian yang buruk jika dijadikan tempat tinggal untuk satu orang, tetapi benar-benar tak sebanding dengan rumah keluarga Zafran.

Si Pemilik rumah akhirnya kembali ke ruang tamu, membawa dua minuman kaleng dan stoples berisi kacang. Dia meletakkan di meja depan Aldy, sambil berucap, “Adanya cuma ini. Jarang ada tamu yang main ke sini.”

“Gue tamu, nih?” tanya Qhialdy.

Zafran duduk di sampingnya, sedikit memberi jarak. “Iya. Lo dari jauh.”

Dia mengambil satu minuman kaleng, membuka dan meminum isinya sendiri. Aldy baru sadar kalau dua minuman yang dibawa Zafran itu minuman bersoda.

Zafran tidak suka soda sebelumnya.

“Lo minum itu?” tanya Aldy, saat melihat si Tuan rumah menelan minuman dengan gampangnya. Padahal, dulu, jika minuman bersoda menyentuh lidahnya sedikit saja, dia akan berteriak marah, memaki-maki karena kerongkongannya terasa tersetrum.

Zafran mengangguk, kemudian menghentikan acara minumnya. “Ternyata rasanya enak.”

Aldy, yang tak menyukai teh pahit, beralih meminum minuman yang rasanya seperti obat itu. Zafran, yang tak menyukai minuman bersoda, kini meminumnya tanpa ada gerutu yang keluar. Keduanya mempunyai kebiasaan yang sama, melakukan apa yang dilakukan oleh pribadi masing-masing untuk mengisi rindu.

Menyadari itu, Aldy tersenyum. Setidaknya, dia masih memiliki arti untuk Zafran.

“Lo tahu rumah gue dari mana?” tanya Zafran, sambil meletakkan minuman kaleng yang masih bersisa di atas meja.

“Menurut lo, dari mana?” Alih-alih menjawab, Qhialdy malah bertanya. Membuat Zafran menampakkan raut berpikir selama beberapa detik. Tak terlalu lama, hingga akhirnya dia sadar.

Tentu saja! Siapa lagi?

“Sialan!” gerutunya kecil, sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana, bermaksud memarahi Jadira karena ingkar janji.

Belum sempat menekan tombol lock, ponsel itu dirampas begitu saja oleh tamunya, dimasukkan ke dalam saku celana milik sendiri.

“Empat tahun enggak ketemu, masih mau diduakan sama HP. Enggak kangen sama pacar lo yang ganteng ini?” tanyanya.

“Siapa pacar gue?”

Qhialdy menoleh kanan-kiri, atas-bawah, bahkan melonggokkan kepala ke kolong meja, lalu kembali menatap Zafran dan tersenyum konyol, seraya menunjuk wajahnya sendiri, “Ini, ‘kan?”

Zafran mendengkus. Jika boleh bersumpah, dia kangen dengan Aldy yang ini, yang bertingkah konyol dan sering mengesalkannya.

“Jadi ... ” Si Tamu kembali bicara, “Selain kerja di toko buku, sewa rumah pakai uang penjualan mobil, makin ganteng, apa lagi yang perlu gue tahu, Zaf?”

“Enggak ada. Gue bukan artis yang kehidupannya penuh sama cerita macam-macam,” jawab Zafran, enteng.

“Hati, gimana? Aman?”

“Aman,” jawab laki-laki itu lagi. Dia menjeda kalimatnya beberapa saat, hingga akhirnya melontarkan lanjutan, “Sebelum lo ke sini.”

“Memangnya, sekarang kenapa? Gonjang-ganjing, ya? Hati lo gempa bumi? Jatuh cinta berkali-kali, ya, sama gue?” tanya sang Tamu, iseng. Dia menggeser duduknya sedikit mendekat. Kangen sekali rasanya menjahili Zafran sampai telinganya memerah.

They Don't Know About Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang