~happy reading~
...
Senja mendecih sinis, menyaksikan drama pelukan Aura dan Angga di hadapannya. Baginya, ini semua lelucon—acara penyelesaian masalah hubungan "AA" yang digelar dengan begitu teatrikal
"Tcih, pake segala percaya segala," gumamnya sinis, cukup keras hingga beberapa pasang mata menoleh denga tatapan heran.
"Nja, please, stop," bisik Kayla, raut wajahnya memohon. Ia tahu betul ke mana arah pembicaraan Senja akan menuju.
"Apa? Lagian, ngapain juga bikin acara kayak gini? Percuma, tahu gak? Ujung-ujungnya dia bakal ngelakuin hal yang sama lagi," sembur Senja, nada bicaranya meremehkan.
"Nja!" Rey memperingatkan, rahangnya mengeras.
"Apa?! Lo gak suka? Gue juga gak suka kalau Aura terus-terusan dibodohi sama temen biadab lo itu!" balas Senja sengit, matanya berkilat marah.
"Ikut gue!" Kayla menarik paksa lengan Senja, menjauhkannya dari para lelaki yang mulai terpancing emosi.
"Lo bisa gak sih, gak usah ungkit-ungkit itu lagi?!" Kayla akhirnya meledak, suaranya bergetar menahan amarah.
"Kenapa? Gue cuma—"
"Stop, Senja!! Gue tahu lo gak suka sama mereka, tapi seenggaknya hargai Aura! Dia udah pacaran lama sama Angga, bahkan jauh sebelum lo punya ide gila buat ngehancurin geng mereka. Gue dari kemarin diem, ngasih lo ruang, karena gue pengen lihat, sebenernya, lo mau bawa ini semua ke mana," jelas Kayla, suaranya meninggi.
"Gue pikir, setelah kecelakaan yang—well, kita semua tahu—disengaja itu, lo bakal ngubur semua dendam lo. Tapi sekarang? Lo malah kayak gini. Lo sadar gak sih, Nja, lo udah nyakitin gue sama Aura tanpa lo sadari? Dengan lo berusaha ngehancurin Black Eagle, sama aja lo ngehancurin Angga sama Rey," lanjut Kayla, napasnya memburu.
Senja terdiam, mencerna setiap kata yang dilontarkan Kayla. Sebuah senyum sinis tersungging di bibirnya saat ia menatap Kayla, yang balas menatapnya dengan terluka.
"Gue sadar kok. Justru, kayaknya, yang gak sadar itu lo berdua. Secara gak langsung, lo juga ikut nyakitin mereka. Dulu, setahun yang lalu, gue udah bilang kan sama kalian, jangan terlalu dalam menaruh perasaan di sini, karena suatu saat, gue bakal bikin mereka hancur. Dan lo berdua setuju. Jadi, jangan salahin gue kalau sekarang semua jadi rumit," jawab Senja tenang, namun tatapannya dingin.
"Wow, lo gila, Nja! Asli, ini bukan Senja yang gue kenal. Gue tahu lo bilang gitu dulu, tapi lo gak mikirin Langit? Dia suami lo! Kalian udah nikah! Dan lagi, bukannya dia udah mulai peduli sama lo? Dia bahkan kelihatan mulai suka sama lo!" seru Kayla tak percaya, suaranya meninggi.
"Oh ya? Gue gak percaya, Kay. Langit suka sama gue? Haha! Lo emang temen gue, tapi lo gak tahu apa yang gue rasain selama ini. Jadi, jangan sok tahu kalau Langit udah suka sama gue!!" balas Senja sinis, menusuk.
"Sekarang, terserah kalian mau keluar dari Cat Girl atau tetap di sini. Pilihan ada di tangan kalian. Tapi gue ingetin sekali lagi, jangan pernah terlalu percaya sama siapa pun, bahkan sama orang tua atau pacar lo sendiri. Gue pamit," ucap Senja, berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Kayla yang membeku di tempatnya.
Senja berjalan cepat menuju tempat parkir, tempat motornya terparkir. Ia memang datang ke taman ini bersama Langit, tapi untungnya, ia membawa motor sendiri. Ia tidak sudi terjebak lebih lama dalam sandiwara yang membuatnya muak ini.
Kayla kembali ke tempat persembunyian mereka, menatap Aura dan Angga yang masih asyik berpelukan, seolah dunia hanya milik berdua.
"Senja mana?" tanya Langit tiba-tiba, suaranya datar. Kayla tersentak kaget.
"Hah? Oh, dia udah pergi," jawab Kayla berusaha santai.
"Pergi ke mana, Yang?" tanya Rey, alisnya bertaut curiga.
"Pulang, kali," jawab Kayla mengangkat bahunya acuh.
"Tumben gak pamit," gumam Langit, lebih pada dirinya sendiri.
"Sebenernya... tadi kita sempet berantem," Kayla mengakui, suaranya lirih. Mata Langit membulat.
"Kenapa gak bilang dari tadi?!" Langit tampak frustrasi.
"Sorry," jawab Kayla singkat.
Tanpa membuang waktu, Langit berbalik dan berlari menuju motornya. Ia menyalakannya dan melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan taman yang mendadak terasa menyesakkan. Ia teringat ucapan Mentari, ibu Senja, bahwa saat emosi, Senja seringkali kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Setelah beberapa menit memacu motornya, Langit tiba di rumah. Ia melihat motor Senja terparkir di halaman. Dengan jantung berdebar, ia membuka pintu dan mendapati Senja tengah membongkar sebuah kotak—kotak kado yang beberapa hari lalu datang dari pengirim tak dikenal.
"Oh, kenapa pulang?" tanya Senja, suaranya datar, saat melihat Langit berdiri mematung di ambang pintu.
Senja tersenyum sinis, matanya menyorot ke arah foto-foto yang berserakan di lantai. Foto Langit dan Lena, adik dari mantan kekasihnya.
"Ka-mu..." gumam Langit, suaranya tercekat.
Srett
Dengan gerakan kasar, Langit menyambar kotak itu dan membawanya keluar kamar. Ia melemparkannya ke tempat sampah dengan amarah yang membara, lalu menyulut api dan membakar semua foto tanpa sisa. Senja hanya berdiri di ambang pintu, menyaksikan amarah Langit tanpa ekspresi.
"Kenapa dibakar? Kasihan dia udah capek-capek nganterin ke sini," kata Senja, suaranya datar, tanpa emosi.
"Aku udah bilang, jangan pernah dibuka!" bentak Langit, matanya berkilat marah.
"Kenapa? Takut? Takut kamu gak bisa lupain dia?" tanya Senja, menusuk tepat di jantung Langit.
"Kamu... Dari tadi, ah ralat, dari kemarin, kamu kenapa? Ada apa yang lo sembunyiin dari gue?" tanya Langit dengan nada yang semakin meninggi.
"Gak ada. Kenapa sih lo emosi banget? Itu cuma foto, dan gue biasa aja," jawab Senja acuh.
"Gak usah coba ngalihin pembicaraan!!" bentak Langit, napasnya memburu.
Senja terdiam. Tangannya yang tadi terlipat di dada, kini terkulai lemas. Ia menatap Langit dengan tatapan nyalang, tanpa sedikit pun rasa takut. Ia mendekat, menantang Langit.
"Mau gue terusin? Mau gue buka semua kartu sekarang?" tanya Senja, suaranya berbisik, namun sarat akan ancaman.
"Katakan," cetus Langit, rahangnya mengeras.
Senja tersenyum manis, namun sorot matanya dingin. "Gue tahu, semenjak Lena balik ke sini, lo diem-diem nyariin dia, kan? Lo bahkan berusaha buat dapetin nomornya lagi, dan sekarang lo udah berhasil. Kalian setiap hari saling berkirim pesan! Jangan pernah lo mikir gue gak tahu apa-apa, Lang! Jangan pernah lo ngeremehin gue!"
Langit terdiam, terkejut. Ia memang mencari Lena, tapi bukan dengan maksud untuk kembali menjalin hubungan. Ia hanya ingin tahu kabarnya dan memberitahunya bahwa ia sudah menikah, dan memintanya untuk tidak mengganggunya lagi.
"Lo bener, gue emang nyari dia, tapi bukan buat apa-apa. Gue cuma pengen ngasih tahu dia kalau gue udah nikah dan minta dia buat gak ganggu gue lagi. Itu doang, gak lebih," jelas Langit, berusaha meyakinkan Senja.
Senja tertawa sinis. "Dan lo percaya sama omongan dia? Denger ya, Lang, gue tahu Lena luar dalam. Gue tahu dia gak bakal nyerah buat ngerebut lo dari gue!!"
Mata Senja tiba-tiba terasa panas, dadanya berdebar kencang. Rasa nyeri yang familiar kembali menghantam hatinya. Entah kenapa, mengingat foto-foto itu, rasa sakitnya terasa begitu nyata. Dengan kasar, ia menghapus air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya, lalu tersenyum—sebuah senyuman yang membuat hati Langit mencelos.
"Kayaknya, kita butuh waktu buat sendiri. Kita perlu merenungkan semuanya. Kalau udah siap, kita bisa ketemu lagi nanti. Gue udah hubungin Pak Herman, dia bakal dateng buat ngangkut barang-barang gue. Gue bakal tinggal di rumah Mama dulu," ucap Senja, lalu berbalik dan mulai mengemasi barang-barangnya.
"Nja, apa perlu dibawa semua?" tanya Langit, matanya menatap nanar dua koper besar dan sebuah ransel yang tergeletak di lantai.
"Kurang lebih gitu. Oh, Pak Herman udah dateng. Gue pergi dulu, ya. Jaga diri lo baik-baik," kata Senja, lalu menyeret kopernya menuju pintu.
Saat Senja hendak melangkah keluar, Langit dengan cepat menghalangi jalannya. Senja hanya diam, menatap Langit tanpa ekspresi.
"Jangan pergi," bisik Langit, suaranya memohon.
Senja melepaskan diri dari hadangan Langit, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kesedihan, kekecewaan, amarah, dan rasa sakit yang bercampur menjadi satu.
"Jaga kesehatan," ucap Senja lirih, lalu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Langit yang terpaku di tempatnya.
Di jalan, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah. Senja terisak, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia memacu motornya dengan kecepatan tinggi, mengabaikan lalu lintas yang padat.
"Renzi, maaf... Maaf karena gue harus sedih lagi. Maaf karena semua ini gara-gara Lena... Maaf, hikss," isaknya.
Pak Herman, yang sedari tadi membuntuti Senja, kini tertinggal jauh. Ia tidak mampu mengimbangi kecepatan Senja yang semakin menggila.
"Hikss... maaf," isak Senja lagi.
Terlalu larut dalam kesedihan, Senja tidak menyadari bahwa di depannya, sebuah truk melaju dengan tidak stabil. Truk itu terus melaju dengan kecepatan tinggi, bahkan lampu depannya sudah berkedip-kedip dan klaksonnya terus berbunyi, namun Senja tetap tidak menyadarinya. Hingga, sebuah kejadian mengerikan tak terhindarkan.
BEEP, BEEP!!
BRAAKK
BRUGG
"Akh, uhuk... N-aom-ihh..."
"Senja, bangun!! Bangun!!" teriak Meli histeris, namun percuma. Senja tidak bergerak, matanya terpejam rapat.
"Uhuk... M-el-i... ma-maaf," bisik Senja lirih, lalu kehilangan kesadarannya.
👻👻👻
"Senja mana?!" Langit panik, baru saja tiba di depan ruang ICU.
"Sedang ditangani, Den," jawab seorang perawat dengan wajah prihatin.
"Nak Langit," panggil Mentari, suaranya bergetar.
Langit berbalik dan menatap kedua orang tua Senja dan kedua orang tuanya dengan tatapan kosong. Perlahan, Mentari mendekat dan mengusap pundak menantunya.
"Ma, maafin Langit... Langit gagal lagi," ucap Langit tertunduk, air matanya mulai menetes.
Mentari tersenyum lembut, lalu mengangkat wajah Langit dan mengusap air matanya. "Enggak, Nak. Ini bukan salah kamu. Ini memang sudah takdir Senja. Jangan salahkan diri kamu, ya, Nak. Mama gak mau kejadian yang dulu terulang lagi," ucap Mentari, suaranya penuh kasih.
Ceklek
Saat Langit hendak menjawab, pintu ruang ICU terbuka. Semua orang bergegas menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan.
"Dok, bagaimana keadaan istri saya?" tanya Langit cemas.
"Alhamdulillah, pasien dibawa ke sini dengan cepat. Jika saja terlambat, nyawa pasien mungkin sudah tidak bisa diselamatkan," jawab dokter dengan nada lega.
Semua orang bernapas lega mendengar kabar baik itu. Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama. Dokter melanjutkan kalimatnya, dan seketika, tangis Mentari dan Yuana pecah.
"Tapi... kondisi pasien saat ini sangat kritis. Akibat benturan keras di kepala, pasien mengalami koma. Kami belum bisa memastikan berapa lama ia akan koma. Dan..." Dokter menjeda kalimatnya, tampak ragu. Langit dengan kasar mencengkeram kerah baju dokter.
"Dan apa?! Jangan bertele-tele! Bilang apa yang terjadi sama Senja!!" bentak Langit, matanya merah padam.
"Langit, tenang!" Jordy menarik paksa Langit menjauh dari dokter.
"Dan apa, Dok? Apa yang terjadi sama anak saya?" tanya Gibran dengan nada cemas.
"Kemungkinan besar, pasien akan mengalami amnesia. Benturan keras di kepala menyebabkan kerusakan pada jaringan otak yang mengatur memori. Kemungkinan, ingatannya akan hilang untuk sementara waktu," jelas dokter dengan nada prihatin.
"APA?! Gak mungkin! Gak mungkin anak saya hilang ingatan! Pa, gimana ini, Pa? Senja..." Tangis Mentari semakin histeris, ia memeluk Gibran erat-erat.
Yuana pun tak kalah terpukul. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan suaminya. Langit terduduk lemas di lantai, menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia mencengkeram rambutnya dengan erat, seolah ingin merobek semua rasa sakit yang menghantuinya.
"Maaf, Nja... Maaf..." gumam Langit lirih, suaranya bergetar.
Tiba-tiba, Langit berdiri dan berlari meninggalkan rumah sakit, mengabaikan teriakan ayahnya yang memanggil namanya.
"Langit mau ke mana, Yah?" tanya Yuana cemas.
"Gak tahu, Bun. Biarin dia sendiri dulu. Tadi Ayah lihat dia nangis... Baru kali ini Ayah lihat Langit nangis," jawab Jordy dengan nada khawatir.
Di sisi lain, Langit terduduk di taman rumah sakit, mendongakkan kepalanya ke langit. Ia mengingat semua momen indah yang pernah ia lalui bersama Senja. Senyumnya mengembang saat mengingat bagaimana Senja selalu berusaha membuatnya tertawa, bagaimana ia selalu ada untuknya, bahkan ketika ia sedang terpuruk.
"Ternyata, gue udah jatuh cinta sama lo ya, Nja... Dulu, gue emang gak pernah berniat buat buka hati gue buat lo. Tapi, saat gue tahu lo masih belum bisa ngelupain mantan lo, gue bertekad buat ngedapetin lo. Gue pikir, gue udah berhasil. Tapi ternyata, gue salah," gumam Langit sendu.
"Maaf, Nja... Harusnya gue ada di sisi lo sekarang, tapi gue malah kabur. Gue belum siap ngeliat lo terbaring gak berdaya di atas ranjang itu. Rasanya sakit banget, Nja," lanjutnya.
Gibran tersenyum mendengar gumaman Langit. Ia mendekat dan duduk di samping menantunya.
"Papa," sapa Langit lirih.
"Kenapa di sini? Masuk sana, temenin Senja," kata Gibran lembut.
"Nanti aja deh, Pah. Badan Langit masih bau, gak enak sama Senja," jawab Langit, membuat Gibran tertawa kecil.
"Haha, ya ampun, Nak. Senja lagi pake oksigen, dia gak bakal nyium bau badan kamu," kata Gibran.
Langit tersenyum canggung. Alasan yang konyol, pikirnya.
"Nak, Papa tahu, membangun rumah tangga di usia muda itu gak mudah. Tapi Papa juga tahu, kamu bisa ngebangun rumah tangga kamu sebaik mungkin," nasihat Gibran.
Langit terdiam, meresapi setiap kata yang diucapkan Gibran. Ia mengangguk pelan. "Makasih, Pa," ucapnya tulus.
Gibran menepuk pundak Langit. Malam itu, keduanya larut dalam obrolan. Gibran bercerita tentang kenakalan-kenakalan Senja sejak kecil yang sering membuatnya pusing, dan Langit mendengarkan dengan seksama, seolah ia sedang mempelajari setiap detail tentang wanita yang dicintainya.
~NEXT~
- Memang benar takdir tidak akan ada yang tau hanya Tuhan lah yang tau kita hanya bisa menerima dan bersyukur.
- apakah menuju end? atau belum? pantengin terus cerita saya ya, jangan sampai ketinggalan cerita selanjutnya (^^)
- maaf ini up nya di malem senin karena malming saya belum juga nemu ide jadi ini baru bisa up, semoga suka yaa🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGSA (TAHAP REVISI)
Teen Fiction"Kenapa dari sekian banyak nya lelaki, kenapa harus elo yang jadi suami gue, udah gitu sama-sama bisa lihat hantu pula, kan serem." - Naomi Senja Putri. Naomi Senja Putri, gadis cantik yang sialnya di kenal gadis gila karena tingkahnya yang sering...
