28. Langsa

342 13 1
                                        

~happy reading~
...
warning typo!!!
...



"TIDAKK!!!" Langit melonjak dari tempat tidur, tubuhnya bermandikan keringat dingin. Napasnya tersengal-sengal, jantungnya berdebar kencang.

Dengan panik, Langit bangkit dan mencari sosok yang kini menjadi satu-satunya fokusnya: Senja. Ia harus memastikan mimpi buruk itu tidak menjadi kenyataan.

Langit menyusuri setiap sudut rumah, memanggil nama Senja dengan nada cemas. Namun, rumah itu sunyi senyap. Ia mencoba menghubungi Senja, tapi panggilannya tak kunjung dijawab.

"Nggak... nggak mungkin... Nja, kamu di mana? Jangan tinggalin aku..." bisiknya putus asa.

Langit terduduk lemas di anak tangga, air mata mulai mengalir di pipinya. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu mengerikan.

"Mas Langit?" Suara Bi Kokom membuyarkan lamunannya.

Langit menyeka air matanya dan mendongak. Bi Kokom tampak terkejut melihat keadaannya.

"Ya Allah, Mas Langit kenapa? Kok nangis?" tanya Bi Kokom dengan nada khawatir.

Langit terdiam. Ia bingung melihat Bi Kokom tampak baik-baik saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Apa Bi Kokom tidak tahu tentang Senja?

"Bi... Bibi tahu kan keadaan Senja?" tanya Langit hati-hati.

"Tahu, Mas. Kenapa emangnya sama Mbak Senja?" Bi Kokom balik bertanya, membuat Langit mengerutkan kening.

"Bi... Senja... meninggal," ucap Langit dengan suara tercekat.

"Astagfirullah! Ngomong apa sih, Mas? Gimana bisa?" Bi Kokom tampak sangat terkejut.

"Bi, Senja kan masuk rumah sakit, terus dokter bilang dia meninggal. Itu bohong kan, Bi?"

"Mas Langit mimpi ya? Setahu saya, Mbak Senja nggak ada masuk rumah sakit kok, Mas. Malah tadi pagi Mbak Senja pamit sama saya mau pergi," jelas Bi Kokom, membuat Langit ternganga.

"Serius, Bi?"

"Serius, Mas. Bohong dosa."

"Terus... dia ke mana?"

"Lho, bukannya semalam Mbak Senja udah bilang mau nginep di rumah Mamanya?"

Mendengar itu, Langit langsung berlari menuju garasi. Ia mengambil motornya dan melaju meninggalkan rumah, membuat Bi Kokom menggeleng-gelengkan kepala.

"Sampai kebawa mimpi, kasihan. Pantesan aja semalam badannya Mas Langit panas," gumam Bi Kokom sebelum kembali ke dapur.

Langit memacu motornya dengan kecepatan tinggi, mengabaikan lalu lintas yang padat. Yang ada di pikirannya hanyalah satu: bertemu dengan Senja.

"Senja, gue harap ini cuma mimpi..."

Setelah menempuh perjalanan yang terasa begitu lama, Langit akhirnya tiba di rumah orang tua Senja. Hal pertama yang dilihatnya adalah motor Senja yang terparkir di halaman. Tanpa ragu, Langit masuk dan mencari Senja.

"Assalamualaikum! Senja!!" teriak Langit dengan nada panik.

"Senja, kamu di sini kan?!"

"Astagfirullah, Langit! Ada apa ini? Kenapa teriak-teriak?" Mentari muncul dari arah dapur, tampak kaget.

"Ma, Senja mana, Ma? Senja baik-baik aja kan, Ma?" tanya Langit bertubi-tubi.

"Ma, jawab! Senja di mana, Ma?" Langit mengguncang bahu Mentari, matanya berkaca-kaca.

"Langit?" Panggilan lembut Senja menghentikan Langit.

Langit menoleh dan melihat Senja berdiri di ujung tangga, menatapnya dengan bingung. Tanpa berpikir panjang, Langit menghambur ke arah Senja dan memeluknya erat-erat, seolah takut kehilangan.

Grep

"Lang..."

"Hiks... kamu... dari mana? Jangan tinggalin aku... Maaf, Nja, aku nggak akan bohong lagi... hiks... tapi jangan tinggalin aku..." Langit memotong ucapan Senja, membuat Senja mengerutkan kening.

Senja menatap Mentari, yang juga tampak bingung. Saat mereka masih berpelukan, Kayla dan Aura datang, diikuti oleh Gibran yang membawa belanjaan.

"Lho, ada apa ini?" tanya Gibran pelan.

"Nggak tahu, Pa. Langit tiba-tiba dateng, panik nyariin Senja," jawab Mentari sebelum kembali ke dapur.

"Langit, kenapa sih? Udah dong, lepasin. Gue nggak bisa napas nih," pinta Senja dengan nada kesulitan.

"Nggak mau! Kalau gue lepas, gue takut ini cuma mimpi... hiks..."

Tangis Langit tak kunjung berhenti, membuat Senja semakin bingung. Ini pertama kalinya ia melihat Langit menangis di depannya.

"Langit, hey, lepas dulu ya? Kita ngobrol baik-baik. Aku nggak akan pergi kok, janji. Kalau gini terus, kamu nggak capek apa?" bujuk Senja lembut.

Namun, bukannya melepaskan pelukannya, Langit malah semakin mengeratkannya, membuat Senja menghela napas pasrah.

"Nggak, Nja. Kalau aku lepas, kamu bakal pergi..."

Senja akhirnya pasrah. Ia memberi kode pada Kayla dan Aura untuk menarik Langit dari pelukannya. Kayla dan Aura mencoba menarik Langit, tapi tenaga mereka tidak sebanding dengan tenaga Langit.

"Woi! Lo kenapa sih?!" kesal Kayla sambil memukul punggung Langit dengan keras.

"Aduh! Sakit... Njaa..." rengek Langit, semakin terisak.

"Ih, kalian bukannya bantu malah bikin dia makin nangis!" omel Senja, lalu mencoba menenangkan Langit.

Kayla dan Aura saling bertukar pandang, bingung dengan tingkah aneh Langit. Apa karena mereka sedang bertengkar? Tapi, tidak mungkin sampai menangis seperti ini.

Senja berusaha melepaskan diri dari pelukan Langit. Setelah berjuang cukup lama, akhirnya ia berhasil. Namun, saat Langit hendak memeluknya lagi, Senja dengan cepat menarik Langit menuju kamarnya. Ia harus menyelesaikan masalah ini di kamar, sebelum orang tuanya melihatnya.

"Duduk," perintah Senja, yang langsung dituruti oleh Langit.

Langit duduk di tepi tempat tidur, sementara Senja berdiri di depannya. Senja memutar bola matanya jengah melihat Langit menggenggam ujung bajunya erat-erat.

"Kamu kenapa sih, Langit? Dateng-dateng nangis kayak gini?" tanya Senja dengan nada lembut.

"Kamu... hiks... kamu ninggalin aku..."

"Lho, bukannya semalam aku udah bilang mau nginep di rumah Mama? Kamu juga udah iya-in, kan?"

"Bukan... hiks... kata dokter... kamu meninggal, Nja... hiks... kamu ninggalin aku..." jawab Langit dengan tangis yang kembali pecah.

Senja terdiam, mencerna setiap perkataan Langit. Kemudian, ia menggenggam tangan Langit dan memeluknya erat, mencoba menenangkan suaminya.

"Sayang, kamu habis mimpi buruk ya?" tanya Senja lembut.

"Aku nggak pergi kok. Nyatanya, aku masih di sini, di hadapan kamu. Lihat," kata Senja lagi, sambil menangkup wajah Langit yang basah oleh air mata.

Senja tersenyum melihat wajah Langit yang begitu menggemaskan saat menangis. Ia merasa gemas hingga tanpa sadar mengecup pipi Langit.

"Gemes banget sih... Udah ya, jangan nangis lagi. Aku nggak pergi kok," bisik Senja sambil mengusap air mata di pipi Langit.

"Peluk... aku nggak mau ditinggal..." rengek Langit, membuat Senja tertawa geli.

"Sebenarnya mimpi apa sih kamu, Langit? Sampai segitunya," batin Senja.

Senja duduk di samping Langit, lalu memeluk tubuh besar Langit. Ia mengusap-usap punggung Langit dengan lembut, mencoba menenangkannya. Langit masih terisak, meski sudah tidak mengeluarkan air mata.

Di sisi lain, Kayla dan Aura membantu Bi Inah dan Mentari menyiapkan sarapan. Senja dan Aura memang sudah berbaikan. Pagi tadi, Aura mengunjungi Senja di rumah Langit, namun Bi Kokom mengatakan bahwa Senja sedang berada di rumah orang tuanya.

Masalah antara ibu dan anak itu juga sudah selesai. Senja dan kedua temannya sudah meminta maaf dan menjelaskan semuanya kepada Mentari. Mentari pun sudah memaafkan mereka, dengan syarat mereka tidak boleh keluar malam lagi, dan jika pun harus, mereka harus berhati-hati.

"Senja di mana, Nak?" tanya Mentari.

"Lagi ngurusin bayi gedenya, Ma," jawab Aura sambil terkekeh.

"Oh iya, bener. Itu Langit kenapa sih? Apa mereka berantem? Kok Langit sampai segitunya?"

"Iya, Ma, semalam mereka berantem. Makanya Senja pulang ke sini. Tapi tadi Senja sempet ke rumah kok buat ngecek Langit, soalnya Bi Kokom bilang badannya panas," jelas Kayla.

"Tapi baguslah, Ma. Jadi Langit sadar kalau kelakuannya selama ini tuh salah," celetuk Aura.

"Salah bagaimana?" tanya Mentari penasaran.

"Langit kan diem-diem ketemu sama mantannya itu, Ma. Terus dia juga sering kirim pesan. Nggak cuma itu, Ma, Langit sering bayarin dia, sedangkan Senja yang istrinya malah nggak dibayarin. Aneh kan, Ma?"

"Mama tahu nggak, mantannya Langit itu Lena, adiknya Renzi, Ma," timpal Kayla.

Mentari terdiam mendengar cerita dari kedua putrinya. Ia mengangguk-angguk paham. Saat ia hendak bertanya lagi, Senja tiba-tiba datang dan duduk di salah satu kursi meja makan.

"Lho, Nak, Langitnya mana? Nggak apa-apa ditinggal?" tanya Mentari, melihat putrinya tampak lelah.

"Udah nggak apa-apa, Ma. Lagian dia tidur lagi, mungkin kecapekan nangis mulu," jawab Senja.

"Aneh, dia dateng-dateng nangis gitu?" tanya Kayla.

"Habis mimpi buruk kayaknya. Soalnya kemarin Bi Kokom bilang badannya panas, terus tadi juga badannya anget," jawab Senja.

"Ya udah, Nak, habis makan kamu bikinin bubur ya. Kasihan dia, baru bangun langsung ke sini," saran Mentari, yang hanya diangguki oleh Senja.

Kini, semua orang sudah berkumpul di meja makan, kecuali Langit. Mereka menikmati sarapan dengan lahap, sambil sesekali mengobrol.

Setelah sarapan selesai, Senja membuatkan bubur untuk Langit. Kayla dan Aura menemaninya di dapur, sambil sesekali mengajak Senja mengobrol.

"Nja, masalah Cat Girl belum ada yang tahu kan?" tanya Kayla tiba-tiba.

"Belum. Kenapa?"

"Kemarin gue sempet ke markas, dan mereka bilang dua hari yang lalu ada orang yang ngintai markas. Gue curiga itu Rhacel."

"Kenapa lo langsung mikir itu Rhacel?" tanya Aura.

"Karena dia terakhir yang bikin Senja luka. Seolah-olah dia udah tahu kalau Cat Girl itu kita. Mustahil kalau dia nyerang tapi nggak dapet informasi sama sekali," jelas Kayla, yang diangguki oleh Aura.

"Kita lihat aja dulu. Nanti kalau bener dia Rhacel, kita cari bukti buat dia dikeluarin dari Black Eagle. Kalau bisa, biar Langit yang ngeluarin dia," usul Senja.

"Kabarin kalau ada info. Gue ke atas dulu," kata Senja, lalu pergi membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih.

Ceklek

Senja membuka pintu kamar perlahan. Ia melihat Langit masih terlelap dalam tidurnya. Saat Senja hendak membangunkan Langit, suara ponsel Langit berdering, menandakan ada pesan masuk.

Senja mengambil ponsel Langit dan melihat ada dua kontak yang sangat ia benci saat ini: Rhacel dan Lena. Dua gadis yang akhir-akhir ini terus mengganggu Langit dan dirinya.

"Gue buka nggak bikin dia marah kan?" gumamnya ragu.

Kemudian, Senja membuka pesan dari Rhacel. Ia sedikit terkejut melihat ponsel Langit tidak terkunci, namun ia juga merasa senang karena tidak perlu menebak kata sandi ponsel suaminya.

Rhacel

Langit, kamu di mana?

Senja tertawa pelan membaca pesan Rhacel. Apa haknya menanyakan keberadaan suaminya? Siapa dia? Senja saja jarang sekali menanyakan hal seperti itu.

Kemudian, Senja membuka pesan dari Lena. Ia sedikit tidak percaya melihat Lena berencana mengunjungi Langit dan dirinya.

Lena

Langit, aku boleh berkunjung ke rumahmu? Aku ingin lihat siapa sih gadis yang bisa menaklukkan hatimu itu selain aku?


Senja (membalas)

Maaf Len, g bsa gue lg prg!


Setelah membalas pesan, Senja meletakkan ponsel Langit dan membangunkan Langit untuk makan, mumpung buburnya belum terlalu dingin.

"Langit, bangun..."

Mata tajam Langit terbuka dengan tiba-tiba. Ia bangkit dan menatap Senja dengan tatapan berbinar.

"Nja, ka..."

"Stop! Cukup nangisnya. Sekarang makan dulu," cegah Senja, membuat Langit terdiam.

Senja mulai menyuapi Langit dengan perlahan. Mereka hanya saling diam hingga bubur habis tak tersisa.

"Minum dulu, habis itu istirahat. Aku mau naro mangkuk," kata Senja, yang hanya diangguki oleh Langit.

Saat Senja pergi, ponsel Langit kembali berdering. Langit pun mengecek siapa yang mengiriminya pesan di pagi hari.

Lena

Yahh, aku pengen lihat istri kamu tau☹️

Langit tertawa pelan melihat balasan yang sudah dipastikan ditulis oleh Senja. "Lucu," gumamnya.


 ***


Senja kembali ke kamar untuk mengecek keadaan Langit, apakah masih demam atau tidak. Namun, saat ia menempelkan tangannya di kening Langit, Langit terbangun dan menatap Senja dengan tatapan penuh cinta.

"Eh, maaf jadi kebangun. Tidur lagi aja, aku temenin," kata Senja lembut, namun tidak dihiraukan oleh Langit.

Langit menarik Senja ke dalam dekapannya, membuat Senja seketika berbaring di samping Langit. Langit memeluk Senja dengan erat.

Senja mengusap-usap punggung Langit dengan lembut dan sesekali menyenandungkan lagu tidur agar suaminya terlelap. Langit dan Senja kini tertidur kembali, saling mendekap satu sama lain.

"Pa, lihat. So sweet banget mereka," bisik Mentari.

"Iya, kayak jaman kita dulu ya, Ma," jawab Gibran sambil merangkul pinggang istrinya.

"Harus difoto terus kirim ke Yuana deh, pasti dia seneng banget," kata Mentari, lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai memotret Senja dan Langit yang tengah tertidur pulas.


~NEXT~

- Ternyata selama ini Langit mimpi?, kalo bukan mimpi apa dia akan mendadak menjadi gila hanya kehilangan wanitanya.

- Kali ini gw dobel up, karena gw agak greget sma Langit Senja hehe, tapi semoga ngga aneh sih dari episode 27-28

-  Semoga suka so jangan lupa vomen, Arachi!! hehe

LANGSA (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang