~happy reading~
...
warning banyak typo!!!
...
Dua minggu berlalu, namun harapan seolah enggan berpihak. Senja masih terlelap dalam komanya, sebuah tidur panjang yang menyayat hati setiap orang yang mencintainya.
Ceklek
"Senja... apa kabarmu di sana?" bisik Aura lirih, suaranya bergetar menahan tangis.
"Nja, kita datang lagi... meski rasanya percuma," timpal Kayla, duduk di kursi dengan lesu.
"Maaf ya, telat jenguk. Markas rusuh banget, ada serangan mendadak. Kalau ada lo, pasti udah beres dari kemarin, Nja..." Kayla menggantungkan kalimatnya, membayangkan betapa mereka merindukan Senja.
"Tapi... kita bisa kok, meski nggak secepat lo, hehe," Aura mencoba tersenyum, namun air mata mengkhianatinya.
"Nja, dari lo di sini, kayaknya kita belum minta maaf ya, Ra?"
"Iya... Nja, maafin kita. Kita nggak mikirin perasaan lo. Gue kebawa emosi, sampai bikin lo sakit hati. Maaf ya, Nja, omongan kita... bikin lo kayak gini," sesal Aura, mengusap lembut tangan Senja yang dingin.
"Gue juga, Nja... maafin gue. Gue kasar banget sama lo. Padahal, lo bener, tapi gue malah ngebentak lo... yang bahkan jarang gue lakuin. Maaf ya, Nja, kalau aja gue nggak ngomong gitu, lo nggak akan..." Suara Kayla tercekat, air mata tumpah ruah membasahi pipinya.
Aura tak mampu berkata apa-apa. Air mata mengalir deras di pipinya, hatinya hancur berkeping-keping. Mereka menangis dalam diam, menggenggam erat tangan Senja, berharap keajaiban datang. Isak tangis memecah kesunyian ruangan, menciptakan simfoni kepedihan yang tak tertahankan.
"Huft... duh, jadi cengeng gini sih kita," ucap Aura, menyeka air mata yang tak kunjung berhenti.
"Haha... iya nih, jarang banget gue nangisin lo, Nja," sambung Kayla, mencoba tertawa di antara sesenggukan.
"Senja... bangun dong, tidur lo lama banget sih, tumben," keluh Aura, mengusap lembut rambut Senja.
"Iya nih, udah dua minggu aja lo nggak bangun, Nja. Padahal, kita udah nyiapin hadiah buat lo... hadiah karena lo udah bertahan sampai sekarang," Kayla menambahkan, senyum getir menghiasi wajahnya.
Ceklek
Suara pintu terbuka perlahan. Kayla dan Aura terkejut, menoleh ke arah pintu. Namun, yang terlihat hanya kegelapan lorong, tanpa seorang pun di sana.
"Lo denger kan? Ada yang buka pintu?" tanya Kayla, merinding ketakutan.
"Denger banget... tapi kok nggak ada siapa-siapa?" jawab Aura, matanya memindai setiap sudut ruangan.
"Jangan-jangan..."
"Angin... mungkin cuma angin," potong Aura cepat, berusaha menenangkan diri.
Kayla terdiam, lalu berjalan ragu menuju pintu. Sebelum menutupnya, ia mengintip keluar, mencari sosok misterius yang mungkin bersembunyi. Namun, lorong itu tetap sepi dan gelap. Dengan cepat, Kayla menutup pintu dan berlari kembali ke sisi Aura, yang tampak pucat pasi.
"Ra... kayaknya kita salah deh jagain Senja malem-malem gini," bisik Kayla, suaranya bergetar.
"Apa sih, Kay? Udahlah, nggak papa. Gue yakin tadi cuma angin, nggak usah dipikirin," Aura mencoba meyakinkan, meski hatinya sendiri dipenuhi keraguan.
"Iya sih... ya udahlah."
Malam semakin larut, membawa serta kesunyian dan kesedihan yang semakin mendalam. Kedua gadis itu masih setia menemani Senja, mencoba mengusir rasa takut dan kesepian dengan bermain ponsel. Namun, suara pintu terbuka kembali, membuat keduanya terlonjak kaget. Tanpa pikir panjang, mereka melempari sosok yang baru masuk dengan tas masing-masing.
Bruk
"Woy! Apa-apaan sih lo?!" seru Langit kesal, meringis kesakitan.
"Lho, kalian?! Ngagetin banget sih!" protes Kayla dan Aura bersamaan, lalu bergegas mengambil tas mereka.
"Yang seharusnya bilang gitu itu kita, tahu nggak sih?" tanya Marvel heran.
"Iya juga ya, kenapa jadi mereka yang marah?" timpal Davin, bingung.
"Dari kapan kalian di sini?" tanya Angga.
"Dari tadi! Kalian kemana aja sih? Kenapa Senja ditinggal sendirian?" balas Kayla, emosinya meluap.
"Lo juga, Lang! Bukannya jagain malah keluyuran!" cetus Aura, tanpa basa-basi.
"Gue beli makan," jawab Langit seadanya, lalu menghampiri Senja dan duduk di sampingnya. Ia membuka kotak nasi goreng yang dibelinya di depan rumah sakit.
"Aku makan dulu ya, Nja. Maaf tadi lama, ngantri banget," bisik Langit, lalu mulai makan dengan lahap, mengabaikan tatapan teman-temannya.
"Udah pada makan belum?" tanya Rey, memecah keheningan.
"Belum," jawab Kayla dan Aura serempak.
"Dari tadi kompak mulu kalian," komentar Bima.
"Suka-suka kita lah," balas keduanya lagi.
"Kalau gitu, nih makan. Tadi gue juga sempet beli nasi goreng," tawar Angga, memberikan nasi goreng miliknya. Rey pun melakukan hal yang sama.
"Serius?" tanya Aura, terharu.
"Kalian terus makan apa dong?" tanya Kayla, khawatir.
"Kita nggak laper kok, iya kan, Rey?" jawab Angga, tersenyum. Rey hanya mengangguk.
Mereka pun mulai menyantap nasi goreng yang sebenarnya dibelikan Langit, mencoba mengusir rasa lapar dan kesedihan yang menghimpit.
Selesai makan, mereka memutuskan untuk mengobrol sebentar, mencoba menghibur diri sebelum memutuskan untuk menginap. Besok hari libur, jadi mereka bisa menjaga Senja, berharap keajaiban akan datang.
Saat yang lain asyik mengobrol, Langit hanya diam, menatap Senja dengan tatapan kosong, sesekali mengusap tangannya yang dingin.
"Enjaa... tau nggak, kemarin aku nggak sengaja ketemu anak kecil. Lucu banget, Nja! Kalau ada kamu, pasti udah dicubitin pipinya, soalnya gembul banget, kayak kamu," cerita Langit dengan nada ceria, seolah Senja benar-benar mendengarkannya.
"Terus, ibunya si anak kecil tiba-tiba ngajakin aku foto. Katanya aku ganteng banget. Udah gitu, ibunya bilang kalau bayinya yang nyuruh dia ngajak aku foto. Katanya, dia ngidam pengen foto sama aku, haha... lucu ya, Nja?"
Rey menatap Langit dengan iba. Tidak ada senyum di wajahnya, hanya ada tatapan kosong yang menyiratkan kesedihan mendalam. Langit terlihat seperti orang yang kehilangan jiwanya.
"Yang... kasihan banget sama Kak Langit," bisik Kayla pelan, air mata kembali menggenang di matanya.
"Udah seminggu lebih Langit kayak gitu. Gue juga kasihan sama dia, tapi mau gimana lagi? Kalau gue tegur, dia malah ngamuk dan nangis histeris. Dia kelihatan banget kehilangan Senja," jelas Rey dengan nada sedih.
"Dia pernah kayak gini sebelumnya?" tanya Aura.
"Nggak pernah. Dulu, waktu dia ngejauh dari Lena, dia nggak separah ini. Dia cuma diem aja, nggak nunjukkin reaksi apa-apa. Tapi kemarin, waktu Panji nggak sengaja nyebut nama Senja, dia langsung marah dan pergi gitu aja," jelas Angga.
"Senja... sekarang ada cowok lain yang nggak mau kehilangan lo setelah Renzi," batin Kayla, hatinya teriris.
"Nja... cowok yang dulu lo takutin nggak bisa move on dari masa lalunya, sekarang udah lepas dari bayang-bayang itu. Tapi, dia malah kelihatan lebih menyedihkan saat lo tinggalin," batin Aura, terisak.
Kedua gadis itu kembali menangis dalam diam. Angga dan Rey segera menenangkan mereka, khawatir Langit akan marah jika mendengar tangisan mereka.
"Hey... jangan nangis. Nanti Langit denger, dia bisa ngamuk," kata Rey lembut, mengusap rambut Kayla.
"Ke-kenapa hik..."
"Dia nggak mau denger orang nangisin Senja karena..."
"Senja masih hidup! Dan lo nggak berhak nangisin dia!" potong Langit tiba-tiba, suaranya tajam dan menusuk.
"Itu yang mau gue bilang," sahut Bima.
Langit menatap tajam teman-temannya, lalu kembali menatap Senja dengan tatapan kosong. Ia meraih tangan Senja dan menggenggamnya erat, seolah takut kehilangan.
"Sorry, Lang... kayaknya kita keluar dulu," kata Rey, mencoba mencairkan suasana.
Langit hanya diam, mengabaikan teman-temannya. Ia kembali mengajak Senja mengobrol, seolah Senja benar-benar ada di sana.
***
Keesokan harinya, Langit terbangun dengan hati hancur. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Senja yang masih terlelap dalam komanya.
"Pagi, Enjaa..." sapa Langit lirih, suaranya bergetar.
"Pagi juga, sayang," sahut seseorang dari belakang.
Langit menoleh dan mendapati Bundanya tersenyum lembut.
"Bunda... sejak kapan Bunda di sini?"
"Dari subuh tadi. Bunda kangen banget sama Senja, makanya Bunda kesini."
"Oh iya, ada Amanda juga lho. Tapi, Amanda lagi beli sarapan dulu buat anak Bunda ini," kata Yuana, mencubit hidung Langit pelan.
"Bun... Langit mau mandi dulu ya. Nanti kalau nggak mandi, Senja pasti marah. Kata Bunda, Senja nggak suka cowok bau kan?" kata Langit dengan nada polos. Yuana hanya mengangguk, hatinya teriris melihat putranya.
Langit pun pergi ke kamar mandi. Tepat saat itu, Amanda datang membawa sekantung bubur.
"Langit mana, Bunda?" tanya Amanda.
"Dia lagi mandi, Nak. Sini deh, lihat adikmu tersenyum," kata Yuana, menunjuk Senja.
"Eh... iya! Bunda, apa Senja mimpi indah?" tanya Amanda, terharu.
"Sepertinya begitu. Mereka berdua... sangat menyakitkan," lirih Yuana.
"Senja... bangun dong, Sayang. Suami kamu lagi hancur. Kalau kamu bangun hari ini, dia pasti bahagia," kata Amanda, mengusap lembut tangan Senja.
Pintu kamar mandi terbuka, dan Langit keluar dengan rambut basah. Ia berjalan menghampiri Senja dan memberikan handuk.
"Keringin rambut aku," pinta Langit, membuat Yuana dan Amanda terkejut.
"Bun... Langit..." Amanda terdiam, tak tahu harus berkata apa.
"Langit, Sayang... sini, biar Bunda yang keringin rambut kamu," kata Yuana lembut, menghampiri Langit yang sudah duduk di samping ranjang Senja.
"Nggak mau, Bun. Maunya Senja... Senja mau kan, Nja?" kata Langit, menatap Senja dengan tatapan memohon.
Yuana dan Amanda terdiam, air mata mengalir deras di pipi mereka. Hati mereka hancur melihat Langit yang begitu terpukul.
"Bun... kenapa Senja diem aja?" tanya Langit, bingung.
"Senj..."
"Haha... bodoh, Senja kan koma," potong Langit, tertawa hambar.
Langit mengambil handuk yang sudah diletakkan di atas tangan Senja dan berjalan keluar kamar. Kaki Yuana terasa lemas, membuatnya terjatuh ke lantai. Amanda segera membantunya duduk di sofa.
"Hikss... Bunda nggak tega, Senja. Hati Bunda sakit banget lihat Langit kayak gini... hikss..."
Isak tangis kembali memecah kesunyian ruangan. Amanda memeluk Yuana, mencoba menenangkannya. Hatinya juga hancur melihat adik iparnya yang begitu menderita.
"Senja... bangun, Sayang. Kakak kangen banget sama kamu. Kamu cuma tidur, tapi semua orang merasa kehilangan kamu," batin Amanda.
"Renzi... kalau kamu di sana, tolong jangan bawa anakku... hikss. Bunda belum siap kehilangan dia... hikss. Senja, Nak..." lirih Yuana, suaranya penuh kepedihan.
Keduanya menangis lagi dan lagi, meratapi nasib malang yang menimpa keluarga mereka. Kebahagiaan dan kesedihan selalu berdampingan, dan kini Langit berada di jurang kesedihan yang tak berujung.
~NEXT~
- Gk kebayang gimana klo misalnya si Senja pergi selama-lamanya
- Kasian sebenarnya sama Langit tapi gpp lagian ini juga sebenarnya buat nguji apakah benar jika si Langit nih dah cinta ama si Senja tapi kyknya sih udah ya, dari cara dia yang merasakan kehilangan, iya gk sih menurut kalian bagaimana?
- Senja cepet bangun yak jangan kebablasan tidurnya kasian si Langit sendirian, nanti bisa-bisa di ambil lagi sama Lena. upss🙊
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGSA (TAHAP REVISI)
Fiksi Remaja"Kenapa dari sekian banyak nya lelaki, kenapa harus elo yang jadi suami gue, udah gitu sama-sama bisa lihat hantu pula, kan serem." - Naomi Senja Putri. Naomi Senja Putri, gadis cantik yang sialnya di kenal gadis gila karena tingkahnya yang sering...
