23. Langsa

319 8 0
                                        

~happy reading~
...

BRAK!!!

Suara tabrakan yang begitu nyaring membuat orang-orang yang tengah beraktivitas di rumah sakit terkejut. Sebuah mobil menabrak pohon tak jauh dari sana.

Senja sempat menoleh ke belakang, melihat kedua temannya. Mereka bertiga tertawa pelan, namun kemudian kehilangan kesadaran.

Senja, yang sudah terluka, kini keadaannya semakin parah. Hidungnya terkena pecahan kaca. Kayla dan Aura pun sama, terkena pecahan kaca depan mobil.

Dengan sigap, pihak rumah sakit bergegas membantu Senja, Kayla, dan Aura. Mereka membawa ketiganya ke ruang UGD. Namun, Senja dibawa ke ruang operasi karena luka parah di lengannya.

Banyak orang merekam kejadian itu, bahkan ada yang tak percaya. Apalagi mereka masih remaja dan kejadiannya sudah larut malam, membuat beberapa orang berpikiran buruk.

Operasi segera dilakukan dan berlangsung selama satu jam. Operasi berjalan lancar, dan Senja bisa dipindahkan ke ruang rawat inap.

Saat terbangun, Senja sudah berada di ruangan serba putih. Ia meraba lengannya yang diperban. Dengan hati-hati, Senja bangun dan melihat sekeliling. Saat matanya menatap jam, matanya membulat.

"Gawat, sudah jam setengah satu," katanya panik. Dengan cepat, Senja melepas infus di tangannya, tak mempedulikan darah yang mengalir. Senja pun segera mengganti pakaiannya. Saat hendak keluar kamar, kedua temannya datang.

"Nja, akhirnya lo sadar," kata Aura dengan nada lega.

"Kenapa, kalian panik banget?" tanya Senja bingung.

"Kita harus cepat pulang. Rey dari tadi menelepon gue, bahkan Angga juga," jawab Kayla, membuat Senja melihat ponselnya yang mati. Benar saja, ada lebih dari sepuluh panggilan dari Langit dan beberapa pesan.

"Lo masih bisa lari, kan, Nja?" tanya Aura.

"Gue bisa, ayo pulang," jawabnya.

Setelahnya, mereka keluar rumah sakit dengan tertatih-tatih. Sebelum pergi, mereka sempat melunasi biaya rumah sakit. Setelah pembayaran selesai, ketiganya berlari susah payah menuju mobil Kayla yang terlihat ringsek. Namun, tak ada pilihan lain. Mereka pun menjalankan mobil biru itu.

"Huff, untung mobilnya masih bisa jalan," kata Kayla lega.

Senja dan Aura hanya mengangguk menanggapi Kayla karena mereka masih lelah akibat aksi nekat mereka.

Flashback Off

"Senja," panggil Mentari, sang ibu.

"Eum, iya, Mah, kenapa?" tanya Senja, sedikit mendongak melihat mamanya yang duduk di sofa.

"Sini duduk, Mama sama Bunda mau tanya."

Dengan hati-hati, Senja duduk menghadap kedua ibunya itu. Tak lupa, ia menyuruh Kayla dan Aura untuk duduk juga. Setelah ketiganya duduk dengan baik, Mentari mulai mengajukan pertanyaan.

"Semalam kalian ke mana?" tanya Mentari.

"Itu, eu, em."

"Jawab yang benar."

"Aduh, Mah, semalam itu, emm~"

"Jawab yang benar, Senja. Kalian ke mana? Bukannya Mama sudah sering bilang jangan keluar malam? Dan ini kalian keluar malam lagi, bahkan sampai luka-luka begini," kata Mentari dengan nada marah yang tersirat. Ketiganya hanya bisa diam. Mereka tahu hal ini akan terjadi dan sudah mereka tunggu-tunggu sejak tadi.

"Jawab! Mama bicara sama tembok? Apa kalian mendadak bisu?" tanya Mentari, sedikit meninggikan suaranya, membuat ketiganya terperanjat kaget.

"Tari, tenang. Ingat kondisi mereka, apalagi Senja," kata Yuana, mengusap punggung temannya dan sekaligus besannya.

"Nggak bisa, Na. Mereka sudah keterlaluan. Kamu juga, Senja, kamu lupa kalau kamu sudah nikah? Kamu keluyuran malam-malam, meninggalkan suami kamu di rumah sendirian. Kamu bukan anak kecil lagi, kamu sudah besar, lho. Dulu-dulu Mama masih memakluminya, tapi sekarang sudah nggak bisa. Hal yang Mama takutkan benar-benar terjadi, kan? Lihat, kalian luka parah karena ulah kalian sendiri," marah Mentari. Saking marahnya, suaranya terdengar sampai ke para lelaki yang tengah asyik bermain catur di taman belakang.

Gibran, yang tahu istrinya tengah marah, dengan cepat menghampirinya, diikuti oleh yang lainnya. Saat mereka sampai di ruang TV, mereka terkejut melihat ketiganya menangis sesenggukan dengan menundukkan kepala. Tersirat rasa kasihan melihatnya.

"Ngapain nangis? Kalian yang salah, tapi kalian yang nangis."

"Ma, hikss, maaf, kita, hikss, keluar~"

"Kita keluar karena mau bilang masalah aku sama Angga, hikss," potong Aura dengan cepat, membuat Senja dan Kayla menatap Aura tak percaya.

Semua orang terkejut mendengar pengakuan Aura. Bahkan Langit dan Rey pun menatap Angga yang terdiam kaku. Suasana mendadak hening sesaat hingga perkataan Senja membuat mereka bingung.

"Enggak, bukan itu, Ma, hikss. Ini salah Senja, harusnya Senja nggak memaksa mereka buat keluar nonton bioskop," kata Senja menatap sang ibu dengan wajah sembabnya.

"Astaghfirullah, Senja. Sudah berapa kali Mama bilang jangan nonton bioskop terus? Apa sih yang kamu tonton di sana? Kamu bisa nonton di rumah. Kalau memang mau nonton, seharusnya dari siang, Nak, jangan malam-malam. Ingat, kamu anak gadis, kamu itu perempuan. Kamu nggak takut di luar sana banyak orang jahat? Mama nggak mau kamu kenapa-kenapa. Mama sering melarang kamu keluar karena takut anak Mama kenapa-kenapa, apalagi kamu sering kemasukan tanpa lihat tempat," kata Mentari, menatap Senja dengan tatapan kecewa, bahkan menghindari menatap mata Senja.

"Sudahlah, Mama lelah. Kalian urus masalah kalian sendiri, Mama sudah tidak mau ikut campur. Percuma Mama kasih tahu jika kalian begini terus," katanya, lalu pergi meninggalkan ketiga putrinya yang kini hanya diam menunduk terisak.

"Sudah, ya, jangan nangis. Lebih baik kalian istirahat saja dulu. Biarin Mama tenangkan pikirannya. Kalau sudah tenang, kalian ngobrol lagi, oke," jelas Yuana lembut, mengusap rambut ketiganya sayang, lalu menyusul Mentari yang masuk ke salah satu kamar di sana.

Bahkan Gibran dan Jordy pun hanya bisa menyimak dan keduanya mengikuti istri mereka pergi, membiarkan anak-anak menenangkan diri.

"Ngapain lo bilang gitu?" tanya Senja menatap Aura.

"Itu kenyataan. Gue sudah bilang kan di chat kalau gue mau cerita masalah itu," bela Aura.

"Tapi nggak usah ngomong sama Mama. Lo tahu kan Mama gampang khawatir, terus malah lo bilang gitu."

"Sama aja, Nja. Lo jelasin gitu juga bikin Mama makin khawatir. Mama tuh lebih khawatir ke lo karena Mama tahu lo tuh sering kemasukan dan lo anak kandung Mama. Kalau tadi lo nggak bilang gitu, kita masih bisa jelasin!" kata Aura yang tak mau mengalah.

"Kalau memang benar, kenapa nggak lo jelasin yang lainnya? Kenapa harus hubungan lo sama Angga?"

"Karena gue pengen Mama tahu bahwa hubungan gue nggak semulus lo, Nja!!" kata Aura dengan keras.

"Mulus? Ra, lo sadar lo ngomong gitu? Tahu dari mana hubungan gue mulus? Lo pikir nikah sama orang yang nggak lo kenal bisa bikin hubungan semulus yang lo bayangin? Lo pikir ngejalanin hubungan dengan orang yang masih nyangkut sama masa lalunya gampang~"

"Bukan lo doang, gue juga, Nja. Dia juga belum selesai sama masa lalunya. Bukan itu doang, selama tiga tahun gue pacaran, dia suka bandingin gue sama mantannya. Lo pikir ngejalanin ini semua gampang? Nggak, Nja, gue capek, gue capek harus pura-pura baik-baik aja," potong Aura, menatap Senja dengan nyalang. Bahkan Aura tak mempedulikan Kayla yang sejak tadi menenangkan mereka.

"Huft, denger ya, Ra. Gue tahu emang hubungan lo sama Angga nggak baik-baik aja. Lo dulu sering cerita dan gue sering nyuruh lo putusin dia, dan apa? Sampai sekarang lo masih sama dia. Ini salah lo yang terus bertahan sama hubungan itu," kata Senja kesal.

"Karena gue nggak bisa ninggalin dia. Kalau gue ninggalin dia, sama aja gue sakit. Lo pernah ngerasain hal ini? ENGGAK!! LO NGGAK PERNAH!!" jawab Aura dengan meninggikan suaranya.

"LO?!~"

"Udah!! Kalian kenapa sih, hah? Kenapa jadi debat? Harusnya kalian mikirin caranya buat jelasin sama minta maaf ke Mama, bukan malah adu nasib gini. Ini bukan kalian, tahu nggak?!!" lerai Kayla, menatap kedua temannya kesal.

"Benar kata Kayla, sebaiknya kalian tenangkan pikiran kalian dulu. Percuma kalian debat, yang ada masalahnya nggak selesai," kata Rey yang dari tadi hanya diam menyimak.

Langit mendekati Senja, membantunya berdiri, lalu membawanya pergi ke kamar, berjalan dengan hati-hati agar Senja tak kesakitan karena kebetulan kaki Senja sedikit terluka karena terjepit saat kecelakaan.

"Kalian selesaiin masalah kalian," kata Rey, lalu membawa Kayla pergi dari ruang TV.

Kini di ruang TV hanya ada Angga dan Aura yang saling diam. Saat Aura akan pergi, Angga dengan cepat mencekal lengan Aura.

"Kita obrolin dulu, ya, Ay~"

"Kayaknya nggak usah, g-gue mau pulang," katanya yang terlihat ragu.

"Tapi, Ay, aku mau jelasin kenapa aku gitu."

"Ya udah, jelasin sekarang. Jelasin kenapa selama ini lo beda-bedain mantan lo ke gue? Jelasin kenapa setiap gue ngajak pergi lo terlihat ogah-ogahan? Jelasin kenapa setiap gue mau ke rumah lo nggak boleh, sedangkan mantan lo sering? Jelasin kenapa lo ngelakuin itu?" tanya Aura dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Aku, maaf kalau selama ini sikap aku nyakitin kamu, tapi aku ngelakuin itu karena ada alasannya."

"Ya, apa? Apa alasan lo?"

"Aku..~"

"Haha, kenapa nggak bisa jelasin? Kalau emang niat lo jadiin gue mainan, harusnya nggak usah bego. Tanpa lo sakitin, gue udah menderita!!" katanya, lalu pergi meninggalkan Angga yang kini hanya diam membisu.

"Maaf, Ay, aku cuma takut," monolognya, menundukkan kepalanya.


Kini di kamar, Senja hanya diam, duduk di balkon kamar dengan menatap hujan yang tiba-tiba saja turun membasahi bumi.

"Kalian turun di saat yang tepat, di saat masalah datang, kalian turun tanpa mengikuti urusan para manusia, gue pengen jadi kalian."

"Enak jadi kalian, tak akan ada rasa sakit yang kalian rasakan, tidak seperti gue," monolognya dengan sesekali tersenyum kecut menatap rintikan hujan yang semakin deras.

"Masuk, di luar dingin," kata Langit tiba-tiba.

"Dari tadi gue nggak ngerasain dingin," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya.

Langit yang kasihan melihat Senja memeluk dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuh kecilnya pun berinisiatif mengambil selimut dan menyelimuti tubuh Senja, lalu duduk di samping Senja dengan mendekapnya.

Keduanya hanya saling diam hingga tak terasa Senja tertidur pulas di dekapan Langit. Langit membawa Senja masuk dan menidurkan Senja di kasur, lalu keluar kamar untuk menemui Angga.

Saat Langit menuju ruang TV, terlihat Angga hanya duduk di sofa dengan tak berdaya, menundukkan kepalanya, sangat terlihat menyedihkan.

Puk.

"Gimana?" tanya Langit setelah menepuk pundak Angga.

"Ya, gitu. Mungkin ketakutan gue selama ini bikin dia nggak nyaman. Harusnya emang gue nggak deketin dia, harusnya gue nggak ngetes dia, dan bahkan gue nggak sadar kalau gue terbiasa dengan sikap gue ke dia. Harusnya gue nggak mutusin pac~"

"Itu bukan salah lo. Lo berhak buat nguji dia, tapi seharusnya lo tahu batasan, Ngga. Tapi gue tahu kalau lo nggak lupa, lo masih nggak percaya, dan ketakutan lo itu bikin lo gini. Lo harus bisa buang ketakutan lo sekarang, Ga," jelas Langit.

"Tapi, Lang, ini sudah terlambat."

"Belum. Masih ada waktu buat lo ngejar dia. Bagaimanapun, lo harus bisa bawa dia ke dekapan lo lagi. Jangan nyerah. Kalau lo nyerah, lo bukan Angga yang gue kenal," katanya membuat Angga mengangkat satu alisnya bingung.

"Angga yang lo kenal gimana?"

"Dia nggak akan pernah nyerah sampai impian lo tercapai dan dia orang yang jarang patah hati. Dia teman gue satu-satunya yang lemot, yang sering ngehibur gue, ngeganggu gue sampai gue harus mukul dia dulu. Angga yang gue kenal itu ceria, nggak kayak sekarang yang murung gini," jelasnya membuat Angga menggelengkan kepalanya dengan sesekali tersenyum.

"Gue baru tahu kalau lo bisa ngehibur orang. Gue kira lo cuma bisa diem kayak batu," celetuknya membuat Langit seketika terdiam.

"Maksud lo gue batu yang nggak bisa apa-apa?" tanya Langit membuat Angga menutup mulutnya.

Seketika aksi pergelutan pun dimulai, di mana kini leher Angga dililit dengan lengan Langit dan kepala Angga diketuk dengan jari-jari Langit. Keduanya pun saling melempar tawa saat tangan Angga mulai menggelitiki perut Langit.



~NEXT~

- Yahh mulai ada konflik persahabatan nih

- Kira-kira bakal akur lg gk yak?

LANGSA (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang