~happy reading~
...
~warning typo~
...
Senja menggeliat, matanya terbuka perlahan. Sinar matahari sore menyelinap masuk melalui celah gorden. Ia mendongak, mendapati Langit masih terlelap, memeluknya erat seolah takut ia menghilang.
"Astaga, gue tidur berapa jam, sih?" gumamnya kaget, melihat jam di nakas menunjukkan pukul 5 sore.
Dengan hati-hati, Senja melepaskan diri dari dekapan Langit dan beranjak dari kasur. Ia berniat membersihkan diri, tapi baru saja membuka pintu kamar mandi, rengekan khas Langit terdengar.
"Enjaa~"
Senja menghela napas, lalu menghampiri Langit yang masih berbaring di kasur. Ia menempelkan punggung tangannya ke kening Langit, mengecek suhunya.
"Udah lumayan, kok bangun?" tanyanya lembut.
"Enja nggak di sini," jawab Langit dengan nada merajuk, menepuk-nepuk kasur di sebelahnya.
"Aku mau mandi, makanya nggak di samping Langit," jelas Senja.
"Ikuttt~" pintanya dengan nada mendayu, khas anak kecil.
Senja memutar bola matanya. "Heh! Nggak, nggak boleh!" tolaknya tegas.
"Kenapa? Kan udah sah, jadi boleh-boleh aja," goda Langit sambil menaik-turunkan alisnya, menampilkan sisi jailnya.
Senja mendengus. "Nggak ya! Pokoknya kamu tunggu di sini aja. Nanti kalau aku udah selesai, baru gantian kamu yang mandi," saran Senja, yang hanya diangguki Langit dengan lesu.
"Jangan letoy gitu, dong. Kamu laki, kan?" kata Senja sambil menepuk pelan lengan Langit, menyemangati.
"Ya, iya lah!" jawab Langit dengan nada kesal, merasa harga dirinya dipertanyakan.
"Nah, ya udah!" jawab Senja ketus, lalu melangkah ke kamar mandi, meninggalkan Langit yang masih cemberut di kasur.
Lima belas menit berlalu, namun Senja tak kunjung keluar. Langit mulai berdecak kesal, rasa rindunya semakin menjadi-jadi. Ia menggedor pintu kamar mandi, memanggil Senja.
Tok tok tok
"Enjaa!! Lama banget!" keluh Langit dengan nada manja.
"Ck, sabar ih, bentar lagi!" sahut Senja dari dalam, terdengar sedikit kesal.
"Buruan!!"
"SENJAA!!" teriak Langit lagi, namun tak dihiraukan.
"Enjaa, lama bang..."
"SABAR, LANGIT!!" bentak Senja dari dalam kamar mandi.
Ceklek
Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Senja yang keluar hanya dengan handuk melilit tubuhnya. Langit terdiam, terpaku melihat pemandangan di depannya. Mata tajamnya menelusuri setiap lekuk tubuh Senja yang terekspos, membuat Senja salah tingkah.
"E-nja?" ucap Langit dengan suara serak, nyaris tak terdengar.
"APA? Bawel banget, sih kamu!" kesal Senja, berusaha menutupi rasa malunya. Ia segera mengambil pakaian dan masuk kembali ke kamar mandi.
"Mandi sana, aku mau turun dulu," kata Senja setelah keluar dari kamar mandi, berpakaian lengkap.
Langit hanya diam, masih terpana dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya. Ia lalu masuk ke kamar mandi, namun segera menghampiri Senja yang hendak keluar kamar.
"Bajunya, Nja? Aku nggak bawa baju," ucapnya dengan nada polos, membuat Senja gemas.
"Nanti aku ambilin. Kamu mandi aja, sayang," kata Senja sambil menangkup wajah Langit, memberikan kecupan singkat di bibirnya.
Setelah itu, Langit masuk ke kamar mandi, sementara Senja menuju ruang TV. Di sana, Kayla dan Aura masih menonton TV bersama Mentari dan Gibran.
"Widih, yang habis bobo bareng, nih yee," goda Kayla dengan nada jahil.
"Apa, sih? Aduh, capek banget, asli!" keluh Senja sambil menjatuhkan diri ke sofa, merasa lelah setelah meladeni tingkah manja Langit.
"Capek kenapa, sayang?" tanya Mentari lembut, khawatir dengan putrinya.
"Cepek habis ngapain lo?!" timpal Kayla, semakin menjadi-jadi.
"Gila lo ya! Ya tidur lah! Gue capek ngurusin Langit yang manja mulu dari tadi!!" jawab Senja ketus, membuat Kayla tertawa terbahak-bahak.
Mentari tersenyum mendengar itu, lalu mengusap rambut Senja dengan sayang. "Harus sabar, Nak. Memang gitu, dulu juga waktu Papa sakit, suka manja banget sampai Mama nggak bisa ninggalin Papa kamu sendirian," katanya, membuat Gibran tertawa pelan.
"Haha, bener. Dulu Papa gitu ya? Habisnya, kalau nggak manja sama istri, mau manja sama siapa coba?" timpal Gibran, membela diri.
"Iya, sih, Pah. Cuma kan Senja kesel, ngerengek mulu dari tadi, Pah. Gimana nggak capek Senjanya," keluh Senja.
"Serius? Cowok yang katanya dingin itu ngerengek sama lo?" tanya Aura tak percaya, merasa penasaran dengan sisi lain Langit.
"Ya, gitu deh," jawab Senja singkat, enggan membahasnya lebih lanjut.
"Wah, wah, sangat tidak bisa dipercaya!"
"Udah lah, mau ambilin baju dia dulu. Nanti teriak-teriak lagi, males Senja tuh," kata Senja, lalu bangkit dari sofa.
"Iya, udah sana urusin dulu suaminya. Nanti kalau udah selesai, turun ya, kita makan malam bareng di rumah," kata Mentari lembut, yang hanya diangguki oleh Senja.
Benar saja, Langit sudah duduk di kasur dengan melipat kedua tangannya di depan dada, menampilkan ekspresi merajuk yang membuat Senja gemas.
"Maaf, tadi ngobrol sama Mama Papa, eh, kelupaan. Bentar ya, aku ambilin," kata Senja, lalu mengambil kaus dan celana training milik Langit.
"Ini, pakai gih. Nanti kedinginan kamu," kata Senja sambil menyodorkan pakaiannya. Langit menerimanya dan memakainya di kamar mandi.
"Sini deh, bentar. Ada yang mau aku omongin," kata Senja setelah Langit selesai berpakaian.
Langit menurut dan duduk di samping Senja, merengkuh tubuhnya, mendekapnya dengan posesif seolah takut ia direbut orang.
"Lepasin dulu bentar, aku mau nanya," pinta Senja dengan nada lembut, berusaha melepaskan diri dari dekapan Langit.
"Nggak. Tinggal nanya aja. Aku mau peluk kamu biar kamu nggak pergi lagi," jawab Langit dengan nada kekanakan, membuat Senja menghela napas.
"Hadeh, terserah lah. Oke, kamu kenapa coba dari pagi nangis kejer sampai kamu demam? Nggak biasanya kamu gitu," tanya Senja akhirnya, menatap Langit dengan tatapan menyelidik.
Langit terdiam sejenak, lalu menceritakan mimpinya tentang Senja yang meninggalkannya untuk selamanya.
"Tadi pagi pas aku bangun, aku panik banget, Nja. Aku takut kamu beneran pergi ninggalin aku," katanya sendu, menyiratkan ketakutan yang mendalam.
Senja mengerutkan kening, merasa iba dengan Langit. Secara nggak langsung, lo udah diberi peringatan, Lang, batin Senja. Ia tersenyum ke arah Langit, lalu mengusap rambutnya dengan sayang.
"Setakut itu kamu ditinggal aku?" tanya Senja, memastikan.
"Ya iyalah! Suami mana sih, Nja, yang nggak sedih ditinggal istrinya?" tanya Langit balik, kali ini ia melepaskan pelukannya dan menatap Senja dengan tatapan serius.
"Ya, siapa tahu kamu beda. Bukannya kalau aku pergi, kamu bisa kembali lagi sama Lena, kan?" goda Senja, mencoba mencairkan suasana.
"Enggak! Aku nggak mau kembali sama dia! Aku maunya sama kamu!!" jawab Langit dengan nada tegas, menyiratkan kesungguhannya.
"Tapi kan..."
"Tapi apa? Kamu nggak mau sama aku? Atau mungkin kamu emang beneran belum suka sama aku, ya, Nja?" tanya Langit, membuat Senja terdiam.
"Bener kan? Aku nggak maksain kamu buat suka sama aku, Nja. Aku cuma nggak mau bikin kamu merasa tertekan aja sama sikap aku yang dari kemarin aneh ak..."
"Sstt, diem! Kata siapa aku nggak suka sama kamu, Langit? Aku cuma takut aja nanti kamu kecewa, makanya aku nggak mau berharap lebih sama kamu. Kalau aku nggak sayang sama kamu, nggak mungkin kan aku mau dipeluk, dicium sama kamu?" ungkap Senja, akhirnya mengakui perasaannya.
"Selama ini aku nggak pernah kecewa sama kamu. Kamu juga nggak pernah bikin salah, Enjaa," kata Langit sambil menangkup pipi Senja, menatapnya dengan tatapan penuh cinta.
"Denger ya, apa pun itu masalahnya, aku akan tetap sama kamu. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku udah janji sama Tuhan buat jagain kamu dan terus sama kamu, walaupun sedih maupun seneng. So, kamu nggak usah khawatir," kata Langit lembut, tersenyum lebar untuk menenangkan Senja.
Tapi, gue takut pertarungan nanti bikin lo kecewa, Lang, batin Senja dengan nada sendu, merasa khawatir dengan masa depan mereka.
"Udah, jangan sedih gitu mukanya," kata Langit, menyadari perubahan ekspresi Senja.
"Boleh peluk nggak?" tanya Senja dengan nada manja, membuat Langit tersenyum. Ia segera menarik Senja ke dalam dekapannya, memeluknya erat seolah tak ingin melepaskannya.
Keduanya berpelukan cukup lama hingga suara ketukan pintu terdengar, mengganggu momen intim mereka. Senja melepaskan pelukannya dan menatap pintu dengan kesal.
"Apa sih? Ganggu aja lo," cetus Senja dengan nada kesal.
"Yeh, mesra-mesraan mulu! Ayo turun, udah ditungguin yang lain tuh," kata Amanda, menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
"Kita nggak bisa ikut makan bareng. Mau makan di luar soalnya," kata Langit tiba-tiba, membuat Senja menoleh ke arahnya dengan bingung.
"Lho, mau ke mana? Aku males keluar," tolak Senja.
"Udah, nanti juga tahu. Nggak apa-apa kan, Kak?" tanya Langit, menatap Amanda dengan tatapan memohon.
"Ya, nggak apa-apa. Ya udah deh, gue turun dulu. Yang penting, jangan lupa bawain martabak aja, sih," pinta Amanda dengan nada bercanda.
"Mana uangnya?" goda Langit.
"Ya, bayarin kek! Lo kan nggak pernah traktir gue. Itung-itung sedekah lah," timpal Amanda, membuat Senja tertawa.
"Yeahh, enak bener lo!" jawab Senja dengan tertawa.
Amanda hanya tertawa, lalu turun meninggalkan pasangan itu, yang kembali masuk ke kamar.
"Ada pasar malem. Aku mau bawa kamu ke sana. Mau, kan?" tanya Langit, menatap Senja dengan tatapan penuh harap.
"Mau! Mau! Ayo, buruan! Udah lama aku nggak ke pasar malem," jawab Senja antusias, matanya berbinar-binar.
"Haha, lucu banget sih kamu!" kata Langit sambil mengacak rambut Senja dengan gemas. "Ya udah, sana ganti baju," perintahnya lembut.
Senja mengangguk dan segera memilih pakaian yang akan dikenakannya.
***
Kini, keduanya sudah berada di pasar malam. Suasana riuh rendah dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip dan aroma makanan yang menggugah selera. Mereka asyik menaiki bianglala, menikmati pemandangan kota dari ketinggian.
Langit menggenggam tangan Senja, menatapnya dengan tatapan penuh cinta dan senyum yang tak pernah luntur dari bibirnya. Senja membalas tatapan itu dengan senyum malu-malu, merasa bahagia berada di samping Langit.
"Apa sih? Ngeliatinnya gitu banget, udah kayak mau makan orang," kata Senja, berusaha menutupi rasa gugupnya.
"Kalau aku makan kamu, gimana?" goda Langit dengan nada menggoda, membuat pipi Senja merona.
"Ya kali kamu mau makan aku! Aneh deh!" jawab Senja, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
"Bukan makan itu. Ini beda," kata Langit sambil menaik-turunkan alisnya, menampilkan sisi mesumnya.
"Nggak usah aneh-aneh deh ya! Ini kita masih di sini, lho!" kata Senja, mengingatkan Langit bahwa mereka berada di tempat umum.
"Kalau di rumah boleh?" tanya Langit dengan nada berbisik, membuat bulu kuduk Senja meremang.
"Hah? Nggak tahu ah!" jawab Senja gugup, mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Haha, Nja, boleh cium?" tanya Langit lagi, semakin membuat jantung Senja berdebar kencang.
Senja terdiam, menatap Langit yang tersenyum menawan. Belum sempat ia menjawab, Langit tiba-tiba mengecup bibirnya dengan lembut, membuat Senja terkejut sekaligus merasa bahagia.
"Lang..."
"Boleh kan?" potong Langit, menatap Senja dengan tatapan penuh harap.
Dengan malu-malu, Senja mengangguk, membiarkan Langit kembali mengecup bibirnya. Lalu, keduanya pun berciuman dengan mesra di dalam bianglala, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Singkat cerita, keduanya sudah sampai di rumah. Mereka memutuskan untuk pulang karena besok berencana pergi ke pantai untuk mempererat hubungan mereka.
"Mas Langit, tadi ada temen Mas Langit dateng," kata Bi Kokom saat mereka memasuki rumah.
"Siapa, Bi?" tanya Langit.
"Saya juga nggak tahu, Mbak. Perempuan tadi sih yang ke sini. Katanya mau ketemu sama Mas Langit dan Mbak Senja. Terus, karena lama, jadinya dia nitip ini," jawab Bi Kokom sambil memberikan sebuah kotak kado kepada Senja.
Senja menerima kado itu dan hendak membukanya, namun Langit dengan cepat merebut kotak itu, membuat Senja terkejut.
"Nggak usah. Biarin aja. Aku nggak mau gara-gara kotak gini kita berantem lagi," kata Langit tegas, lalu masuk ke kamar dengan membawa kotak itu.
"Ya udah, Bi, makasih. Kalau gitu, saya masuk dulu," pamit Senja.
"Baik, Mbak."
Senja menyusul Langit masuk ke kamar. Namun, ia tidak menemukan Langit di sana. Matanya tertuju pada pintu kamar mandi yang tertutup, dari balik pintu terdengar suara gemericik air, tanda Langit sedang mandi.
Senja membuka lemari, mencari pakaian yang dulu pernah diberikan oleh Mama dan Bundanya. Ia tersenyum mengingat kejadian di bianglala tadi, saat ia dan Langit berciuman mesra di tengah keramaian.
Semoga pilihan gue nggak salah, kata Senja bersemangat, lalu keluar kamar. Ia memutuskan untuk mandi di kamar sebelah, mempersiapkan diri untuk malam yang akan datang.
Setelah selesai mandi, Senja kembali ke kamarnya mengenakan pakaian pemberian kedua orang tuanya. Ia berbaring di kasur, memperlihatkan pahanya yang putih mulus. Kamar itu kini sudah direnovasi menjadi lebih gelap, hanya lilin beraroma yang memberikan cahaya lembut. Bahkan, di kasur sudah ada bunga-bunga mawar yang berserakan, menciptakan suasana romantis.
Ceklek
Pintu kamar terbuka, menampilkan Langit yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, meneteskan air ke bahunya yang bidang. Langit terdiam, terpaku melihat tingkah Senja yang tersenyum menggoda.
"Ngapain kamu?" tanya Langit dengan nada datar, menyembunyikan rasa gugupnya.
Senja mendengus kesal. Ini bukan respons yang ia harapkan. Kenapa Langit selalu membuatnya kesal?
"Menurut kamu? Ihss, ngeselin banget, sih!"
Langit tersenyum, lalu menghampiri Senja dan duduk di depannya. Ia mengusap pipi Senja yang bulat, mencium pipinya dengan gemas, lalu tertawa.
"Haha, serius kamu? Nanti sakit lho," goda Langit, membuat pipi Senja merona.
"I-ya serius lah! Ya, nanti jangan kasar, kan baru pertama kali," kata Senja gugup, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Langit mengangguk, lalu menarik tangan Senja dan membawanya ke dalam dekapannya. Ia mencium bibir Senja dengan lembut, melumatnya dengan penuh...
~NEXT~
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGSA (TAHAP REVISI)
Teen Fiction"Kenapa dari sekian banyak nya lelaki, kenapa harus elo yang jadi suami gue, udah gitu sama-sama bisa lihat hantu pula, kan serem." - Naomi Senja Putri. Naomi Senja Putri, gadis cantik yang sialnya di kenal gadis gila karena tingkahnya yang sering...
