09. Langsa.

453 23 1
                                        

Warning banyak typo ❗❗❗

Jangan lupa vomen ya gaes hehe, krim aja kritik dan sarannya siapa tau bisa ngebantu gue buat lebih semangat lagi buat wp nya hehe.

>⁠.⁠<HAPPY READING>⁠.⁠<

Malam tiba. Senja dan Langit masuk ke kamar Senja, yang sekarang jadi milik mereka berdua.

"Lo mau ke mana?" tanya Senja.

"Mandi. Mau ikut?" Langit menyeringai.

"Idih, ogah!" Senja mendorong Langit menjauh.

Langit terkekeh melihat pipi Senja yang merona, lalu masuk kamar mandi.

"Buka kado dari curut-curut itu, ah," gumam Senja, menghampiri tumpukan kotak di lantai. Ia mengambil kotak merah menyala dan ungu. "Nggak nyantai banget warnanya."

Senja membuka kado dari teman-temannya dan melongo. "Kampret! Baju apaan ini? Nggak modal banget, sih!" Ia mengangkat baju merah itu. "Mau gue pakai ke mana, coba?"

"Emang niat ngerjain gue," dumel Senja.

Beralih ke kado ungu, Senja tersenyum, tahu itu dari Mama dan Bundanya. Tapi senyumnya luntur saat melihat isinya: baju yang sama, hanya beda warna. "Nggak mungkin! Seriusan?!" teriak Senja frustrasi.

Ia menemukan surat kecil. Setelah membacanya, wajah Senja memerah padam. "Mama sama Bunda, ada-ada aja! Gue masih kecil, tahu!"

"Kecil apanya?" Suara Langit mengejutkan Senja, yang langsung melempar kertas itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kecil apanya?" Suara Langit mengejutkan Senja, yang langsung melempar kertas itu.

"Astaghfirullah! Ngagetin banget, sih!"

"Mandi," kata Langit dingin, merebahkan diri di kasur.

Senja mendengus, "Enak aja nih cowok," lalu masuk kamar mandi.

Setelah Senja masuk, Langit melihat baju-baju "kurang bahan" di lantai. Ia membaca surat dari Bunda dan mertuanya, lalu menggeleng sambil tersenyum tipis. "Bunda, bisa aja."


 ***

Pagi tiba. Senja dan Langit berpelukan di ranjang. Senja membuka mata, silau oleh matahari. Ia terkejut melihat Langit di sampingnya, terlalu dekat. Refleks, ia menendang Langit hingga jatuh.

BRUKK.

"Aduh!"

"Eh, sorry! Refleks!" cicit Senja tanpa membantu Langit.

"Lo gila, ya?!" Langit kesal, mengusap pantatnya.

"Sorry, reflek! Lagian, ngapain meluk-meluk segala?!"

Langit mengangkat alis. "Nggak salah denger? Bukannya lo yang meluk? Lihat, tuh, space kasur lo lebar banget, gue cuma dapat seuprit."

Senja melihat posisi mereka. Benar juga. Tapi, ia tak mau kalah. Pagi itu, mereka ribut hanya karena Senja tak mau mengaku salah. Langit memilih mengalah dan masuk kamar mandi.

"Dasar cowok aneh! Orang belum selesai ngomong!" gerutu Senja.

Setelah Langit keluar, Senja mengambil baju dan keluar kamar, numpang mandi di kamar kakaknya. "Males nungguin dia, lama."

Selesai mandi, Senja menghampiri Mamanya yang sedang memasak.

"Mama," panggil Senja.

"Lho, Senja? Dari kapan di situ? Mama nggak sadar."

"Dari tadi. Mama, Senja mau cerita, deh," tanya Senja dengan wajah serius.

"Boleh, dong. Kenapa, Sayang? Kok, bingung gitu?" Mentari membelai rambut Senja.

"Semalam, Senja mimpi..."

"Mama, Kakak berangkat, ya!" Manda tiba-tiba muncul.

"Ini kan hari Minggu. Ada kelas?"

"Nggak. Mau jalan. Jaehan udah jemput." Manda mencium punggung tangan Mentari dan mengacak rambut Senja, lalu pergi.

"Tadi, Senja mau cerita apa?" tanya Mentari, mengaduk sup ayam.

"Nggak jadi, deh, Ma. Nggak penting juga," jawab Senja, mengambil piring dan menata meja makan.

Mentari menggeleng. "Pasti ada yang disembunyiin. Biarin aja lah, nanti juga cerita sendiri."

"Sayang, panggil suami kamu, gih. Sebentar lagi, Papa datang," kata Mentari.

"Hah? Oh, iya, Ma." Senja menghampiri Langit.

Di tangga, Senja terdiam mendengar suara yang tak asing. Ia menoleh.

"Kkkkk, ternyata kepikiran, ya," kata suara itu, tertawa pelan.

"Lo ngapain, sih?!" marah Senja.

"Santai, dong. Kan, aku cuma lihatin kamu," jawabnya sambil tersenyum.

"Kenapa sih, kan aku datang cuman ingin mengucapkan selamat,"

"Nggak usah senyum gitu! Bikin eneg!" Senja berlari ke kamar dan menutup pintu dengan keras, mengejutkan Langit yang sedang duduk di kasur.

"Ngeselin banget, tuh setan!" gerutu Senja.

"Siapa?" tanya Langit.

"Eh, nggak, bukan siapa-siapa. Ayo turun, udah ditunggu Mama sama Papa." Senja mengalihkan pembicaraan.

Langit mengangguk dan keluar kamar dengan santai. Senja mengekori Langit, membuat Langit heran.

Langit tak menghiraukan. Ia turun tangga dengan santai. Senja mendumel tak jelas di belakangnya.

Sarapan berjalan lancar. Mereka bersantai di ruang TV, mengobrol ringan.

"Kalian jadi mau tinggal sendiri?" tanya Gibran tiba-tiba.

"Iya, Pa, Ma. Nggak apa-apa, kan?" tanya Langit.

"Ya, nggak apa-apa, sih. Cuma, emangnya harus sekarang banget? Nggak nanti aja, kalau udah semingguan?" jawab Mentari lembut.

"Bisa aja, kok, Ma. Cuma, kita nggak mau ngerepotin Mama Papa. Jadi, lebih baik langsung pindah. Nggak apa-apa, kan?" kata Langit lagi.

Mentari masih berat hati berpisah dengan putrinya yang nyebelin itu.

"Iya, kan, Pah? Nggak apa-apa?" tanya Mentari.

"Papa, sih, nggak apa-apa. Cuma, nanti jangan lupa sesekali nginep di sini, ya. Kan, kasihan kalau kamarnya nggak ada yang nempatin," kata Gibran.

"Iya, Papa, Mama. Nanti kita bakal main dan nginep di sini, kok," jawab Senja.

Sore tiba. Senja dan Langit berangkat ke rumah baru yang sudah dibelikan orang tua Langit.


"Hati-hati, ya, Nak. Kalau ada apa-apa, kabarin Papa," kata Gibran, sedih sebenarnya.

"Iya, Papa. Pasti Senja kabarin. Papa sama Mama sehat-sehat, ya. Nanti Senja sering-sering main ke sini," kata Senja, memeluk kedua orang tuanya erat.

"Jangan sedih, dong, Ma, Pa. Kan, enak, udah nggak ada yang bisa bikin Mama sama Papa darah tinggi lagi, iya, kan?" kata Senja dengan tawa kecil. Gibran dan Mentari ikut tertawa.

Selesai berpamitan, mereka pergi.

"Jagain Senja, ya, Nak Langit," kata Gibran saat Langit mencium punggung tangannya.

"Pasti, Pa."

Keduanya melambaikan tangan saat mobil Langit perlahan meninggalkan halaman rumah.


TBC.

LANGSA (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang