- kali ini aku juga double up, semoga suka ya guys
~happy reading~
*
*
*
*
"Senja, keluar dulu yuk, makan," bujuk Mentari.
"Senja nggak laper, Ma," jawab Senja lemas dari dalam kamar.
"Gimana, Ma?" tanya Amanda, sang kakak, cemas.
Mentari menggelengkan kepalanya pelan. Amanda menghela napas berat, mengusap lembut pundak ibunya. Pasti berat, sudah seminggu semenjak Renzi meninggal dan sejak itu Senja mogok makan, bahkan tidak pernah keluar kamar.
"Manda coba ya, Ma," kata Amanda sambil tersenyum kecil. Mentari hanya mengangguk, memberikan nampan berisi makanan dan pergi meninggalkan Amanda yang terdiam di depan pintu kamar adiknya.
"Dek, kakak boleh masuk, nggak?" tanya Amanda lembut.
"Gue nggak mau makan," ketus Senja dari dalam.
"Iya, kakak tau. Kakak nggak nyuruh adek makan, kakak cuma mau masuk," balas Amanda sabar.
"Masuk aja, pintunya nggak dikunci," jawab Senja ketus.
Amanda pun masuk. Hal pertama yang dilihat adalah kegelapan. Kamar Senja sangat gelap, tidak ada cahaya yang menyinari. Amanda berjalan perlahan, meletakkan nampan berisi makanan di atas meja belajar Senja. Ia menghampiri Senja yang duduk meringkuk di atas kasur, tubuhnya terbalut selimut tebal.
"Hai, adeknya kakak. Lagi ngapain, sih?" tanya Amanda lembut.
Senja diam membisu, tidak menjawab pertanyaan kakaknya. Amanda menghela napas pelan. "Kakak buka ya, kordennya? Biar ada cahaya yang masuk," kata Amanda sambil melangkah menuju jendela. Namun, suara ketus Senja menghentikannya.
"Ngapain dibuka? Kalo yang di dalem merasa sakit?" kata Senja sinis.
Amanda terdiam. Ia mengurungkan niatnya, menghampiri Senja dan duduk di depannya. Perlahan, ia menyentuh kepala Senja, mengusap rambutnya lembut agar adiknya merasa nyaman dengan sentuhan itu.
"Adek, mau cerita sama kakak?" tanya Amanda lembut, meraih tubuh Senja untuk dipeluk. Senja hanya menurut, membiarkan kakaknya mendekapnya erat.
Senja terus terdiam, melamun menatap satu objek, lukisan motor yang pernah Renzi berikan, saat Senja tengah mengidolakan motor Ninja. Hingga suara tangisan kembali terdengar, Senja menangis terisak di pelukan Amanda.
"Kak... hikss... Renzi..." Tangis Senja pecah tiba-tiba.
Amanda hanya diam, mengusap lembut punggung adiknya. Cukup lama Senja menangis di pelukan Amanda hingga akhirnya tangisannya mereda.
"Kak, kenapa mereka nggak mau dengerin omongan Senja?" tanya Senja sedih.
"Mereka mungkin masih shock, Dek. Mereka juga pasti butuh waktu untuk membahas hal ini lagi," kata Amanda menenangkan.
"Tapi, Kak, mereka... hikss... nggak tau kebenarannya... hikss... Mereka cuma lihat pas aku nyekek Renzi..."
"Ssttt, tenang ya, Dek. Coba tenangin diri dulu, habis itu cerita sama kakak. Ceritain kebenaran yang belum adek ungkapin ke mereka," suruh Amanda lembut. Senja pun menurut, mencoba menenangkan dirinya sendiri hingga akhirnya ia merasa lebih tenang dan mulai bercerita lagi.
"Sebenarnya, waktu itu Senja manggil Renzi untuk ke rumah. Waktu itu, niatnya Senja mau mutusin hubungan sama Renzi. Senja udah ngomong baik-baik, tapi Renzi nggak mau. Renzi bilang, 'Kalo kita putus sekarang, sama aja aku lebih cepet ninggalin kamu.'"
"Kenapa Renzi bilang gitu?" tanya Amanda penasaran.
"Awalnya, aku bingung, Kak. Tapi setelah itu, dia bilang kalo ternyata dia sakit... hikss... Dia bilang sakit kanker otak stadium akhir. Aku kaget banget, Kak... hikss... Selama ini, dia nggak pernah cerita. Bahkan, keluarganya juga nggak ada yang tau. Dia juga bilang jangan kasih tau keluarganya... hikss... Aku sempet nolak, bahkan kita waktu itu debat. Dan setelah kejadian itu, Nomiana dateng, jadilah kejadian naas itu terjadi.
Harusnya aku nggak manggil dia ke rumah... hikss... Ini semua salah aku... hikss..." jelas Senja dengan air mata yang terus mengalir. Amanda hanya bisa mendekap adiknya, menenangkannya sambil mengucapkan kata-kata penenang.
"Adek kenapa minta putus sama Renzi? Kan, adek sama Renzi nggak ada masalah?" tanya Amanda lagi, membuat Senja terdiam.
Cukup lama Senja diam, hingga perkataannya membuat Amanda terkejut. "Mama Renzi nggak setuju kalo aku sama Renzi pacaran, Kak," kata Senja pelan, bahkan tidak ada air mata lagi yang mengalir, hanya ada tatapan kosong.
"Nggak mungkin, kan? Selama ini, beliau baik banget lho, Dek, sama kamu. Bahkan, beliau yang sering bawain kamu bekal biar lambung kamu nggak kambuh dan nggak jajan sembarangan," kata Amanda tidak percaya.
"Entahlah, Kak. Nyatanya, aku denger sendiri pembicaraan Renzi sama Mama-nya. Mama-nya nyuruh Renzi mutusin Senja karena Senja nggak baik buat Renzi, cuma karena Senja sering kemasukan dan bisa melihat hantu," jelas Senja.
"Kalo gitu, sekarang kamu tau kan? Senja nggak usah perduliin mereka lagi. Cukup sampai sini Senja sedih-sedih. Kamu tau, Mama sama Papa sedih liat Senja begini. Mama sama Papa kangen Senja yang suka bikin mereka naik darah, di mana Senja adiknya kakak yang bandel? Dia sudah hilang hanya karena makian orang yang tidak mau mendengar penjelasan kamu," kata Amanda membuat Senja terdiam.
"Sekarang nggak boleh sedih. Ada kakak, mama, papa yang akan selalu bantu Senja. Biarkan Renzi tenang di sana, jangan kamu sedih terus. Kasihan Renzi di atas sana lihat orang yang disayanginya sedih terus," kata Amanda yang diangguki Senja.
Flashback off
Senja menceritakan semuanya dengan tatapan kosong, mimik muka yang terlihat biasa, namun itu semua hanya kebohongan. Senja menyembunyikan wajah sedihnya.
"Senja, kalo lo mau nangis, nangis aja. Nggak papa, ada gue di sini," kata Langit, menarik Senja ke dalam dekapannya, mengusap lembut kepala Senja.
Seketika terdengar suara tangisan yang memilukan. Senja menangis sejadi-jadinya, meraung histeris mengingat bebannya yang selama ini dipikul sendirian tanpa ada orang lain yang menemani.
Sudah dua tahun Senja memendam hal ini. Bahkan, orang terdekat pun sudah jarang melihat atau mendengar Senja menangis karena sang mantan kekasih.
Langit semakin mengeratkan pelukannya, mengucapkan kata-kata penenang agar istrinya tenang. Langit bahkan ikut merasakan sakit di lubuk hatinya. Entah kenapa, rasanya sangat menyesakkan ketika Senja menangis begitu histeris.
"Tenang ya, ada aku di sini. Kamu bisa cerita semuanya ke aku," kata Langit lembut, mengusap punggung Senja dan mengecup keningnya dengan lembut.
Cukup lama mereka berpelukan, hingga tangisan Senja mereda, hanya ada isak kecil dari mulutnya. Langit terus mengucapkan kata-kata penenang.
"Sayang, ihh, jelek banget sih. Tuh, lihat mata kamu sembab gitu gara-gara nangisin cowok lain," ejek Langit, melepas pelukan keduanya dan menatap wajah Senja yang sudah sembab, bahkan hidungnya terlihat memerah.
"Hik, apa sih? Jahat banget," kesal Senja, memanyunkan bibirnya.
"Keke, bener loh, aku tuh," jawab Langit yang diacuhkan Senja. Senja kembali memeluk tubuh Langit, menyembunyikan wajahnya di dada sang suami.
"Enjaa, dengerin aku. Kamu nggak boleh nangis lagi, apalagi nangisin dia. Kamu nggak salah, memang sudah takdirnya dia untuk kembali ke Tuhan. Dia juga bilang kan sama kamu kalo umurnya memang sudah tidak lama lagi? Mungkin saja memang itu waktunya dia, kamu tidak bisa mencegahnya, babe," kata Langit panjang lebar. Senja terkejut mendengar panggilan baru dari Langit.
"Sekarang nggak boleh sedih lagi, okay? Kamu harus ikhlas. Emangnya kamu mau dia di sana nggak tenang hanya karena kamu di sini yang terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri?" tanya Langit, yang mendapat gelengan lemah dari Senja.
"Nah, makanya, jadi kamu nggak boleh sedih lagi, okay? Kan, udah ada aku," kata Langit sambil tersenyum lembut.
"Makasih ya. Gue akan berusaha buat menerima kenyataan yang nyatanya pahit ini. Tolong yakinin gue untuk mulai kembali menyukai lo setelah gue menyukai dia," kata Senja sambil tersenyum kecil.
"Ck, nggak asik ah. Tadi kan aku manggilnya kamu, tapi kamu malah manggilnya gue-lo lagi," kata Langit, melepas genggaman tangan mereka.
Senja terdiam melihat tingkah Langit yang baru pertama kali ditunjukkan padanya. "Dih, kenapa emangnya?" tanya Senja bingung.
"Ck, malesin banget. Udah dari tadi nangisin cowok itu," ketus Langit, mengalihkan pandangannya.
Senja rasanya ingin tertawa melihat mimik wajah Langit yang menggemaskan saat sedang cemburu. Perlahan, ia menarik pundak Langit agar kembali menghadapnya.
"Apa sih? Kok kamu ngambek gini? Tadi kan bilangnya mau dengerin cerita," kata Senja sambil tertawa kecil. Namun, Langit masih saja diam, tidak memperhatikan Senja.
"Udah ih, jangan ngambek. Udah kayak anak gadis aja," bujuk Senja.
"Dih, suka-suka gue lah," balas Langit ketus.
"Idihh, apa sih, Langit? Muka mu lho gemes banget sih. Udah dong, jangan gitu, nanti digigit monyet kalo lihat muka mu gitu," kata Senja yang mendapat pelototan dari Langit.
"Kenapa jadi monyet sih?!" tanya Langit kesal.
"Ya kan ini di hutan. Lihat tuh, pohonnya tinggi-tinggi banget, pasti banyak monyetnya," jawab Senja sambil menunjuk beberapa pohon yang tinggi.
"Nggak asik," gumam Langit.
"Haha, ututu, sini deh. Kok gue jadi gemes sama kamu," kata Senja dengan tawanya yang mengudara, terlihat sangat menawan di mata Langit. Bahkan, Langit ikut tersenyum kecil.
"Manis," gumam Langit pelan.
Senja menarik Langit untuk masuk ke dalam dekapannya, mengusap lembut kepala Langit. Sama halnya, Langit menyamankan diri di pelukan sang istri, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Senja membuat Senja sesekali tertawa geli karena ulah Langit yang meniup-niup lehernya.
"Kenapa sih? Kok jadi tiba-tiba gini?" tanya Senja.
"Emangnya nggak boleh ngomong aku-kamu sama istri sendiri? Masa terus-terusan gue-lo? Kalo didenger orang kan nggak enak," jawab Langit, menatap Senja.
"Ya iya juga sih. Boleh deh, tapi agak aneh tau lo... eh... kamu tiba-tiba gitu," kata Senja.
"Harus biasa. Kamu aja sama dia manggilnya aku-kamu, giliran sama aku jadi gue-lo, okay, bayi," jawab Langit, mencubit hidung Senja pelan membuat Senja merenggut. Langit pun tertawa.
👻👻👻
"Kak, nanti malem sibuk nggak?" tanya Aura lembut.
"Sepertinya iya, kenapa?" jawab Angga.
"Yahh, aku pengen nonton tau," jawab Aura sedih.
"Besok aja gimana? Nanti malem aku mau nemenin Ibu ke rumah nenek," kata Angga sambil mengusap lembut rambut Aura.
"Ya udah deh, tapi janji ya, besok," pinta Aura.
"Iyaa, sayang, janji," jawab Angga sambil tersenyum.
"Mumpung masih jam segini, main ke rumah Senja yuk, Kak? Sekalian aku mau nganterin motor Senja," ajak Aura.
"Nganterin? Kamu bisa naik motor? Bukannya kamu nggak bisa ya, Ay?" tanya Angga berturut-turut.
Seketika Aura terdiam, dia lupa jika sang pacar belum tahu bahwa dia bisa menaiki motor.
"Hehe, udah bisa lho, Ay. Aku waktu itu diajarin Senja sama Kayla, jadi bisa deh, walaupun baru dikit," jawab Aura dengan cengirannya.
Angga menatap Aura dengan intens, mencari kebohongan dari mata bulat sang pacar, namun tidak ada kebohongan di sana.
"Oh, ya udah, ayo," kata Angga.
Akhirnya, keduanya memutuskan untuk pergi menggunakan motor sendiri-sendiri. Aura memakai motor Senja, sedangkan Angga menggunakan motor miliknya. Mereka memutuskan untuk ke rumah Senja, yang nyatanya Senja dan Langit belum juga pulang dari pagi.
"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya Pak Tarno setelah membuka gerbangnya sedikit.
"Eh, sekarang udah ada satpamnya ya?" tanya Aura berbisik ke Angga, yang hanya diangguki oleh Angga.
"Itu, Pak, saya temen Langit. Apa Langitnya di rumah?" tanya Angga sopan.
"Oh, Mas Langit dan Mbak Senja belum pulang, Mas," jawab Pak Tarno.
"Belum pulang? Memangnya mereka kemana?" tanya Aura penasaran.
"Saya tidak tau, Mbak. Dari pagi, Mbak Senja dan Mas Langit pergi," jawab Pak Tarno membuat Aura menganga terkejut.
"Hah, belum pulang dari pagi? Gila, lama banget. Ini udah sore juga," kata Aura tak percaya.
"Iya, Mbak. Apa Mas dan Mbak mau nunggu di dalam? Siapa tau sebentar lagi Mas Langit pulang," tawar Pak Tarno.
"Boleh deh, Pak," timpal Angga. Keduanya pun dipersilakan masuk.
Setelah keduanya masuk, tak lama suara motor Langit terdengar. Dengan cepat, Pak Tarno membuka gerbang hitam itu.
"Lho, motor gue udah di sini aja," gumam Senja.
"Permisi, Mas. Tadi barusan ada temen Mas Langit dan Mbak Senja yang dateng, baru saja masuk," kata Tarno yang diangguki Langit.
"Iya, Pak. Terimakasih, kalo gitu saya masuk dulu," jawab Langit.
Senja dan Langit pun masuk dan benar saja, di sana sudah ada Angga dan Aura yang tengah mengobrol. Senja pun menghampiri keduanya dan duduk di depan Aura.
"Lo yang bawa motor gue?" tanya Senja.
"Heum, mumpung masih sorean, jadi gue kembaliin deh," jawab Aura sambil meneguk minuman yang baru saja datang.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Langit.
"Tuh, katanya pengen ngembaliin motor istri lo," jawab Angga.
"Padahal nanti juga nggak papa lho, tapi makasih, bestie," kata Senja semangat, tak lupa memeluk tubuh Aura tiba-tiba, bahkan mencium pipi Aura bertubi-tubi.
"Iuhh, minggir, gelii tau!!" kesal Aura, mendorong wajah Senja menjauh, namun namanya juga Senja, dia masih terus menciuminya membuat Langit dan Angga menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir.
Semoga revisi ini membuat bab 18 menjadi lebih baik dan mudah dinikmati!
~NEXT~
- eakk Langit ama Senja dah pake aku-kamu nih, haha
- tapi ada satu rahasia yang belum Langit tau nih, masih mba Senja sembunyiin kan, kira-kira gimana dah tuh nanti kalo kebongkar?
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGSA (TAHAP REVISI)
Fiksi Remaja"Kenapa dari sekian banyak nya lelaki, kenapa harus elo yang jadi suami gue, udah gitu sama-sama bisa lihat hantu pula, kan serem." - Naomi Senja Putri. Naomi Senja Putri, gadis cantik yang sialnya di kenal gadis gila karena tingkahnya yang sering...
