"Gue setuju, kok."
"Wah, parah sih," tukas cowok berkemeja putih dengan lengan baju yang digulung sampai sikut. "Ayo lah, lo jangan mempersulit keadaan. Lagian kita masih sekolah, Bi."
Rambut panjangnya ia kibaskan ke belakang bak model iklan sampo yang sedang beraksi. "Ye, dasar cowok aneh. Tadi lo yang nanya gue setuju apa enggak sama perjodohan ini, giliran gue udah jawab masih aja protes."
Kakinya sudah pegal, tapi cowok di sebelahnya terus memperpanjang masalah yang sebenarnya bisa saja selesai dalam waktu yang begitu singkat. Tak terbiasa memakai sepatu hak tinggi, tanpa peduli di mana sekarang dirinya berada, cewek itu segera melepas sepatunya dan tersenyum riang.
"Apa, lo? Mau protes lagi? Gue timpuk nih pake sepatu," katanya dengan nada garang.
"Bianca."
"Apa Gavin? Mau bilang gue cantik? Iya, gue tahu kok kalau gue cantik."
Gavin kontan mendelik mendengar jawaban Bianca. Ternyata ada yang lebih percaya diri dari pada dirinya. Hebat!
Sepatu hitam di tangannya di lempar begitu saja ke jalan. "Kalau mau terlihat cantik harus sakit kayak gini kah?" gumamnya, menatap sepatu yang baru pertama kali ia pakai.
Gavin geleng-geleng kepala. "Itu belinya pake uang Bianca," tegur Gavin.
"Nah, akhirnya gue tahu kenapa Papa menjodohkan gue sama lo." Bianca berseru seperti mendapat lotre. "Lo sepertinya bisa membimbing gue ke jalan yang benar dan lurus," tambahnya, menepuk-nepuk lengan Gavin.
"Otak lo kena kayaknya." Gavin mundur satu langkah. "Omong-omong soal perjodohan, gue gak mau. Lagian gue udah punya pacar."
Bianca mengangguk paham. "Gitu, ya? Udah berapa lama lo pacaran."
"Baru tiga bulan." Gavin menyunggingkan sebuah senyum kemenangan ketika melihat Bianca terkejut. "Gue sama dia lagi cinta-cintanya banget."
"Gitu ya? Tapi gue gak peduli. Gue bakal tetap setuju sama perjodohan ini," ungkap Bianca tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Gavin menganga. Mulai berpikir kenapa orang tuanya menjodohkan dirinya dengan Bianca yang sepertinya setengah waras. "Wah, beneran kena nih otak, lo."
Bianca mengedikan bahu, tak peduli apa yang dikatakan oleh Gavin. Ia memilih membungkukkan setengah badannya untuk mengambil sepatu yang tergeletak di jalan. Setelah berhasil ia langsung membalikan badan dan membawa tungkai kakinya menjauh dari Gavin, tanpa peduli teriakan dan ocehan cowok itu.
Helaan napas panjang lolos dari mulut Bianca. "Dia pikir gue setuju sama perjodohan ini? Enggak, bro. Gue gak setuju dan gak pernah mau dijodohkan," gumam Bianca pada angin malam yang berembus. "Tapi, gue gak bakal nolak dan tetap setuju. Setidaknya dengan cara ini gue bisa buat Papa senang."
Tidak peduli sakit dan dingin aspal yang mengenai telapak kakinya, Bianca terus melangkah sembari sesekali bersenandung kecil. Dress krem di bawah lututnya semakin membuat tulangnya terasa ditusuk. Sungguh malam yang terlalu berat untuk Bianca yang hobi rebahan.
"Lo kenapa malah kabur, sih? Sengaja banget ya mau buat gue dimarahin sama Mama?"Ocehan itu terdengar bertepatan dengan motor besar Gavin berhenti di sebelah Bianca.
"Please, malam ini gue udah cantik banget pake dress dan sepatu nyebelin ini." Bianca memutar tubuhnya untuk menatap Gavin. "Dan, gue gak bisa naik motor lo. Gak nyaman, salah kostum."
"Bilang aja manja, maunya naik mobil," cibir Gavin memandang Bianca sinis.
"Dari rumah lo sampai sana aja gue udah gak nyaman, Gavin. Gue gak bisa naik motor lo pake baju kayak gini," balas Bianca menekankan alasan kenapa ia memilih enggan pulang bersama Gavin.
"Gue belum diizinin sama Mama buat belajar mobil, umur gue belum cukup. Jadi, ya terima aja kalau gue anterin lo pulang pake motor."
Bianca menarik napas dalam-dalam lalu ia embuskan perlahan secara kasar. "Lo tahu malam ini malam apa? Betul, malam minggu." Bianca menjawab pertanyaannya sendiri dengan semangat. "Lo mendingan ke rumah pacar lo, deh. Gue bisa pulang naik taksi kok."
Seperti mendapat ide yang begitu hebat, kedua sudut bibir Gavin tertarik ke atas. "Anjir, bener juga ide lo. Gue ke rumah Esta aja kalau gitu."
"Jadi, nama pacar lo Esta?"
Gavin mengangguk cepat sembari kembali menyalakan motor. "Betul. Gue ke sana dulu, ya. Di belakang ada taksi, tuh. Lo hati-hati pulangnya."
Bianca menatap kepergian Gavin dengan senyuman yang lebar. Hidupnya yang berusaha ia jaga agar tetap damai sepertinya akan mulai berantakan mulai hari ini.
Tatapan matanya kosong, sepatunya masih belum ia kenakan meski sudah di dalam taksi. Tas kecil yang isinya hanya dompet dan ponsel sengaja Bianca simpan di sebelahnya. Mengingat apa yang tadi dikatakan papanya membuat Bianca ingin tertawa begitu keras.
"Kamu dan Gavin dijodohkan, sayang."
Begitu katanya, Bianca melongo. Gavin apalagi, mendadak persis seperti patung saking terkejutnya.
Pernah ia berpikir kalau malam ini akan menjadi malam yang indah karena papanya mengajak makan malam di luar. Ternyata Bianca salah. Makan malam itu terjadi di kediaman rumah Gavin dan berakhir membahas perjodohan yang sama sekali tak pernah Bianca pikirkan.
Masa depannya masih panjang. Bianca masih duduk di kelas sebelas, masih ingin bermain dan berkenalan dengan banyak cowok tampan di luar sana. Yang benar saja ia dijodohkan dengan Gavin. Cowok nyebelin yang baru dua kali bertemu dengannya. Bisa gila Bianca.
Jauh dalam lubuk hatinya, Bianca ingin berteriak dan menolak ide gila ini. Namun, apa yang dikatakan papanya membuat ia mengurungkan niat. Juga melihat papanya yang terlihat bahagia membuat Bianca tak kuasa untuk menolak.
"Berhenti di sini aja, Pak." Bianca memberikan beberapa lembar uang lalu mengucapkan terima kasih dan keluar dari taksi.
"Secakep ini harus dijodohin? Berasa gak laku banget gue." Bianca menjatuhkan sepatunya untuk ia pakai kembali. Bisa kena omel kalau ketahuan bertelanjang kaki sepanjang perjalanan.
Tangan kanan Bianca mendorong pintu besar di hadapannya. Lalu tanpa permisi apa lagi sopan santun, Bianca berteriak. "Ma, Bibi pulang!"
"Mama, yuhuuuu." Bianca berjalan santai sembari mencari keberadaan Sindi yang tidak lain adalah mamanya.
"Bi, jangan dibiasakan teriak kayak gitu, dong."
Bianca mengulum senyumannya. Ia segera berlari ke arah Sindi dan memeluknya. "Papa mana, Ma?"
"Ada di kamar," jawab Sindi lembut. "Gavin mana? Kenapa kamu gak ajak mampir dulu?"
Lagi ngapel ke rumah pacarnya. Tidak mungkin Bianca menjawab seperti itu. Jadi, ia memilih tersenyum saja.
"Kamu pulang sama Gavin, kan?"
"Iya, Ma. Aku pulang sama dia, kok. Tapi dia langsung pulang, lagian ini udah malam loh. Gak baik cowok main ke rumah cewek malam-malam."
Tanpa rasa curiga, Sindi mengangguk paham dan percaya begitu saja. "Gimana Gavin? Dia baik, kan?"
"Enggak," jawab Bianca cepat. "Eh, maksud aku gak usah diragukan lagi kalau Gavin itu baik banget."
Perkenalkan, Bianca Alshamira si paling sering bohong supaya orang di sekitarnya tersenyum senang dan baik-baik saja. Gadis periang yang aslinya sering meriang alias merindukan kasih sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...