Bianca tidak pernah mengira jika izin untuk keluar yang dipinta Gavin sangat mudah mendapat persetujuan. Les piano yang harus selalu ia ikuti seketika bisa ia lewati begitu saja saat dirinya mengatakan ingin membeli kue bersama Gavin.
Luar biasa!
Apa yang dikatakan dan diperbuat Gavin sampai bisa meluluhkan bongkahan es dalam diri Fadil? Bianca masih membisu untuk sekadar memikirkan hal ini.
"Lo jangan ngelamun, Bianca. Gue takut lo tiba-tiba kesurupan." Gavin sedikit mengeraskan suaranya. "Lagian kenapa, sih? Lo lagi lagi mikirin apaan?" tanyanya, jujur saja sedikit penasaran.
"Lo kenapa beneran mau ngantar gue, Vin?" Bukannya menjawab, Bianca justru memberikan Gavin sebuah pertanyaan.
Motor Gavin berhenti di depan toko kue yang dilewatinya. "Mau beli di mana kuenya? Mau beli di sini gak?"
"Lo kok malah nanya balik, sih?" Bianca mendengus kesal. "Pertanyaan gue yang tadi belum dijawab."
"Mama," jawabnya singkat. "Mama minta gue buat anterin lo. Lagian bukannya lo yang cerita sama Mama mau beli kue?"
Bianca mengangguk paham. Mulai memahami kenapa Gavin mau menurutinya. Sepertinya, Gavin sama seperti dirinya. Sama-sama hanya mengikuti keinginan orang tua semata.
"Kenapa malah bengong? Mau beli di mana kuenya? Lo mau beli kue apaan, sih?"
Secara sengaja, Bianca membenturkan helm yang dipakainya pada bagian belakang helm Gavin. "Kelinci gue ulang tahun," ujarnya, masih anteng membuat bunyi menggunakan benturan helm.
Gavin menghela napas kasar. Beberapa kali pertemuan dengan Bianca membuatnya paham jika cewek di belakangnya ini memang kurang waras dan senang membuatnya emosi.
"Lo kalau helm gue rusak ganti pake yang baru, ya."
"Gue jarang pake helm. Biasanya kalau pake helm suka nabrak gini tahu," katanya kelewat riang sembari mencontohkan maksudnya. "Temen gue kalau helm yang gue pakai nabrak helm dia gak suka marah, tuh."
"Sabar gue tipis banget. Jangan samain gue sama temen lo itu." Gavin memilih membuka helm yang dikenakannya dari pada harus terus menerus dijadikan bahan percobaan oleh Bianca. "Lo jadi beli kue apa enggak, sih? Kalau jadi, buruan turun, habis itu langsung pulang."
Bianca tertawa puas. Jenis tawa yang biasa dilakukan Bianca jika merasa bahagia. Ia ikut melepas helm lalu turun dari motor matic milik Gavin.
"Gue tunggu di sini."
"Lo berasa jadi ojek banget kalau nunggu di luar," katanya tanpa rasa bersalah. "Ikut aja. Bantu gue milih kuenya juga." Bianca menarik pelan lengan Gavin.
Adakah yang lebih menyebalkan dari pada menghabiskan waktu bersama Bianca. Cewek freak dan nyebelin level terakhir? Gavin rasanya ingin kabur, tapi ketika tatapan dan permintaan mamanya ia ingat membuat dirinya mengurungkan niat.
"Kue apa yang enak, ya?" Bianca menatap satu persatu kue yang dipajang di kotak kaca berukuran besar itu. "Lo kalau ulang tahun suka beli kue apaan?"
"Nona Bianca yang sering dirayakan, kan? Lo kalau ulang tahun suka dirayakan pakai kue apa?" Gavin kembali membalikan pertanyaan Bianca. "Lo sepertinya lebih tahu mana kue yang enak dan tidak untuk perayaan ulang tahun.
Senyuman Bianca seketika berubah dalam hitungan detik. "Ulang tahun gue bareng sama hari meninggalnya Bunda. Jadi, Papa lebih sering mengadakan acara untuk memperingati hari kepergian Bunda, alih-alih merayakan hari kelahiran gue," jelas Bianca tanpa jeda dan sangat lancar.
Gavin merasakan perubahan drastis dari nada bicara Bianca. Binar di mata cewek itu seketika meredup. Ia sepertinya menyadari apa penyebabnya.
"Ulang tahun gue gak pernah dirayakan pakai kue dan tiup lilin," ujar Bianca kembali menarik perhatian Gavin. "Gue lebih sering niup korek api dan dapat nasi uduk yang dibentuk kerucut yang diberikan Pak Marno, supir cerewet gue."
Mendadak Gavin menjadi seperti patung. Perasaan bersalah seketika berkecamuk di dadanya. "Gue gak tahu. Sorry."
"Gak perlu minta maaf. Itu bukan lagi rahasia umum, kok." Bianca terkekeh melihat Gavin yang mendadak menjadi pendiam. "Jadi, buruan pilihin kue buat gue," pintanya, kali ini kembali terdengar ceria seperti biasa.
Kepala Gavin mengangguk cepat. Sialan, bisa-bisanya perasaan dia jadi mendung hanya karena melihat tatapan sendu yang dipancarkan Bianca.
"Kue ini nantinya gak bakal lo kasih buat kelinci, kan?"
"Enggak dong. Kue yang gue beli sekarang bakalan gue makan. Kalau lo mau, kita bisa makan bareng kue itu."
"Gue suka kue rasa cokelat. Kalau lo suka cokelat, beli aja rasa cokelat. Nanti, gue ikut makan kue itu."
Mulut siapa itu yang ngomong? Gavin merutuki dirinya sendiri karena bersikap sok baik seperti ini. Seharusnya, ia tetap acuh dan tidak usah terbawa suasana.
Bianca setuju atas pilihan Gavin. Ia membeli sebuah kue yang tampak cantik dengan beberapa buah ceri di atasnya. Selesai memilih dan membayar, Bianca langsung mengajak Gavin untuk pulang.
Tanpa sepatah kata apapun, Gavin mengendarai motor begitu tenang. Ocehan Bianca tak lagi terdengar. Ia tersenyum senang atas perubahan sikap cewek itu. Namun, sepertinya ada yang salah dengan dirinya sendiri. Diamnya Bianca justru membuatnya tidak nyaman.
Sementara itu, Bianca memang sengaja memilih diam karena sedang mengamati suasana sore hari yang jarang ia rasakan. Angin yang berembus menerpa wajahnya, membuat kedua sudut bibirnya tanpa dikomando tertarik ke atas.
Kecepatan motor Gavin melaju lebih cepat dari pada biasanya. "Lo mendadak sakit gigi atau lagi sariawan?" tanya Gavin akhirnya mengalah dan memecah hening yang terjadi di antara mereka.
"Kenapa malah diam? Biasanya lo bawel banget."
"Diem. Gue lagi menikmati suasana yang jarang gue rasakan," jawab Bianca sedikit kesal.
Pertemuan Gavin dan Bianca masih bisa dihitung menggunakan jari. Pertemuan pertama mereka saat keduanya berumur delapan tahun, lalu pertemuan kedua mereka ketika ulang tahun Gavin yang ke 15 tahun. Terakhir saat perjodohan itu berlangsung.
Di antara pertemuan itu, Gavin sadar jika Bianca memang suka banyak omong. Terlalu ceria dan tidak bisa diam sampai membuatnya pusing. Sejak dulu, saat pertemuan pertama mereka. Dan sekarang ternyata masih sama. Maka ketika Bianca memilih diam dan tak banyak omong, Gavin justru merasa aneh. Otaknya berpikir jika Bianca memang lebih baik jika cerewet seperti biasanya.
"Kok berhenti? Rumah gue masih jauh, loh." Bianca menyentuh pundak Gavin menggunakan tangan kanannya. "Kenapa? Bensin lo abis?"
"Itu Mama, kan?" tanyanya.
"Tante Melan maksud, lo?" Bianca mencoba menemukan orang yang dimaksud Gavin sebagai Melani. "Mana? Gak ada, tuh. Lo salah lihat kali."
Gavin berdecak kesal. "Itu, Mama keluar dari kafe sama cowok, Bi."
Bianca memicingkan matanya. Yang keluar dari kafe depan itu banyak. Bianca mana bisa melihatnya dengan jelas. "Samperin aja kali, Vin. Ayo, kita ke sana dan pastikan itu Tante Melan atau buka," ajak Bianca semangat sekaligus penasaran.
Mendengar saran dari Bianca, Gavin kembali memacu motornya untuk memastikan kalau indera penglihatannya tidak salah.
Dari jarak yang tidak begitu jauh, Gavin menyaksikan sendiri jika Melani memasuki toko bunga bersama seorang laki-laki. Tangan mereka saling bergandengan. Terlihat begitu mesra seperti seorang pasangan.
"Vin, itu beneran Tante Melan." Bianca mengatakan itu nyaris tidak terdengar.
"Mama selingkuh?"
Bianca masih dengan jelas mendengar pertanyaan Gavin. Di antara ramainya lalu lalang kendaraan yang melewati mereka. Bianca masih begitu jelas mendengar nada pedih yang terselip di antara pertanyaan singkat barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...