"Gue mau ikut, Vin. Please."
Gavin menggeleng cepat. "Enggak. Lo gak boleh ikut ke Rumah Sakit. Gue antar lo pulang."
Bianca ingin menyela, ingin protes, dan memohon agar diizinkan ikut, tetapi melihat tatapan mata Gavin yang sudah sangat putus asa membuatnya mengurungkan niat. Cewek itu memilih pulang sendiri dan membiarkan Gavin segera menemui Melani di rumah sakit.
Setelah memastikan Bianca naik taksi dan melaju ke rumah, barulah Gavin pergi menuju rumah sakit untuk melihat keadaan mamanya.
Apa yang dilihatnya sekarang adalah hal yang cukup membuat jantung Gavin berdebar kencang. Kondisi mamanya cukup memprihatikan, beberapa luka di kaki dan membuat ia meringis ngilu. Meski begitu, Gavin bisa menghela napas lega ketika dokter mengatakan jika tidak ada luka dalam yang dialami oleh mamanya.
"Mama kenapa bisa sampe kecelakaan kayak gini?" Gavin duduk di kursi yang ada samping ranjang.
"Tadi ada kucing, Vin. Mama banting setir biar gak nabrak kucingnya," jelas Melani tersenyum samar.
"Aku keluar sebentar. Mau toilet sekalian ke kantin." Gavin mendorong kursi yang ditempatinya. Berikutnya, ia keluar ruang rawat Melani.
Tidak sepenuhnya berbohong, Gavin memang pergi ke toilet dan kantin. Satu botol air mineral ada di genggamannya. Tadi, ia terburu-buru dan tak peduli apapun selain ingin cepat sampai dan melihat keadaan Melani. Sekarang, ia merasa haus dan harus memastikan jika Bianca sampai ke rumah dengan selamat.
Belum sempat menghubungi Bianca, Gavin lebih dulu mendengar obrolan dari dalam ruang yang ditempati mamanya.
"Papa udah ada di sini?"
Sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Gavin sekarang itu tidak sopan; dia sedang menguping pembicaraan kedua orang tuanya. Dirongrong rasa penasaran sejak dulu membuat Gavin yang biasanya acuh setiap kali melihat adu mulut antara mama dan papanya, akhirnya hari ini menyerah dan memilih mendengarkan apa yang sedang terjadi.
"Mau sampai kapan kamu bermain-main terus dengan laki-laki di luaran sana, Melan?"
"Dan sampai kapan kamu bakalan terus sibuk sama pekerjaan? Kamu mungkin sampai lupa kalau aku dan Gavin butuh sosok kamu." Melani membalas pertanyaan suaminya dengan pertanyaan lain.
"Sudah aku bilang berkali-kali bukan, aku sibuk sama pekerjaan karena mau memberikan yang terbaik buat kamu sama Gavin."
Alasan klasik. Melani tersenyum miring mendapat jawaban itu. Selalu kalimat yang sama diberikan suaminya ketika ia meminta agar sedikit saja meluangkan waktu untuknya atau Gavin.
Melani menyentuh tangan Arya. "Kamu mau yang terbaik untuk aku dan Gavin, atau untuk keluarga kamu dengan perempuan itu?"
Di tempatnya, Gavin merasa kepalanya pusing seketika. Telinganya berdenging kala mendengar dengan jelas pertanyaan mamanya yang sangat di luar perkiraan.
Bagaimana bisa? Begini maksudnya, iya benar papanya memang selalu sibuk dengan segala macam pekerjaan di luar sana. Tetapi, maksud dari keluarga dengan perempuan lain itu rasanya tidak mungkin, bukan?
"Mama pasti bohong. Yang suka pergi sama cowok di luar sana kan Mama." Gavin berbisik, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Aku tahu kamu udah menikah lagi, Mas. Aku juga tahu keluarga baru kamu itu terlihat bahagia sekali."
Arya seolah dibuat mati kutu dengan pernyataan Melani. "Maksud kamu apaan, Melani? Aku gak mungkin mengkhianati pernikahan kita seperti yang kamu lakukan."
"Aku cuma main-main sama mereka. Selama ini yang aku lakukan supaya kamu sadar dan kembali sama aku." Melani dengan tegas membalas perkataan Arya. "Aku kira yang aku lakukan selama ini bisa buat kamu kembali dan perhatian sama aku. Ternyata tidak. Kamu tetap melanjutkan hubungan kamu sama dia, bahkan sampai menikah."
Sebentar. Gavin benar-benar merasa dunianya berputar mendengar pertengkaran dua orang yang di dalam ruangan itu.
Papanya yang sibuk kerja dan mamanya yang sibuk bermain-main dengan siapa saja ternyata ini alasan di balik semua itu? Siapa yang salah dalam posisi sekarang? Mama atau papanya? Bahkan Gavin sendiri tidak tahu dan pusing karena salah menilai semuanya.
"Gue yakin Om Arya sama Tante Melan masih saling menyayangi, Vin." Begitu kata Bianca ketika Gavin bercerita tentang selingkuhan baru Melani.
Tebakan Bianca ternyata salah. Alih-alih saling menyayangi, ternyata hubungan kedua orang tuanya sudah rapuh. Tampak seperti sulit diperbaiki apalagi orang ketiga yang entah tidak sengaja hadir atau mungkin sengaja dihadirkan sudah masuk di antara mereka berdua.
Tapi, kalau diingat-ingat memang dari dulu Gavin tidak pernah merasakan kalau mereka baik-baik saja. Gavin juga tidak pernah merasakan kehangatan sebuah rumah yang katanya tempat paling nyaman setelah perjalanan yang jauh dan panjang.
"Bukankah kamu dan Vivian hidup bahagia sekarang?"
Vivian. Apakah perempuan itu bernama Vivian?
Tanpa berpikir panjang lagi Gavin memilih pergi dari sana. Ia tidak ingin mendengarkan lebih jauh obrolan orang tuanya yang ternyata tanpa sadar menimbulkan luka di hati.
Bianca.
Yang dipikiran Gavin sekarang hanya ada nama gadis galak itu. Mungkin ia harus bertemu dengan Bianca untuk sedikit mengurangi sedikit perasaan sakit yang saat kini mulai terasa.
"Lo kenapa? Tante Melan kenapa?" Bianca langsung menghujani Gavin dengan pertanyaan. "Vin, are you okay?" tanyanya lagi ketika Gavin tak kunjung menjawab.
"Bantuin gue," kata Gavin pelan. "Bantu gue menemukan istri baru Papa."
"Hah? Istri baru gimana maksud lo?"
Gavin mengusap wajahnya secara kasar. "Papa menikah lagi, Bi," ungkapnya semakin membuat Bianca melongo.
Tidak mungkin. Bianca tahu jika Arya selingkuh sejak lama. Ia tahu fakta itu dari Melani, tapi bukan artinya Arya menikah lagi. Bianca tidak diberitahu sampai sana. Dia hanya tahu jika laki-laki itu selingkuh sehingga pertengkaran sering terjadi di keluarga Gavin. Bahkan, ia juga tidak diberitahu siapa perempuan yang menjadi selingkuhan Arya. Apa perempuan yang tadi?
"Namanya Vivian. Istri baru Papa namanya Vivian."
"Perempuan yang tadi sama Om Arya?"
"Gue gak tahu," jawabnya putus asa. "Bantu gue menemukan tentang Vivian di ruang kerja Papa. Gue yakin di sana ada petunjuk tentang perempuan itu."
Kepala Bianca langsung mengangguk. Tangannya menarik pintu sampai tertutup sempurna. "Ayo, kita ke rumah lo," ajaknya, menarik lengan Gavin semangat.
Sebuah ruang berukuran cukup luas adalah tempat kedua remaja itu berdiri sekarang. Gavin sudah membagi tugas dengan Bianca agar mengecek setiap sudut ruangan untuk menemukan orang yang dimaksud oleh mamanya.
Hari ini ia harus menemukan sedikit saja informasi perempuan itu.
Gavin menggeledah meja yang biasa Papanya jadikan sebagai kamar kedua. Tempat dimana papanya lebih sering menghabiskan waktu saat ada di rumah. Membuka satu persatu laci dan tumpukan dokumen yang ada di meja.
Di sebelah kanan, Bianca sedang berusaha menemukan sesuatu dari tumpukan buku yang berada di rak berukuran sedang dan meja sudut di pinggir kursi.
"Gue nemu ini." Bianca menemukan sesuatu dari di antara buku yang tersusun rapi.
Gavin yang sedang mengecek laptop seketika berhenti dan tanpa berpikir panjang langsung menghampiri Bianca. Merebut foto dari tangan cewek itu dengan kasar untuk segera melihat foto siapa yang ditemukan.
"Ini perempuan yang tadi, Bi." Gavin menatap nanar selembar foto di tangannya. "Jadi, perempuan tadi beneran istri baru Papa?"
Bianca masih belum bisa menerima semua kenyataan ini. Semuanya terasa tiba-tiba dan membuat pikirannya kacau. Hari yang ia pikir akan indah ternyata berakhir merana seperti ini.
"Vin, jangan nangis," pinta Bianca lirih.
"Yang boleh nangisnya lo kan?" Gavin membalikan badan, menghadap Bianca sepenuhnya. "Ck, ternyata lo cengeng juga," bisik Gavin mengusap lembut sudut mata Bianca yang mulai basah.
"Gue gak apa-apa. Jangan nangis."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...