About Us | 17

1 0 0
                                    

"Jangan terlalu dekat sama Esta."

"Hah? Kenapa?" Bianca langsung mengalihkan perhatiannya pada Rania yang sedang duduk di sebelahnya. "Lo juga disuruh sama Gavin biar gue jauh dari Esta, ya?" tebaknya, terlalu berpikir jauh.

Rania melanjutkan menikmati siomay pesanannya. Cewek berambut ikal itu tersenyum tipis. "Gue tahu lo dijodohin sama Gavin, tapi gue ogah kalau harus nurutin apa kata cowok nyebelin itu."

"Terus alasan lo nyuruh gue jangan terlalu dekat sama Esta kenapa?"

"Lo bakal tahu sendiri nanti jawabannya," jawab Rania tanpa merasa bersalah karena sudah membuat Bianca penasaran. "Saran gue, lo mending perbaiki hubungan sama Gavin. Lo jangan biarin Gavin terus-terusan suka sama Esta."

Setelah beberapa hari yang lalu ia dibuat penasaran atas ucapan Rania, hari ini sepertinya Bianca menemukan jawaban itu. Namun, apa yang ada dalam pikirannya sekarang benar?

Bianca diajak jalan-jalan ke mall. Sesuatu yang jarang terjadi selama ini. Hal ini terjadi karena Bianca menjadi anak baik dan menurut saat disuruh dekat dengan Gavin. Papanya berbaik hati mengajaknya pergi keluar setelah sekian lama tak pernah pergi bersama. Tentu saja bersama mamanya juga, karena ini semua sebenarnya adalah ide mamanya yang super luar biasa.

Di antara banyaknya hal yang seharusnya menarik perhatian Bianca di mall, Bianca justru tertarik pada seseorang tidak jauh dari tempatnya sekarang sedang memilih baju.

"Bi, mau yang ini gak?" Sindi membawa dress polos berwarna putih ke hadapan Bianca. "Ini cantik banget kayaknya kalau dipakai kamu."

"Jangan yang putih," sela Fadil cepat. "Bianca tuh jorok, masih kayak anak kecil. Nanti baju itu cepat kotor."

Bianca hanya mengangguk-angguk. Tidak peduli mau warna apa baju yang akan dibelinya nanti, ia lebih peduli pada Esta yang sedang berjalan bersama seorang laki-laki.

Ini mata gue gak salah lihat kan?

Jika Bianca menebak Esta bersama pacarnya, rasanya itu tidak mungkin. Sebab, Esta bersama seorang laki-laki berjas rapi seperti yang sering dipakai papanya ketika berangkat kerja.

Papanya Esta kali, ya? Mereka kelihatan mesra banget kalau untuk ukuran ayah dan anak.

"Bianca." Fadil menyentuh lembut pundak putrinya. "Kenapa malah bengong? Kamu gak suka sama bajunya? Mau cari di toko lain?"

Bianca setengah gelagapan langsung menggelengkan kepala. "Enggak kok, Pa. Aku suka bajunya. Aku ambil yang ini aja," ujarnya, meraih dress itu dari tangan Sindi.

Keduanya terlihat tertawa bersama. Saling merangkul dan melempar senyuman bahagia. Otak Bianca terlalu kecil untuk memikirkan siapa laki-laki yang sekarang sedang bersama Esta. Di matanya, gerak-gerik itu terlalu intens untuk sekadar saudara. Ya, kemungkinan Esta sedang bersama pamannya, tapi apa mungkin keponakan dan pamannya bergandengan mesra seperti itu?

"Kamu mau lihat ke sana? Ada yang kamu suka di sana?" tanya Fadil menyadari jika pandangan Bianca terus tertuju ke arah lain. "Ma, ajak Bianca ke sana ya. Aku ada telepon sebentar, nanti aku nyusul."

Sindi tersenyum seraya mengangguk. "Yuk, mau ke sana kan?"

"Enggak. Aku mau cari bajunya di sini aja," kata Bianca halus. "Mama mau cari baju gak? Ini bagus nih, Ma." Bianca mencoba mengalihkan perhatian Sindi.

Esta sudah sudah menghilang dari pandangan Bianca, meninggalkan beribu pertanyaan di kepalanya. Mulai tidak percaya jika Gavin tahu betul semua tentang Esta, itu yang selalu dikatakan Gavin jika dirinya membahas tentang Esta.

"Vin, yakin Esta sama Rania temenan?"

"Yang kenal Esta lebih lama tuh gue. Jadi, gue tahu siapa aja teman dekatnya. Gue tahu semua tentang Esta."

Dan sepertinya Gavin salah. Bianca mulai yakin jika Gavin hanya tahu sisi luar Esta saja. Ada sesuatu yang Esta sembunyikan dari dunia luar. Sisi lain yang disimpan rapat agar tak diketahui siapapun. Termasuk Gavin yang mencintainya sejak lama.

⌛⌛⌛⌛

"Gavin."

Yang dipanggil ingin melempar buku di tangannya saking gemasnya pada cewek yang kini duduk di sampingnya. Bianca sudah menyebut namanya lebih dari tujuh kali dalam waktu yang terlampau singkat.

"Gavin," katanya sekali lagi. "Gavin."

Genap sepuluh kali. Sebentar lagi kalau Bianca kembali memanggil namanya, Gavin akan meminta hadiah piring cantik.

Gavin membalikan badan sepenuhnya pada Bianca. "Apa sih? Kenapa lo nyebut nama gue terus? Suka lo sama gue?"

Mata Bianca kontan mendelik mendengar pertanyaan barusan. Kalau saja pikirannya sedang tidak gamang, ia akan langsung menyikut perut Gavin sekarang juga. Namun, ia sedang memikirkan sesuatu yang sejak beberapa hari mengganggu pikirannya.

"Vin, lo yakin Esta gak nerima lo karena mau fokus belajar?"

Buku di tangannya Gavin tutup dengan gerakan cepat. Matanya menatap Bianca penuh selidik. Mulai menaruh rasa curiga pada cewek itu yang beberapa hari ini bersikap aneh. "Lo kenapa penasaran soal Esta, sih? Lo mau saingan sama dia buat dapatin gue?"

"Idih," cibir Bianca tak terima.

"Ya lagian lo kepo banget sama Esta," tukas Gavin. "Esta mau fokus sama pendidikannya. Lo gak usah merasa tersaingi sama dia, soalnya gue udah terima kenyataan kalau gue sama dia gak bakal bersama."

"Itu artinya lo udah suka sama gue?"

"Nah, ini contoh orang yang pola pikirnya aneh." Gavin menyentil pelan dahi Bianca. "Gue yang udah gak ada hubungan sama Esta bukan berarti suka sama lo. Kita temenan aja, lo jangan berharap lebih."

Kali ini giliran Bianca yang menendang pelan kaki Gavin. "Teman mata lo kotak," ketusnya. "Teman apaan yang kalau di sekolah kayak orang asing, tapi di luar sekolah kayak Romeo dan Juliet."

Gavin tak kuasa menahan tawa. Ia baru sadar jika Bianca ini sangat lucu. Tanpa perlu memaksakan, di beberapa hal cewek itu selalu berhasil membuat Gavin tertawa hanya karena hal sederhana.

Perihal tentang teman, Gavin juga baru ingat jika dirinya dan Bianca memang terlihat asing ketika di sekolah. Hanya beberapa teman dekatnya saja yang tahu hubungan antara dirinya dan Bianca. Meski begitu, tanpa pernah Bianca sadari, Gavin selalu memperhatikan setiap hal tentang Bianca untuk memastikan jika cewek yang benci pada hujan itu baik-baik saja.

"Vin, balik lagi soal Esta. Gimana kalau seandainya Esta udah punya pacar?"

Gavin berdecak kesal. Lagi, lagi, dan lagi Esta yang menjadi bahasan Bianca. "Pacaran sama siapa? Sama buku? Gak mungkin, lo jangan ngaco."

"Ini gue jatuhnya lagi ngomong orang gak sih, Vin?" tanya Bianca baru sadar akan satu hal.

"Dari tadi, dari kemarin-kemarin juga lo ngomongin orang," sahut Gavin dengan perasaan kesal.

"Tapi gue lihat dia jalan sama cowok, Vin." Bianca akhirnya mengatakan hal tersebut dalam satu tarikan napas.

Tawa Gavin kembali terdengar. Bukan karena lelucon Bianca, melainkan karena pernyataan yang diungkapkan Bianca. "Jangan ngarang. Esta gak lagi dekat sama cowok manapun. Gue percaya sama dia, dan dia gak pernah bohong."

"Ah, oke. Gue minta maaf udah berpikiran yang buruk tentang Esta." Sepertinya sudah cukup. Ia tidak ingin membahas masalah ini lebih jauh.

"Lo kenapa sih?"

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang