About Us | 13

5 0 0
                                    

"Oh, itu rumah Pak Arya sama Bu Vivian. Mereka udah menikah lama, Dek."

Menikah, menikah, menikah, menikah sudah lama.

Satu kata itu berputar-putar di kepala Gavin. Satu kata sederhana yang membuatnya seperti disambar petir di siang bolong.

Sejak kapan? Apa sejak pertengkaran itu mulai terjadi? Apa sejak sarapan yang semula hangat tiba-tiba menjadi dingin dan asing? Atau sejak ia bertanya, tetapi yang didapat sebuah bentakan keras?

Gavin menjadi seperti orang linglung. Rumah mewah berpagar putih tinggi itu terlihat seperti istana. Rumah Gavin jauh lebih mewah, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang indah di balik rumah itu. Sepasang suami istri dan sosok bocah kecil perempuan yang begitu menggemaskan. Keluarga harmonis dan bahagia.

"Gue mau adik, Bi. Tapi bukan dari perempuan lain. Bukan artinya Papa menikah lagi dan punya anak bersama orang lain." Gavin sedikit memutar kepalanya untuk melihat Bianca yang sama saja terkejutnya.

Dulu, Gavin selalu merengek pada orang tuanya agar mempunyai seorang adik. Sepertinya sangat menyenangkan punya teman bermain di rumah, punya seseorang yang nantinya bisa diajak berbagi kisah tentang dunia luar dan membahas apa saja. Entah itu laki-laki atau perempuan, Gavin tidak masalah.

Sekarang permintaan itu dikabulkan. Namun, bukan dengan cara yang seperti ini. Ini terlalu menyakitkan. Membuatnya mulai bertanya-tanya siapa yang salah di antara mama dan papanya? Siapa yang lebih dulu selingkuh sampai membuat semua keadaan menjadi berantakan.

"Papa gak pernah terlihat bahagia seperti itu ketika di rumah." Tawa hambar Gavin terdengar setelahnya.

Beberapa hari setelah memastikan Melani sembuh, Gavin mulai menjalankan misi rahasia bersama Bianca. Sebuah misi untuk menemukan kediaman rumah Vivian dan melihat bagaimana interaksi Arya dengan keluarga barunya.

Maka hari ini, di sinilah pemberhentian terkahir mereka. Di pinggir jalan sembari menatap rumah yang ada di seberang sana.

"Vin?"

"Iya, Bianca," balas Gavin pelan. "Gue gak apa-apa. Gue sekarang punya adik, punya Mama dua, punya keluarga jauh lebih banyak." Gavin mulai meracau lalu terkekeh pelan.

"Mau pulang? Atau mau ke sana?"

Gavin menimbang sejenak dua pilihan yang ditanyakan Bianca. Di antara dua itu, sepertinya kembali ke rumah menjadi opsi terbaik. Lagi pula ia tidak mungkin datang ke rumah itu dan mengganggu keluarga bahagia papanya.

"Pulang aja deh."

Tangan Bianca menepuk pelan bahu Gavin. "Okay. Let’s go!"

Pada akhirnya, Gavin akan memilih diam dan menyimpan semua ini sendirian. Ia akan kembali bersikap biasa saja, seolah tidak tahu apa yang terjadi di antara orang tuanya. Gavin akan memilih diam dan tidak ikut campur. Seperti permintaan papanya sewaktu itu.

"Gue gak mau pulang. Gue mau ke rumah lo. Mau ketemu sama Tante Melan."

"Siap."

⌛⌛⌛⌛

Bagian terbaik dari hari ini adalah mendapat kejutan berikutnya setelah sampai ke rumah. Mobil putih yang entah milik siapa terparkir di halaman rumah Gavin. Baik Gavin atau Bianca sama-sama bertanya-tanya siapa pemilik mobil itu.

"Tamu Tante Melan kali."

"Siapa? Mama gak pernah bawa temannya ke rumah kok."

"Ya udah kita lihat aja ke dalam," ajak Bianca berjalan di sebelah Gavin. "Lagian kita mau masuk kan? Masa berdiri di sini terus."

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang