About Us | 3

2 0 0
                                    

Kata orang lain, hidup Bianca itu sempurna. Berasal dari keluarga kaya raya dan orang tua yang selalu memanjakannya dengan harta yang melimpah. Semua yang Bianca mau bisa didapat dengan mudah. Barang-barang dan fasilitas mewah selalu ada di sekelilingnya.

Apa yang dikatakan orang lain mungkin saja benar. Kemewahan dan uang itu bisa ia dapatkan. Sayangnya, orang lain tidak tahu jika Bianca tak pernah pernah menganggap hidupnya sempurna. Di antara banyaknya kebahagiaan dan harta, Bianca masih merasa ada yang kurang dan terkadang merasakan pilu.

Di bawah pohon yang cukup rindang, Bianca menabur bunga pada gundukan tanah yang ada di hadapannya.

Reva Apriliani.

Nama itu selalu Bianca baca ketika berkunjung ke sini. Tempat paling nyaman untuk dirinya menumpahkan segala isi kepala yang sering membuatnya pusing tujuh keliling.

Bundanya sudah tiada. Pergi lebih dulu tanpa pernah ia rasakan hangat pelukannya. Bianca hanya tahu sosok malaikat tanpa sayap itu lewat selembar foto yang selalu ia bawa ke mana-mana.

"Papa itu tukang maksa kah? Kenapa aku harus dijodohkan sama cowok itu sih, Bun?" Bianca memulai ceritanya. "Tapi, aku gak bisa nolak. Karena ini salah satu keinginan Bunda juga, kan? Aku tahu Bunda bersahabat baik sama Tante Melan, jadi aku bakal terima ide buruk ini," bebernya pelan dan lirih.

Bianca berjanji akan melakukan apa pun asal papanya bahagia. Meski enggan setengah mampus, Bianca akan rela mendekati Gavin terlebih dahulu atas permintaan papanya juga keinginan ibu kandungnya.

"Kamu bisa gak jangan banyak omong dan minta yang aneh-aneh? Papa pusing, Bianca."

"Gara-gara kamu, istri saya meninggal. Seharusnya, kamu saja yang menghadap Tuhan."

Dalam hidupnya, Bianca akan terus merasa bersalah pada papanya karena sudah membuat wanita yang dicintainya meninggal dunia.

"Non, hayuk kita pulang. Udah sore banget, nih." Di belakang, Pak Marno masih setia menunggu Bianca bercerita.

Bianca memutar kepalanya ke belakang. "Lima menit lagi. Janji," timpalnya, masih ingin berada di sana meski kakinya sudah merasa pegal karena berjongkok lebih dari 20 menit.

"Baik, Non."

Waktu itu selalu terasa singkat jika ia habiskan bercerita di dekat makan bundanya. Bianca selalu merasa kurang dan ingin lebih lama berceloteh meski tak pernah mendapat jawaban. Sedikit enggan, Bianca akhirnya bangkit dan pergi dari sana.

"Jangan bilang kalau aku habis dari makam ya, Pak. Bilang aja aku abis ngerjain tugas." Bianca selalu meminta hal yang sama setiap kali telah berkunjung ke makam Reva.

"Siap, Non."

"Jangan ngadu kalau aku bolos les dan malah ke sekolah Gavin."

"Aman, Non."

Sepertinya, Bianca bahkan lebih dekat dengan Pak Marno dari pada papanya sendiri. Bahkan, laki-laki berusia 40 tahun itu tak jarang menemani dirinya menangis ketika selama perjalanan.

Bianca sudah berjanji akan membuat papanya bahagia. Ia akan menuruti semua keinginan papanya sebisa mungkin. Bianca akan mendapatkan Gavin dengan cara apa pun.

⌛⌛⌛⌛

Entah apa lagi yang kali ini jatuh di dapur. Gavin mungkin akan menebak kalau kali ini piring atau gelas yang membentur ke lantai. Suara nyaring dan jeritan itu sudah biasa ia dengarkan. Serupa nyanyian pengantar tidur, Gavin selalu mendengar adu mulut di lantai bawah setiap malam.

Caci maki, tuduhan dan kalimat menyakitkan lainnya sering dilempar satu sama lain. Mungkinkah mereka masih saling mencintai? Ada kah rasa cinta di antara teriakan itu? Lalu, bagaimana bisa dua orang yang seperti sudah tak saling cinta itu masih bisa bersama dalam satu atap?

Suara benda yang dibanting kembali terdengar. Gavin memejamkan mata, menunggu kapan acara ribut malam ini akan selesai. Lima menit. Sekitar lima menit Gavin menunggu akhirnya ia tak lagi mendengar teriakan di bawah. Selanjutnya, Gavin bisa menebak apa yang akan terjadi setelah ini.

Tepat. Dalam hitungan ketiga, pintu kamarnya diketuk. Tanpa perlu dibukakan, pintu kamar Gavin terbuka. Menampilkan sosok Melani yang sedang berdiri di ambang pintu.

"Kamu kok belum tidur?" Melani berjalan mendekati Gavin yang sedang duduk di tepi ranjang. "Ada tugas gak buat besok?"

Gavin tersenyum kecil. "Udah selesai semua," jawabnya tanpa berniat menatap mamanya. "Mama mau ngapain? Benda apa lagi yang tadi dipecahin Papa?"

"Hubungan kamu sama Bianca gimana? Lancar?" Alih-alih menjawab pertanyaan Gavin, Melani justru balik bertanya. "Mama mau hubungan kamu sama Bianca baik-baik terus, Vin."

"Aku gak bisa sama Bianca, Ma. Aku gak cinta sama dia. Aku cinta sama orang lain."

Melani merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. "Kamu harus sama Bianca, Vin. Dulu, kita berjanji akan menjodohkan kalian pas besar nanti. Dan, itu adalah janji. Mama mau menepatinya."

Gavin tertawa sumbang. Tidak habis pikir dengan jalan pikir para orang tua itu. "Aku gak bisa. Aku gak akan pernah bisa suka sama Bianca."

"Bianca begitu baik, Vin. Coba kamu dekat dan kenal dia lebih jauh. Lagi pula, kamu harus bantu Papa agar perusahaannya tetap stabil." Melani kembali berbicara dengan nada yang pelan. "Perusahaan Papa cukup bergantung banyak sama perusahaan keluarga Bianca. Bantu Papa dengan cara, kamu dekat dengan Bianca," ungkap Melani, tatapannya lurus ke depan.

Luar biasa! Perjodohan ini bukan hanya sekadar untuk menepati janji. Gavin digunakan agar semua bisnis papanya tetap lancar dan aman. Gavin tidak menyangka jika harus dia yang dikorbankan.

Hidupnya sudah berisik dan tak pernah merasa damai. Lalu, sekarang ia harus mulai berhadapan dengan Bianca yang super berisik. Akan tampak semakin berantakan sekali sepertinya hidup Gavin.

"Mama mohon ya, Vin." Melani kali ini menatap Gavin.

Gavin mengangguk singkat sembari menghela napas kasar. "Ya terserah Mama sama Papa aja. Sekarang Mama mending balik ke kamar, Mama kelihatan capek banget."

Kepala Melani mengangguk lemah. Tanpa kata, dia kembali meninggalkan Gavin seorang diri.

"Kamu masih kecil. Kamu gak akan paham sama urusan orang tua."

Awalnya, Gavin pernah begitu penasaran. Terganggu dan jengah dengan semua yang terjadi. Suatu hari pertanyaannya dibalas oleh papanya dengan nada tinggi. Hari itu, Gavin berhenti mencari tahu. Ia memilih diam dan menganggap semuanya hanya angin lalu. Gavin bersikap acuh. Menutup mata dan telinga atas permasalahan orang tuanya. Kiranya sudah tiga tahun ini, Gavin sering mendengar orang tuanya bertengkar.

"Kenapa harus Bianca, sih? Kenapa juga gue harus dijodohin sama dia?" Gavin menjambak rambutnya frustrasi.

Berbicara tentang Bianca, Gavin baru ingat jika dia ingin menemui cewek itu dan memberikan pelajaran karena sudah membuat Esta semakin jauh dari jangkauannya.

Gavin menyambar kunci motor dan jaket yang tergeletak di atas kasur. Tak peduli jam di dindingnya menunjukan pukul sepuluh, Gavin akan tetap bertemu cewek nyebelin itu.

Motor Gavin melaju cepat di antara kendaraan yang malam ini pergi dengan tujuan masing-masing. Di balik helm yang menutupi wajahnya, Gavin tersenyum samar. Mulai mempertanyakan kenapa hidupnya yang pernah merasa bahagia dan sangat sempurna mendadak jungkir balik.

Bisa kah ia kembali hidup normal dan merasa bahagia seperti dulu?

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang