"Enggak pahit?" Gavin mengernyitkan kening melihat Bianca sedang menikmati kopi yang mendarat di meja beberapa menit yang lalu.
"Lah pake gula kok. Kenapa harus pahit?"
Gavin selalu penasaran dengan berbagai macam jenis kopi. Ia tidak pernah mencicipi minuman bernama kopi itu. Entah kopi dalam jenis apapun, Gavin tidak suka. Kata papanya, kopi itu pahit, tidak enak, dan nantinya susah membuat tidur. Apa yang dikatakan papanya membuat Gavin tak pernah menyentuh kopi.
Selesai menyesap kopi hitam kesukaannya, Bianca tersenyum senang. "Lo gak suka kopi?" tanyanya.
Kepala Gavin menggeleng beberapa kali. "Teh," katanya cepat. "Gue lebih suka teh." Ia mengangkat gelas berisi teh pesanannya.
Bianca menangguk paham. "Gue suka banget minum kopi. Lumayan, suka jadi teman begadang gue kalau lagi belajar."
"Jangan dibiasakan kayak gitu, Bi. Gak baik," pesan Gavin terdengar sangat perhatian. "Lo udah belajar banyak, gak perlu memaksakan diri."
"Gue suka takut kalau lo sok perhatian kayak gini." Bianca mengusap sudut bibirnya menggunakan tissue. Selanjutnya, ia menatap Gavin yang sedang tersenyum. Sialan, sejak kapan senyum Gavin menjadi manis seperti ini?
Hari ini merupakan hari libur kesekian kalinya yang Gavin habiskan bersama Bianca. Beberapa cerita tentang Bianca sudah ia dengarkan. Selalu terdengar menarik dan membuatnya penasaran. Tidak jarang sisi emosinya selalu disentil karena ulah Bianca yang di luar akal sehat Gavin.
Dari yang terpaksa, mulai terbiasa, sampai akhirnya benar-benar terbiasa. Sekarang, Gavin sudah terbiasa dengan kehadiran Bianca dalam waktu yang lumayan singkat. Pertemuan yang terjadi hampir setiap hari menyeretnya pada Bianca dengan sejuta cerita dan kisah yang tak bertepi. Dan entah sejak kapan Gavin mulai terbiasa dengan segala macam ocehan dan tingkah aneh Bianca
"Teh itu enak gak, Vin?" Bianca menopang dagu, memperhatikan Gavin begitu saksama. "Gue selalu minum kopi, kayaknya gue gak pernah minum teh deh."
Gavin mengangkat kedua ibu jarinya. "Enak banget. Lo mau coba?"
"Enggak, makasih. Kopi ini lebih menarik perhatian gue," jawabnya, kembali meneguk kopi kesukaannya.
Tahu apa yang hebat setelah Bianca dekat dengan Gavin? Semuanya terasa berubah. Dunia Bianca berbalik ketika Gavin ada di sampingnya. Alasan untuk membuat Gavin jatuh cinta berubah haluan, menjadi ingin mencari kebebasan dan mengistirahatkan otak juga pikiran.
Sebisa mungkin Bianca mencari alasan agar bisa keluar bersama Gavin. Hari liburnya yang selalu dihabiskan di rumah dan tempat les menjadi berubah. Sekarang, ia bebas bermain di luar asal bersama Gavin. Ia bebas ke mana saja asal Gavin datang dan meminta izin. Ah, luar biasa sekali rasanya menghabiskan liburan seperti orang lain.
"Lo udah suka sama gue, ya?" Pertanyaan yang dilontarkan Gavin berhasil membuat Bianca tersedak. "Jangan kaget kayak gitu dong," tambahnya seraya terkekeh pelan.
"Lo jangan ngarang." Bianca menjawab pertanyaan itu setelah selesai terbatuk-batuk. "Ah, gara-gara lo, gue sampe keselek," keluhnya, merasakan hidungnya yang terasa panas.
"Lebay." Gavin mengulurkan tangannya untuk menyentil pelan punggung tangan Bianca.
Bianca meringis. Gavin ini memang menyebalkan, masih belum berubah dan sepertinya akan selamanya begitu. Sialnya, meskipun menyebalkan Bianca merasa nyaman berteman dengan Gavin.
"Vin, gue mau ke mall."
"Mau ngapain?"
"Cari yang aneh."
"Oke. Buruan abisin kopinya, abis itu gue antar lo ke sana."
Apa yang dikatakan Melani sungguh nyata. Di balik sikap menyebalkan dan suka asal bicara, cowok itu baik dan selalu mengantarkan Bianca ke mana pun tujuannya, ya meskipun kadang sambil ogah-ogahan dulu.
⌛⌛⌛⌛
Bianca seperti menemukan harta karun yang sudah lama terkubur. Matanya berbinar menatap suasana pusat perbelanjaan yang ada di kotanya. Sebuah pemandangan yang jarang ia jumpai selama ini. Rumah, sekolah, dan tempat les, terus saja berulang tempat yang biasa Bianca kunjungi. Benar-benar, Bianca jarang sekali menginjakan kaki ke tempat seperti ini.
"Lo gak pernah mall? Kok jadi norak gini, sih?" Gavin menatap Bianca penuh selidik. "Lo pasti sering ke mall, kan?"
"Enggak," jawabnya cepat. "Jarang... gue jarang ke mall." Tanpa merasa bersalah Bianca melebarkan senyumannya.
Gavin mendelik tak percaya. "Lo jangan bohong sama gue. Seorang Bianca jarang ke mall itu gak mungkin."
Tidak langsung menjawab, Bianca justru menarik lengan Gavin dan mulai berjalan menyusuri toko yang ada di sana.
"Semua yang gue butuhkan sudah disiapkan sama Papa. Jadi, ya gue jarang pergi ke mall. Palingan kalau gue mau sesuatu dan gak dibeliin sama Papa atau Mama, gue bakal beli di online shop."
Bianca ini sebenarnya cewek jenis apa? Semakin mengenal Bianca, semakin banyak hal yang membuat Gavin menggeleng tak percaya. Cewek super modis dan banyak tingkah ini ternyata seperti hidup di dalam sangkar emas.
Bianca mencoba menyamakan langkah kakinya dengan Gavin. Ia tersenyum. Sudah lama ia tidak merasakan bahagia seperti ini. "Terima kasih banyak-banyak untuk Gavin yang mau liburannya diganggu sama gue," katanya, sedikit mendongak untuk menatap Gavin.
"Enak di lo, gak enak di gue."
"Iya itu makanya terima kasih."
Bianca mana mau mengalah. Jadi, Gavin memilih mengangguk saja biar cepat. Ia diam memperhatikan Bianca yang tampak riang menatap berbagai macam barang yang ada di setiap toko yang di lewati.
Ada hal lain yang jauh lebih menarik dari senyuman manis Bianca sekarang. Sosok yang sedang berdiri beberapa meter di depannya. Seorang laki-laki berpenampilan rapi dan perempuan bergincu merah.
Sejak kapan Mama suka pakai lipstik warna merah? Lagian memangnya perempuan itu Mama? Pikirannya berkecamuk. Mulai sibuk dengan pertanyaan siapa perempuan yang sedang bersama papanya sekarang. Terlihat begitu mesra dan manis. Sikap hangat yang sudah tak lagi ia lihat terjadi di antara papa dan mamanya.
Ocehannya di abaikan. Bianca sadar kalau Gavin mendadak jadi seperti patung. "Kenapa?"
"Orang tua gue hobi selingkuh kah?"
"Apa sih? Kok gitu ngomongnya?" Bianca mendengus kesal mendengar jawaban dari Gavin. "Kenapa tiba-tiba bilang gitu?"
"Lihatin mata gue lagi lihat ke mana. Di sana ada Papa sama cewek yang bibirnya kayak abis makan darah," titah Gavin, menatap lurus ke depan.
Bianca patuh. Ia mencoba menyamakan pandangannya dengan Gavin. Tidak butuh waktu yang lama dirinya menemukan sosok yang dimaksud. "Om Arya sama siapa?"
Gavin mengedikan bahu. "Gue gak tahu, tapi dari gelagatnya sih mereka kayak couple goals."
"Mau disamperin?"
"Gak usah. Pantau aja dari sini." Gavin menarik Bianca menuju tempat yang lebih strategis. "Lo keberatan gak kalau harus ikutin Papa sama perempuan itu?"
Buru-buru Bianca menggelengkan kepala. "Ayo aja gue mah," jawabnya dengan senang hati. "Mereka jalan, Vin. Ayo ikutin."
Kenapa orang tuanya harus tetap bertahan jika sudah tidak lagi cinta? Apa karena dirinya? Atau karena alasan lain yang membuat tetap bertahan meski di luar sana sudah menemukan tambatan hati yang lain?
"Papa bisa romantis kalau sama perempuan lain." Gavin mengomentari setiap gerakan yang dilakukan oleh papanya.
"Kenapa mereka masih bersama kalau sudah tidak saling mencintai?"
"Pasti ada alasan kenapa Om Arya dan Tante Melan masih bersama, Vin."
"Tapi apa alasannya? Untuk saling menyakiti? Kenapa mereka gak berpisah aja dan cari jalan sendiri-sendiri?"
Gavin bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang sekarang terus mengerubungi kepalanya. Sampai ponselnya berdering dan memberi kabar yang semakin membuat hari ini terasa begitu berat.
"Kita pulang, Bi. Mama kecelakaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...