"Vin, lo mau dengerin gue main piano gak?" tawar Bianca berbaik hati. "Gue udah jago loh sekarang main pianonya."
Gavin diam. Memilih asyik mengerjakan soal matematika yang harus nanti dikumpulkan. Semua ini ulah Bianca. Cewek itu semalaman suntuk mengajaknya berdebat banyak hal yang sebenarnya tidak penting. Namun, jika diingat lagi, ini juga karena salah dirinya sendiri sebab mau saja meladeni Bianca yang level gilanya sudah tak tertolong.
Jam istirahat yang harusnya digunakan untuk makan cilok isi ayam kesukaannya harus libur dulu. Tugas matematika dan nilai yang baik jauh lebih penting.
"Lo daripada ngoceh mulu mending bantuin gue ngerjain soal-soal ini dah."
Bianca menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Gavin. "Nah, gue mau bantuin lo kalau udah diminta," katanya terdengar sangat semangat. "Sini, lo gak paham yang mana?"
Hubungan antara Gavin dan Bianca terlihat serasi dan sehat. Keduanya terlihat sering belajar bersama entah itu di kelas atau di perpustakaan. Padahal mereka tidak tahu saja kalau di balik itu semua ada Bianca yang seperti cacing kepanasan mengejar Gavin supaya tak berdekatan dengan Esta.
Sesekali Gavin berontak dan mendorong supaya Bianca menjauh. Sayangnya, Bianca tidak semudah itu untuk menjauh. Ia selalu mengeluarkan jurus andalannya dengan mengatakan akan mengadu pada orang tuanya. Tentu saja Gavin murka, dan berakhir membiarkan Bianca melakukan apa saja yang dia inginkan.
"Ajib, lo les di tempat yang mahal ya? Kok paham banget kayaknya sama soal ginian? Mana pake cara yang jauh lebih mudah lagi jelasinnya." Gavin berdecak kagum dengan kemampuan Bianca. Sesaat ia merasa terpesona pada Bianca yang sedang mode normal.
"Lo mau kursus sama gue?" tanya Bianca sambil mengedipkan matanya beberapa kali. "Khusus lo bayarannya gak mahal. Cukup bayar aja pake cinta lo, dan lo bisa kursus seumur hidup sama gue."
Hanya bertahan beberapa saat saja ternyata mode normal Bianca. Gavin sebenarnya sudah tidak heran, tapi ia tetap saja selalu kehabisan kata ketika menghadapi Bianca dengan kelakuan anehnya.
"Jauh-jauh lo dari gue. Perih mata gue lihat lo mulu." Gavin mendorong pelan dahi Bianca.
"Jangan suka gitu deh. Nanti kalau gue deket sama James, lo suka misuh-misuh," goda Bianca, mencolek lengan Gavin. "Btw, lo mau temenin gue bolos les gak?"
Gavin menggeleng cepat. "Ogah. Kemarin lusa lo udah bolos les biola. Masa sekarang lo mau bolos les piano."
"Cie, apal banget sama jadwal les gue." Bianca semakin gencar menggoda Gavin.
Enggan meladeni ocehan Bianca, Gavin memilih segera menutup buku berisi soal yang sudah selesai dikerjakan. "Lo gak ke kantin? Gak laper lo dari tadi ngomong terus?"
Apa yang dikatakan Gavin membuat Bianca menepuk jidat. Ia lupa jika tadi pagi telah merepotkan mamanya karena mendadak ingin membawa bekal. Lebih parahnya, Bianca meminta supaya bekal itu dibentuk lucu seperti yang sering dilihatnya di media sosial.
"Gue bawa bekal. Bentar gue ambil dulu ke kelas." Tanpa mendapat jawaban apapun, Bianca langsung kabur ke kelasnya yang berada di sebelah.
"Gue harus kabur mumpung ada kesempatan," gumam Gavin tersenyum senang. "Tapi kalau gue kabur nanti cewek aneh itu nyariin gue. Dia belum makan. Nanti dia malah sibuk nyariin gue dan gak makan bekalnya."
Untuk kesekian kalinya rasa peduli Gavin hadir. Di antara benci dan rasa ingin menendang Bianca jauh-jauh, entah bagaimana selalu ada hal yang membuatnya tetap peduli pada cewek itu. Sepertinya karena dua minggu selama liburan mereka habiskan bersama membuat rasa itu tanpa sadar tumbuh dalam diri Gavin.
"Nanti aku kirim fotonya, tapi Om harus janji beliin aku hp baru."
Wah, Bianca hampir pingsan mendengar apa yang sedang dikatakan Esta pada seseorang di seberang sana. Untuk menutupi rasa gugupnya, ia bersenandung kecil seraya pura-pura memainkan ponsel di tangannya. "Eh, gak ke kantin, Ta?" tanyanya basa-basi.
Terlihat jelas sekali Esta panik dan tersenyum canggung. "Enggak. Gue gak lapar. Tadi juga abis ngerjain tugas, jadi ya gue mending di kelas aja deh istirahatnya," jawab Esta langsung menjauhkan ponsel dari telinganya.
Kepala Bianca mengangguk-angguk. "Gue bawa bekal. Lo mau?" tawarnya, menggoyangkan paper bag polos yang baru saja ia ambil dari kolong meja.
"Enggak, makasih."
"Ya udah kalau gitu gue ke kelas Gavin dulu." Bianca menarik kedua sudut bibirnya lalu kembali berjalan keluar kelas.
Gue penasaran siapa laki-laki yang waktu itu bareng Esta? Dan kenapa Esta pernah jadi simpanan Papanya James, ya?"
Selalu ada alasan setiap hal yang dilakukan oleh seseorang. Bianca percaya jika teman sebangkunya itu pasti memiliki alasan kenapa melakukan hal yang menurutnya itu tidak baik.
"Jalan yang bener, jangan sambil bengong mulu." Gavin berseru saat melihat Bianca berjalan lunglai. "Keburu bel nantinya. Ngunyah lo lama. Jadi, buruan ke sini, terus makan bekel yang lo bawa," cerocos Gavin berhasil membuat Bianca tersenyum.
"Vin, lo tahu alasan kenapa seseorang mau jadi sugar baby?" tanya Bianca tidak mempedulikan ekspresi wajah Gavin yang melongo.
Gavin memutar tubuh, menghadap sepenuhnya ke arah Bianca. "Sugar baby? Brondong simpanan Om-om atau Tante-tante?"
Tangannya masih sibuk mengeluarkan bekal ketika kepalanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Gavin. "Menurut lo kenapa? Dan kenapa, itu si Om-om atau Tante-tantenya mau punya sugar baby?"
"Kalau dalam kasus Mama, sepertinya Mama kesepian sampai punya banyak sugar baby. Warisan Mama juga kayaknya masih banyak sampai bisa ngasih jajan brondong itu."
Mana Bianca tahu jika Gavin akan memberikan contoh nyata langsung melalui mamanya. Bianca meringis, merasa bersalah karena mengungkit sisi buruk yang dimiliki orang tuanya. Enggan berlarut-larut, Bianca menyodorkan sesuap nasi goreng ke hadapan Gavin.
"Gue kenyang," kata Gavin.
"Makan. Lo harus makan yang banyak biar bisa kuat menghadapi cobaan dari Tuhan."
"Sendoknya cuma satu." Gavin kembali memberikan alasan yang terdengar masuk akal. "Kalau gue pake sendok itu, lo gak bisa makan."
Bianca mengembuskan napas kasar. "Lo gak punya penyakit menular, kan? Gak apa-apa, nanti gue bisa pake sendok ini juga."
Memang sejak kapan Bianca mau mengalah? Jadi, mau tak mau Gavin mengalah dan menerima suapan nasi itu. Bianca bersorak senang dan memamerkan senyuman bahagianya.
"Vin, misal gue gak pernah ketemu Papa. Gue jadi rindu sosok Papa, dan ujungnya gue milih jadi sugar baby karena butuh seseorang yang lebih dewasa dan bisa gue anggap sebagai Papa. Apa alasan itu masuk akal kenapa gue sampai jadi sugar baby?" Benar. Bianca kembali tertarik dan ingat tentang Esta yang kata James jadi sugar baby.
"Lo ngomong sugar baby terus, sih. Kenapa? Lo ada niat mau jadi sugar baby?"
"Gue cuma penasaran. Soalnya ada seseorang yang gue kenal dan dia jadi sugar baby." Bianca tidak berbohong untuk jawaban barusan. "Gue penasaran kenapa dia mau jadi sugar baby gitu, loh."
Gavin mengangguk paham. "Alasan itu masuk akal kok. Sama kayak Mama yang rindu sosok Papa dan malah ternak brondong di luaran sana."
Sepertinya itu juga alasan masuk akal yang bisa dipikirkan Bianca untuk alasan kenapa Esta melakukan hal itu.
"Gue pikir lo mau jadi sugar baby biar punya banyak uang."
"Gue maunya jadi your baby aja, Vin," balas Bianca mengedipkan sebelah matanya.
Sekujur tubuh Gavin menjadi merinding melihat Bianca sekarang. "Duh, ini ada hantu kah? Gue jadi merinding gini," ujar Gavin menyentuh tengkuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...