"Di dunia ini gak ada yang sempurna, Pa." Bianca mendengus kesal mendengar omelan papanya sejak keluar kelas sampai sekarang sudah di parkiran. "Lagian nilai aku cuma turun dua angka doang."
Fadil melayangkan tatapan tajam pada Bianca. "Tapi, Papa mau kamu selalu sempurna, Bianca. Dua angka itu nilai yang buat kamu akan semakin sempurna."
Baik. Bianca salah. Sejujurnya, ini kali pertama ia membalas ocehan Fadil. Sebelumnya, ia cuma mampu diam saja dan menangguk ketika hasil laporan belajarnya selama satu semester telah dibagikan. Kali ini, Bianca berani bersuara. Mengeluarkan isi kepalanya dan berhasil mematik sisi emosional Fadil secara cepat.
"Setelah ini, kamu akan duduk di kelas 12. Kamu harus lebih rajin belajar dan masuk ke universitas yang sudah Papa tentukan."
Bianca mengangguk cepat. Memilih segera masuk ke mobil dan duduk manis. Mendengarkan papanya membahas tentang masa depannya yang sudah dirancang begitu luar biasa tidak akan ada habisnya.
Melihat Bianca yang sudah berada di dalam mobil membuat Fadil menghela napas panjang. "Kamu pulang sama Pak Marno. Papa harus kembali ke kantor."
"Oke."
"Kamu sudah tahu kan kalau kamu akan pindah sekolah."
Tanpa menatap lawan bicara, Bianca mengangguk cepat. "Ke sekolah Gavin, kan? Aku udah tahu. Mama udah kasih tahu aku."
Ide gila lainnya yang harus dilakukan oleh Bianca. Satu tahun. Sisa sekolahnya hanya tinggal tersisa satu tahun lagi. Namun, entah apa yang dipikirnya Fadil sehingga meminta Bianca pindah sekolah. Bianca sempat menolak. Memberikan alasan yang masuk akal kenapa dirinya tidak mau pindah sekolah. Sayangnya, itu tidak diterima baik. Cewek pencinta kopi itu harus tetap pindah.
Lebih parahnya lagi, Bianca harus pindah ke sekolah Gavin. Ide gila yang sangat terdengar buruk!
"Kamu mau hadiah apa untuk kali ini?"
Apa yang harus ia pinta untuk kali ini? Hadiah karena sudah berhasil mempertahankan prestasinya dan kembali meraih juara kelas. Tentu saja karena menurut dan patuh akan aturan yang diberikan oleh papanya selama ini.
"Belum kepikiran mau apa. Nanti aku kasih tahu kalau udah tahu mau apa," balas Bianca. "Aku pulang duluan, Pa. Aku harus les piano soalnya."
"Hari ini kamu boleh libur. Langsung pulang saja ke rumah dan istirahat." Fadil tersenyum tipis.
Sepertinya ini salah satu hadiah yang ia harapkan. Bisa langsung pulang dan bermalas-malasan di rumah. Hari yang selalu Bianca tunggu kehadirannya.
Dalam diamnya, Bianca mengucap terima kasih. Ia masih bisa bertahan di antara tekanan yang terus dirasakan. Masih bisa membuat papanya tersenyum bangga ketika mendengar laporan belajar dan sikapnya selama di sekolah. Di antara pilu dan tangis yang kadang tak bisa lagi ditahan, Bianca masih bisa tersenyum mengingat senyuman hangat papanya ketika ia berhasil meraih sebuah prestasi.
"Mau langsung pulang atau mau ke mana dulu, Non?"
"Ke makam, Pak. Habis dari sana, kita ke tempat makan biasa ya."
Pak Marno mengangguk paham dan segera melaju membawa Bianca ke tempat tujuan.
⌛⌛⌛⌛
"Cie, juara kelas lagi," goda Gavin, menyenggol pelan lengan Esta.
Esta tertawa pelan mendengar gurauan yang dilontarkan Gavin. Tangannya memegang erat raport yang seharusnya diambil oleh ayah atau ibunya. Sayangnya, itu semua tidak akan pernah terjadi padanya.
Gerak-gerik Esta tidak luput dari pantauan Gavin. Sejak keluar kelas, ia terus memperhatikan Esta yang tampak murung meski sesekali bibirnya tertarik mengukir senyuman. Hal yang sangat biasa dan ia tahu apa penyebabnya.
Tanpa ragu, Gavin merangkul Esta dan menepuk beberapa kali pundak cewek itu. "Jangan sedih, Ta. Orang tua kita gak ke sini karena sibuk cari uang biar kita jajan yang banyak," katanya, seperti biasa ingin membuat Esta tidak sedih.
Gavin sudah mulai terbiasa. Sejak pertengkaran orang tuanya, ia sudah mulai membiasakan diri untuk tidak berharap. Meminta papa atau mamanya agar datang ke sekolah sama saja membuat sakit hati dengan cara yang paling mudah.
Papanya tentu saja sedang sibuk bekerja di kantor. Mamanya juga kerja di butik yang sudah lama dirintisnya sejak dulu, atau sepertinya juga sedang sibuk bersama selingkuhan barunya.
"Nilai lo gimana? Pada bagus, kan?" Esta mau tak mau mencoba bersikap ceria di hadapan Gavin.
"Oh, tentu saja," jawab Gavin sangat bangga. "Gue masih masuk 10 besar, sih." Tawanya meledak keras.
Meski malas-malasan dan jarang mengerjakan tugas, Gavin masih bisa mendapat pencapaian yang menurutnya luar biasa.
"Oh, tukang tidur di kelas ternyata pinta juga." Esta mengulurkan tangannya untuk menepuk pelan puncak kepala Gavin.
Bagaimana bisa Gavin melupakan Esta jika begini caranya? Sentuhan kecil itu berefek besar untuk Gavin. Terlalu besar sampai membuat cowok itu mau pingsan. Salahkan Esta yang sudah tersenyum begitu manis dan memujinya dengan nada suara yang begitu lembut.
Dasar baperan! Gavin merutuki dirinya sendiri yang mudah begitu luluh pada setiap hal yang dilakukan Esta.
"Ta, katanya gue harus move on," ujar Gavin mencoba menahan senyuman. "Gimana gue mau move on kalau lo kayak gini terus."
Bukannya berhenti, Esta semakin menggencarkan aksinya menggoda Gavin. Ia menggenggam tangan cowok penyuka kucing itu cukup erat. "Ayo pulang," katanya mengabaikan ocehan Gavin. "Khusus hari ini, lo gak boleh move on dari gue."
"Padahal kita cocok banget kalau pacaran. Kenapa harus temenan kalau bisa pacaran?" Gavin membenarkan genggaman tangannya. Ia melirik Esta sekilas. Selalu terlihat cantik dan membuatnya jatuh cinta.
"Gak cocok. Kita lebih cocok kalau sahabatan doang," balas Esta menyanggah ucapan Gavin.
"Bosan gue dengar jawaban itu mulu."
"Gue juga bosan dengar lo ngaku suka sama gue terus."
"Gue beneran harus move on, terus belajar suka sama Bianca?"
"Harus. Lo harus move on dari gue."
Obrolan tak tentu arah itu terus berlanjut sampai ke parkiran. Tawaran Gavin untuk mengantarkan Esta ditolak. Padahal Gavin masih mau berlama-lama dengan Esta. Sampai sore atau malam pun tak masalah. Sebab, selama liburan nanti Esta pasti akan sangat sulit ditemui.
"Gue mau liburan ke luar kota." Esta menepuk pelan helm milik Gavin. "Lo PDKT aja sama Bianca selama liburan nanti. Cukup lah dua minggu buat lo makin kenal sama dia."
"Males. Dia tuh cerewet banget."
"Jangan gitu," timpal Esta langsung. "Biasanya yang awalnya gak suka dan ngaku benci, ujungnya bakal cinta mati loh."
Gavin menggelengkan kepalanya cepat. Apa yang dikatakan Esta tidak masuk akal dan tidak mungkin terjadi padanya. Tidak akan. "Gak bakalan. Lo gak usah ngawur."
"Iya-iya, enggak. Udah sana buruan pulang." Esta secara terang-terangan mengusir Gavin. "Lo pulang duluan aja. Gue mau tunggu Rania dulu."
"Yakin gak mau pulang bareng gue?"
"Yakin," jawab Esta mantap. "Gue mau nyamper Rania. Lo hati-hati pulangnya." Tangannya melambai beberapa kali lalu berlari kecil meninggalkan Gavin.
Memastikan Gavin sudah benar-benar pergi, Esta keluar dari tempat persembunyiannya. Esta berbohong, ia tidak sedang menunggu Rania atau menghampiri Rania yang masih di kelas. Cewek itu memang sengaja menghindari Gavin.
"Aku ke sana sekarang." Esta tersenyum menjawab panggilan telepon dari seseorang yang sejak tadi sangat ia tunggu kabarnya.
Keluar dari gerbang, Esta menyebrangi jalan untuk sampai ke sebuah mobil berwarna putih. Sesampainya di sana, ia langsung masuk dan memeluk orang di dalamnya.
"Hai," sapanya tersenyum semanis madu.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...