Gavin masih membisu. Kue di yang pada awalnya akan terasa nikmat seketika tak lagi menarik minat. Pikirannya sedang berkelana. Entah di belahan bumi mana, ia masih membayangkan dan teringat akan perlakuan dan sentuhan mesra yang dilakukan Melani pada seseorang yang tidak diketahui namanya.
Bianca ikut menjadi pendiam. Melihat Gavin seperti orang linglung, membuatnya ikut bingung. Apa yang tadi dilihatnya memang cukup membuat terguncang. Apa benar Melani selingkuh? Sejak tadi, di kepala Bianca terus berlarian pertanyaan seperti itu.
"Bi, gimana kalau sebenarnya Mama selingkuh?" Gavin mengalihkan pandangannya pada Bianca. "Tadi cowoknya masih muda banget, loh."
Bianca bingung harus menjawab apa. Dikatakan selingkuh, ia juga tidak tahu benar atau tidak. Jika dikatakan tidak selingkuh, tapi gerak-gerik Melani dan laki-laki itu memang seperti sepasang kekasih.
"Mama emang cantik, sih. Tapi kenapa kecantikannya buat dipakai selingkuh sama brondong, sih?" Gavin mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Tapi, Bi ... Mama mantap juga ya bisa selingkuh sama laki-laki yang lebih muda dari Papa."
"Lo jangan gitu dong. Lagian siapa tahu mereka cuma temenan." Bianca menyuapkan satu sendok kecil kue ke mulutnya. "Tante Melan gak mungkin selingkuh kok."
Bahkan, Gavin sudah tidak melihat tatapan cinta yang terpancar di antara mata kedua orang tuanya. Rasanya, mungkin saja wajar jika Melani memiliki laki-laki lain di luar sana. Kemungkinan lainnya, apa pertengkaran selama ini terjadi karena Melani berselingkuh?
Tuk!
Bianca mengetuk ringan kening Gavin menggunakan sendok di tangannya. "Jangan diem terus. Buruan makan kuenya," kata Bianca kelewat ceria.
Gavin meringis. Ternyata bercerita pada Bianca cukup membuat kepalanya jauh lebih tenang. Yang semula riuh mulai tenang saat melihat Bianca tersenyum dan mengulurkan kue ke hadapan mulutnya.
Setelah merayakan ulang tahun kelinci putih bernama Zeline, Bianca mengajak Gavin untuk duduk di taman belakang rumahnya. Bukan apa-apa, di sana suasana terasa sejuk untuk hari ini yang terasa panas.
"Aaaaaakk," katanya, persis seperti sedang membujuk anak kecil supaya mau makan.
"Lo kira gue anak kecil apa gimana, sih?" Gavin berdecak kesal, tapi tak urung menerima suapan kue yang diberikan Bianca. "Tante Reva ke mana? Kok gak ada orang di rumah lo?"
"Ibu-ibu sosialita lagi arisan dong, Vin." Bianca tersenyum samar. "Papa masih kerja."
"Terus tiap hari lo sendirian di rumah?"
Kepala Bianca menggeleng cepat. "Balik sekolah gue langsung les. Pulang malam, pas udah Mama sama Papa juga udah ada di rumah."
"Les setiap hari?" tanya Gavin sedikit penasaran. "Gak mungkin kan lo les setiap hari?"
"Kalau minggu libur. Sisanya, setiap habis sekolah gue langsung les." Bianca menjawab pertanyaan Gavin tanpa beban. "Tapi makasih karena lo bilang mau jalan sama gue, Papa biarin gue hari ini libur les piano," ujar Bianca mengangkat kedua ibu jarinya.
Mulut Gavin menganga. "Dan, lo bahkan les piano juga?" tanyanya yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Bianca. "Lo serius? Lo les apa aja, Bianca?"
"Piano, biola, matematika, dan beberapa pelajaran yang gue rasa gak cukup bisa. Gue juga ikut kursus masak, mungkin aja besok-besok gue bakal ikut kursus menjahit juga," celoteh Bianca menyebutkan satu per satu kegiatan apa saja yang ia ikuti di luar sekolah.
Ada yang menarik dalam diri Bianca. Cara dia tersenyum sembari menyebutkan kegiatannya membuat Gavin melongo tak percaya. Dunia Bianca sepertinya seru, dan sepertinya Gavin mulai tertarik.
"Kenapa? Lo mulai naksir gue, ya? Kagum kan sama gue?" Bianca tersenyum penuh arti. "Gue emang sibuk banget sih, Vin. Tapi kalau udah jadi pacar lo, gue bakal bisa tetap bagi waktu supaya lo gak merasa kesepian."
Gavin ingin melempar kue yang tersisa setengah itu pada Bianca yang sedang menunjukan raut wajah menyebalkan. "Lo gak capek?"
"Capek apanya? Les? Enggak. Gue gak merasa capek," jawab Bianca percaya diri.
"Bukan itu. Maksud gue, lo gak capek jadi orang gila?"
"Lo yang gila!" Bianca berdecak kesal dan Gavin tertawa puas.
"Kata Mama, lo itu pinter, Bi. Kenapa masih harus les setiap hari?" tanya Gavin setelah selesai tertawa. "Lo beneran gak capek dengan berbagai macam les-les itu?"
Kepala Bianca menggeleng pelan. "Gue gak capek. Dan, untuk alasannya rahasia. Nanti gue kasih tahu kalau lo udah ngaku cinta sama gue."
Gavin merotasikan bola matanya malas. Bianca tetap lah Bianca yang selalu berakhir membuat kesal. Sedetik bersikap normal, sisanya kembali seperti semula. Gavin harus mulai mengingatkan dirinya untuk tidan terlena akan sikap normal Bianca yang membuatnya sempat tertarik.
Diam-diam, Bianca tersenyum samar. Pandangannya tertuju pada Gavin yang sibuk menikmati kue sembari sesekali tersenyum senang saat kue itu masuk ke mulutnya. Apa yang dikatakan Melani benar; Gavin itu baik. Terlihat keras dan menyebalkan dari luar, padahal aslinya hangat.
Bisa gawat kalau gue yang suka duluan sama Gavin! Bianca buru-buru mengusir pikiran gilanya. Tugasnya sekarang adalah membuat Gavin jatuh cinta pada dirinya. Tidak boleh sebaliknya.
"Besok mau les apa, Bi?"
"Biola."
"Mau gue antar?"
"Enggak, ah. Gue mau sama Pak Marno aja. Makasih tawarannya."
Ini gue kenapa, sih? Gavin kembali mengumpat pada dirinya sendiri. Ia mengembuskan napas kasar. Mulai mengatur napas dan menenangkan pikiran.
Di sebelahnya, Bianca mengerutkan kening. Sedikit heran dengan Gavin yang tampak gelisah. "Kenapa? Ada yang salah?"
"Gue inget Mama," jawab Gavin, tidak sepenuhnya berbohong. "Mama dekat sama lo, kan? Coba lo cari tahu tentang laki-laki itu."
"Nanti gue dikira kepo sama Tante Melan, Vin."
"Kepo dikit gak apa-apa kali, Bi," sambung Gavin cepat. "Lo harus bantu gue kalau mau perjodohan ini berlanjut."
Bianca menendang pelan sepatu Gavin. "Bilang aja lo udah mulai suka sama gue kan? Udah gue bilang, gue tuh mudah buat dicintai."
Sudah cukup sepertinya hari ini ia berbincang dengan Bianca. Piring kecil di tangannya ia simpan di atas meja, lalu detik berikutnya Gavin berdiri dan mengangkat kedua tangannya ke atas. "Gue mau balik. Gue nyerah. Takut ikutan gila ngobrol sama lo."
Tawa Bianca tak bisa lagi ditahan. Cewek berbaju biru muda itu merasa lucu karena tingkah Gavin. "Hati-hati, lo bisa cinta mati sama gue, Vin."
"Gue balik." Gavin mencoba menutup telinga. Suara Bianca mendadak terdengar horor. "Abisin kuenya. Sayang kalau gak abis. Beli kue itu kan pake uang."
Gavin sungguh pergi. Tanpa kembali melihat ke arah belakang, ia berjalan pelan dengan senyuman tipis yang tersungging di bibirnya. Ia tetap memilih diam saat Bianca terus berteriak memanggil namanya. Pilihan terbaik dari pada harus tetap duduk di sebelah Bianca dan mendengarkan celotehan cewek itu.
Pertemuan ke sekian yang membuat Gavin paham lebih banyak tentang Bianca. Beberapa hal tentang Bianca sepertinya hanya kebohongan belaka. Mungkin tebakan itu terlalu cepat. Namun, Gavin bisa melihat sendu yang terpantul di mata Bianca ketika membahas bunda dan papanya.
"Bianca beneran bahagia, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...