"Iya." Dari dalam kamar, Gavin mendorong kursi dan menjauhkan diri dari meja belajar. "Sebentar," tambahnya ketika namanya terus disebut dari luar.
Tepat ketika pintu kamarnya dibuka, Gavin menemukan papanya sedang berdiri. "Loh Papa udah pulang?" tanyanya membuka pintu lebar.
Arya maju beberapa langkah. Tangannya berusaha meraih Gavin. "Vin, Papa minta maaf."
Maaf? Untuk? Gavin tidak tahu maaf untuk apa yang sekarang dipinta oleh papanya. Pada dirinya yang terus diabaikan atau pada mamanya yang sudah tiada.
Setelah dua hari berlalu, Gavin baru bertemu papanya hari ini. Tanpa kabar dan sedikit pun pesan, Gavin sama sekali tidak tahu di mana keberadaan papanya.
"Papa dari mana? Liburan sama keluarga Papa yang lain, ya?" tanya Gavin penuh selidik. "Kenapa nomor Papa gak bisa dihubungi? Kemarin bukan cuma aku yang cari Papa, tapi yang lain juga cari di mana keberadaan Papa."
Gavin mengatakan yang sebenarnya. Namun, Gavin tidak menjawab yang sebenarnya. Kerja di luar kota. Hanya itu saja jawaban yang ia berikan ketika keluarga dari pihak papanya bertanya.
"Vin, Papa kamu ke mana toh? Kenapa di saat seperti ini gak pulang?"
"Papa kerja di luar kota, Nek."
"Kamu gak bohong kan? Tante coba telepon kok gak bisa sih?"
"Papa mungkin lagi sibuk, tapi aku udah kasih tahu kok."
Untuk kesekian kalinya Gavin berbohong. Meski begitu kecewa, ia tidak ingin yang lain tahu dan akan kecewa pada papanya. Cukup dirinya saja yang tahu tentang semua ini. Biarkan semuanya tahu jika papanya sibuk bekerja agar hidupnya terjamin dan bahagia. Untuk ke depannya, Gavin akan membiarkan papanya sendiri yang memberitahu orang-orang di sekitar.
Gavin menyambar kunci motor yang tergeletak di meja. "Papa udah ke makam Mama? Kalau belum aku bisa antar ke sana."
"Vin, Papa minta maaf. Seharusnya waktu itu Papa gak pergi ke luar kota."
"Udah lewat, Pa. Papa gak perlu menyesal. Semuanya udah terjadi dan gak mungkin membuat Mama hidup lagi." Gavin menjawab itu setenang mungkin. "Yang menyesal bukan cuma Papa. Aku juga menyesal, Pa," akunya berterus terang.
Arya mencoba mendekat ke arah Gavin. Tatapan mata putranya itu begitu jelas memancarkan kekecewaan. Arya tidak akan menyalahkan Gavin.
"Aku udah tahu semuanya," ujar Gavin kembali bersuara. "Aku udah tahu kalau Papa punya keluarga lain selain di sini. Aku juga tahu kalau Mama kesepian sampai akhirnya memilih selingkuh dengan banyak cowok." Gavin membeberkan semua hal yang selama ini ia simpan sendirian.
Arya menggeleng tak percaya. "Papa bisa jelasin, Vin."
"Harus," sambar Gavin cepat. "Tapi gak sekarang. Kita harus ke makam Mama dulu. Papa belum ke sana, kan?"
"Belum," jawab Arya pelan. "Antarkan Papa ke sana, Vin."
"Ayo."
⌛⌛⌛⌛
Tidak ada lagi air mata. Gavin berhenti menangis sejak pulang dari peristirahatan terakhir mamanya. Sejak ia berpisah dengan Bianca dan berjanji pada keluarganya yang lain untuk tidak menangis. Untuk berhenti merasa bersalah atas semua yang telah terjadi.
"Mama nanti sedih kalau kamu nangis terus. Ikhlaskan semuanya ya, Vin. Sekarang Mama udah tenang dan berada di tempat yang indah." Begitu kata neneknya kemarin malam.
Hari ini Gavin kembali datang menemui mamanya. Berbeda dengan kemarin, hari ini dirinya datang bersama papanya. Bersama seseorang yang dicintai mamanya sampai mengembuskan napas terakhir.
"Mau aku tinggal sendiri?" tawar Gavin mencoba memberi ruang agar papanya lebih leluasa.
"Enggak usah. Kamu di sini aja sama Papa."
"Melani, ini aku," ujar Arya menyentuh batu nisan di dekatnya. "Aku minta maaf. Aku minta maaf untuk segala kesalahan yang sudah aku perbuat sama kamu."
Kilasan kenangan saat masih bersama menari dalam kepala Arya. Ia tidak pernah menyangka jika kisah mereka harus berakhir seperti ini. Namun, ia hendak menyalahkan siapa jika semua yang terjadi sekarang karena ulah dirinya sendiri?
"Aku mencintai Vivian." Arya kembali berbicara pelan. "Aku tahu itu seharusnya tidak pernah aku lakukan setelah kita bersama, tapi aku tidak bisa, Melani. Cinta yang aku miliki untuk dia ternyata lebih besar sampai membuat aku menginginkan dia."
Untaian kata itu dicerna baik-baik oleh Gavin. Secara tidak langsung, ia sedang mendengarkan penjelasan dari papanya.
"Dulu, kita saling mencintai. Aku mencintai kamu sebelum akhirnya aku bertemu Vivian. Sosok perempuan yang ternyata bisa membuat aku jatuh cinta lagi dan membuat hidup aku jauh lebih bahagia."
Cinta setelah cinta? Bisakah seseorang merasakan hal itu saat masih memiliki pasangan?
Gavin mulai paham kemana penjelasan papanya meski tidak sepenuhnya mengerti dengan jelas.
Arya menarik napas dalam-dalam lalu ia embuskan perlahan. "Sayangnya, sejak hubungan aku dan Vivian kamu ketahui, semuanya menjadi berubah. Aku jadi mudah marah sama kamu karena kamu selalu membahas Vivian," bebernya tersenyum getir. "Apa yang kamu katakan tentang Vivian selalu membuat aku mudah sekali emosi sampai akhirnya kita jadi sering bertengkar."
Jadi karena itu alasannya? tanya Gavin dalam hati. Karena sosok perempuan lain yang hadir di antara mereka.
"Selain karena Vivian, aku juga marah karena kamu sering pergi sama laki-laki lain. Aku gak suka kamu dekat sama laki-laki lain selain aku."
"Tapi Papa menikah lagi. Bukankah itu egois?" tanya Gavin mengalihkan tatapannya pada papanya. "Papa gak mau lihat Mama sama orang lain, tapi Papa sendiri memilih hidup bersama perempuan lain. Itu egois kan namanya?"
Dengan berat hati Arya mengangguk pelan. "Kamu benar, Vin. Papa egois. Papa yang lebih dulu selingkuh, dan juga Papa gak mau lihat Mama kamu dengan laki-laki lain, tapi tanpa sadar Papa sendiri yang membuat Mama kamu jadi seperti itu."
"Mama selalu bilang kalau Mama butuh perhatian Papa. Mama kesepian, Mama rindu sosok Papa yang seperti dulu." Gavin mengatakan alasan yang diberikan Melani ketika ketahuan membawa selingkuhan baru. "Aku tahu Mama juga melakukan hal yang salah. Gak seharusnya Mama mencari pelarian dengan cara seperti itu, tapi Papa juga salah karena udah menjadi alasan kenapa Mama sampai nekat mencari pelarian dan mengenal dunia malam."
Semuanya salah. Bahkan, Gavin sendiri juga salah karena tidak mengenal betul bagaimana perasaan orang tuanya. Ia tidak paham bagaimana mamanya yang kesepian. Gavin juga merasa salah karena tidak paham jika alasan kenapa papanya jarang sekali sarapan di rumah karena memilih sarapan dengan keluarga lain yang lebih hangat.
"Papa mengaku salah, Vin. Papa minta maaf sama kamu." Akhirnya setetes bening air mata Arya jatuh melewati pipi. "Papa selalu acuh sama kamu. Papa gak ada di saat kamu membutuhkan sosok yang seharusnya menguatkan kamu."
"Aku sudah memaafkan Papa," kata Gavin.
Sebelum semuanya semakin melebar, Gavin ingin belajar menjadi seseorang yang berbesar hati. Kecewa tentu saja. Marah juga Gavin merasakan emosinya meledak kala mendengar penjelasan dari papanya. Namun, ia tidak mau menjadi seorang pendendam.
Meski belum sepenuhnya rela dan menerima, Gavin akan mencoba perlahan melupakan semua yang telah terjadi di masa lalu. Memaafkan papanya bukan suatu hal yang buruk, kan?
"Kamu boleh membatalkan perjodohan kamu dan Bianca kalau kamu gak suka. Papa gak bakal maksa kamu untuk perjodohan itu," ujar Arya tiba-tiba. "Biarkan perusahaan menjadi tanggung jawab Papa. Kamu gak perlu memaksakan diri."
Kali ini Gavin menggelengkan kepala dan tersenyum. "Enggak perlu, Pa. Biarkan perjodohan Gavin dan Bianca berlanjut."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...