"Esta minta pulang bareng gue."
Mata Bianca otomatis melotot. "Terus? Gue harus minta dijemput sama Pak Marno gitu? Hari ini les piano gue yang terakhir, gak boleh telat, Vin," paparnya terus terang.
Tangan jahil Gavin menjawil pelan hidung bangir Bianca. Kebiasaan buruk cewek itu masih belum menghilang; suka memotong pembicaraan lawan bicaranya. "Gue belum selesai ngomong, Bianca," katanya gemas.
"Iya, maaf. Terus gimana? Lo mau balik sama Esta?"
"Enggak. Gue udah nolak permintaan dia. Untuk kali ini, gue pilih balik sama lo," jawab Gavin berhasil membuat seberkas senyum terbit di bibir tipis Bianca. "Selain karena janji sama Mama dan orang tua lo, gue juga gak mau mengacaukan les terakhir lo yang udah lo tunggu-tunggu dari lama."
Akhirnya Bianca diizinkan untuk berhenti les piano. Setelah minggu kemarin berhenti dengan les biola, kali ini ia juga akan berpisah dengan teman-temannya. Alasannya sederhana; Bianca sudah kelas 12, ia harus lebih fokus pada pelajaran untuk ujian nanti.
"Hari ini gue pilih lo. Gak tahu kalau besok atau seterusnya." Gavin melipat tangannya di depan dada. "Kayaknya besok gue bakal balik sama Esta."
"Kabarin aja dari jam istirahat, biar gue langsung kabarin Pak Marno buat jemput gue nantinya," balas Bianca terlalu santai. "Ya udah yuk balik, takut keburu telat nantinya."
Gavin mengangguk dan melepaskan tas Bianca dari punggungnya. "Biar gue yang bawa," katanya yang kemudian membawa tas milik Bianca di bagian depan badannya.
Ini sudah terlalu terbiasa untuk Bianca. Hal sekecil ini selalu membuatnya tersenyum dan bersenandung kecil dari mulai keluar kelas sampai ke parkiran.
"Lo bohong, Vin. Lo udah gak peduli sama gue," kata terdengar lirih. "Lo udah gak peduli sama gue sejak Bianca datang."
Esta menatap kepergian Gavin dan Bianca dari jarak yang tak begitu jauh. Sengaja ingin tahu bagaimana perasaan Gavin yang sebenarnya, Esta meminta untuk pulang bersama. Sayangnya, Gavin memilih pergi bersama Bianca.
Ponselnya yang berdering membuat Esta sedikit terkesiap. Tanpa berpikir panjang, langsung merogoh ponsel yang disimpan di saku rok. Seulas senyuman langsung hadir ketika melihat nama si penelepon.
"Halo, Om," sapa Esta pelan, tapi terdengar jelas nada antusias terselip di sana. "Kenapa? Om mau jemput aku?"
"Aku mau, tapi aku juga mau jalan-jalan terus belanja deh."
"Om kangen sama kamu. Nanti kamu bebas beli apa aja yang kamu mau ya, sayang."
Apa yang dikatakan lawan bicaranya membuat Esta bersorak senang. "Yeay! Aku tunggu di tempat biasa ya. Bye."
Yang dikatakan orang-orang benar, Esta simpanan Om-om berduit tebal. Tidak ada yang salah sedikit pun. Termasuk kenyataan jika dirinya membuat hubungan kedua orang tua Rania hancur. Esta tersenyum bangga ketika kakinya mulai melangkah keluar dari area sekolah.
Persetan dengan Gavin. Gue akan milih jalan-jalan dan belanja sama ATM berjalan gue.
Jika ada yang menyebut Esta tidak waras dan tak memiliki perasaan, ia tidak peduli. Karena yang terpenting bagi dirinya sekarang adalah kemewahan dan sosok laki-laki yang ia harap bisa meredam rindunya pada papanya.
⌛⌛⌛⌛
Selesai mengantarkan Bianca ke tempat les, Gavin langsung pulang. Tak seperti biasanya yang terkadang malah berbelok ke rumah Martin, kali ini Gavin langsung pulang. Alasannya sederhana, ia ingin makan dengan sayur asem yang tadi pagi dimasak oleh mamanya. Sebuah kejadian langka yang harus ia rayakan.
Meski masih sering keluar rumah dengan cowok yang berbeda-beda, Gavin benar-benar seperti tak pernah melihat apapun. Ia memaksakan diri tak peduli padahal jauh di lubuk hatinya ingin sekali memukul simpanan mamanya.
"Mama gak mau udahan aja? Mama gak kasihan sama aku yang udah beberapa kali lihat Mama sama selingkuhan Mama lagi bermesraan?" Hari itu, Gavin bertanya pelan ketika Melani sedang terlihat santai. "Mama tahu kan yang Mama lakuin sekarang itu salah?"
"Kamu gak tahu apa-apa, Gavin. Tutup saja mata kamu dan fokus pada hidup kamu sendiri."
"Kalau gitu beritahu aku semuanya. Tentang Mama dan Papa yang setiap hari gak pernah absen bertengkar, tapi sampai sekarang kenapa gak pisah aja?"
Melani tertawa pelan. Ia menatap Gavin dan mengusap pelan punggung tangannya. "Bertengkar itu tanda cinta, Gavin. Jadi, Mama sama Papa bertengkar karena kita saling mencintai."
"Yakin? Bagaimana bisa Mama bilang saling mencintai, tapi Papa menikah lagi dengan perempuan lain? Bagaimana bisa Mama bilang seperti itu saat Mama sendiri setiap hari gonta-ganti selingkuhan?'"
Rahasia yang hanya dirinya dan Bianca ketahui akhirnya ia ungkapkan juga pada Melani. Gavin rasa dirinya sudah muak melihat tingkah orang tuanya yang setiap hari semakin membuatnya ingin kabur dari rumah.
"Kamu tahu dari mana, Gavin?"
"Aku tahu siapa istri baru Papa, Ma. Aku juga bahkan sudah punya adik perempuan yang menggemaskan."
Melani membisu, menatap sendu Gavin yang berlalu dari hadapannya tanpa menjelaskan dari mana rahasia kelam itu dia ketahui. Bahkan, di hari selanjutnya pun, Gavin masih membisu dan bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Apa Gavin kecewa pada orang tuanya? Jawabannya tentu saja. Anak mana yang tak kecewa dan merasa sedih saat melihat orang tuanya bertengkar setiap hari? Perselingkuhan di antara keduanya, dan tak ada kehangatan yang ia rasakan. Gavin kecewa. Ia hanya bisa meminta pada Tuhan agar semuanya baik-baik saja. Ia rela menuruti semua keinginan orang tuanya dengan tujuan agar semua keadaan kembali membaik.
Mungkin di antara pintanya pada Tuhan, Gavin merasa satu per satu akan segera terkabul. Contohnya saja hari ini. Melani memasak sejak pagi dan menyiapkan Gavin sarapan dengan berbagai macam makanan.
"Ma, Gavin pulang!" Gavin mendorong pintu lalu mencoba menemukan keberadaan Melani.
"Ini ibaratnya, gue diajak melayang tinggi, setelah itu gue dijatuhkan begitu saja," ujar Gavin menghela napas kasar kala matanya menangkap Melani sedang duduk bersebelahan dengan simpanannya. "Gue pikir, Mama udah berubah setelah beberapa hari lebih sering di rumah."
Gavin sengaja menjatuhkan vas bunga yang tak jauh dari jangkauannya. Cukup berhasil membuat dua orang itu mengalihkan perhatian. "Sorry, gak sengaja. Dan, wow siapa lagi kali ini?" tanya Gavin mulai berjalan mendekati Melani dan entah siapa.
"Umur berapa, Kak?" tanya Gavin pada cowok yang jelas sekali sekarang sedang terkejut karena kedatangannya. "Ma, yang ini jelek. Udah bener cakepan yang kemarin, malah ganti lagi yang baru." Kali ini, Gavin mengalihkan pandangannya pada Melani.
"Lo jelek, Kak. Mama kali ini agak salah matanya pas milih selingkuhan." Gavin kembali bersuara dan tak membiarkan mamanya berbicara. "Selingkuhan Mama sebelumnya pada ganteng-ganteng. Ah, lagian Mama kenapa sih setiap selingkuh sama cowok yang lebih muda terus?"
"Aku pulang dulu, sayang." Si cowok berjambul itu mencium singkat dahi Melani, tanpa merasa malu jika di sana ada Gavin yang notabene adalah anaknya. "Besok aku ke sini lagi."
"Jangan. Palingan besok Mama ganti pacar, dan lo dibuang deh sama Mama."
Melani langsung bergerak mendekati Gavin. Tangannya begitu ringan memukul pelan lengan putra tunggalnya itu. "Jangan ngomong gitu dong, Vin. Kasihan dia nanti sakit hati."
"Nah, Mama pernah gak sekali aja mikirin gimana perasaan aku? Mama pernah mikir aku sakit hati atau enggak karena tingkah Mama dan Papa?"
Gavin kira hari ini akan menjadi hari yang indah karena tadi pagi ia sarapan dengan enak dan nyaman. Rupanya salah. Harinya tetap suram seperti sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...