About Us | 15

2 0 0
                                    

"Sial, kenapa Bianca satu kelas sama Esta?" Gavin membaca nama Esta berada di bawah tepat di bawah nama Bianca. Kedua cewek itu satu kelas, hal paling luar biasa yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. "Gimana bisa? Duh, anjir banget si Bianca pake pindah sekolah segala," gumamnya, keluar dari kerumuman dan mulai berjalan ke kelasnya.

Di kepalanya mulai dikerubungi pikiran buruk dan aneh yang mungkin saja akan terjadi setelah Bianca satu kelas dengan Esta. Cewek aneh itu pasti akan membuat Esta semakin menjauh darinya. Meski nyaman dengan Bianca, bukan berarti perasaannya pada Esta lenyap begitu saja. Ia masih menyukai Esta, belum berubah.

Mata Gavin menangkap Esta sedang berdiri di depan kelas. Cewek itu melambaikan tangan ke arahnya seraya tersenyum.

"Gue sekelas sama Bianca," katanya setelah Gavin satu langkah di hadapannya. "

"Oh, ya?" tanya Gavin pura-pura tidak tahu.

Esta mengangguk cepat. "Iya, gue sama Bianca sekelas. Kali ini kita gak sekelas, Vin."

Untuk hal itu juga Gavin sudah tahu. Namun, itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah sekarang bagi Gavin adalah Bianca yang akan satu kelas bersama Esta.

Tangan Esta terulur dan menepuk beberapa kali bahu Gavin. "Jangan sedih. Ini pertama kalinya kita gak sekelas kok," katanya berusaha membuat senyuman Gavin kembali hadir.

Senyuman Esta menular padanya. Kedua sudut bibir Gavin tertarik ke atas saat matanya dengan jelas melihat senyuman manis Esta. "Gue gak bakalan bisa nyontek lagi sama lo," kelakarnya.

"Lo gak perlu nyontek dari gue. Lo tuh pinter tahu, Vin."

"Lo jangan gitu, Ta. Bahaya kalau gue terbang dan gak bisa turun lagi."

"Esta, lo jadi duduk bareng gue?" Dari arah belakang, Bianca datang tanpa rasa bersalah, ditambah senyuman manisnya yang terlihat menyebalkan di mata Gavin.

Esta menarik tangan Esta agar mendekat kepadanya. "Jadi. Lo harus duduk bareng gue, Bi," katanya pada Bianca sungguh-sungguh. "Lo jangan mau duduk bareng James, dia nyebelin. Lo sama gue aja."

James? Mata Gavin membulat sempurna mendengar nama cowok itu disebut. Sepertinya Bianca akan dijadikan target berikutnya oleh James. Itu tidak boleh terjadi.

"Lo duduk bareng Esta aja," celetuk Gavin memotong Bianca yang hendak berbicara. "Jangan sama James. Pokoknya lo harus sama Esta."

Bianca tersenyum samar. Mulai kebingungan dengan sikap Gavin yang selalu berubah-ubah dalam waktu yang singkat. "Tadi lo sendiri yang bilang sama gue jangan dekat-dekat sama Esta," jawabnya sengaja membuat Esta tahu akan permintaan Gavin.

Gavin berkacak pinggang. Ia melayangkan tatapan tidak sukanya pada Bianca. "Lo gak boleh dekat sama Esta, tapi bukan berarti lo bisa dekat sama James. Jangan mau berurusan sama dia."

"Lo cemburu?"

"Najis. Lo jangan ngarang kalau ngomong," tukas Gavin membantah keras tebakan Bianca.

"Hari ini lo bilang najis, gue jamin besok-besok lo nangis sambil mohon sama gue biar gak dekat-dekat sama cowok lain."

Sudah Gavin katakan kalau tingkat percaya diri Bianca itu di atas rata-rata. Jadi, ia tidak kaget lagi dengan jawaban barusan.

"Oke gue bakal duduk sama Esta. Sekarang gue mau pergi dulu. Kalian berdua bisa lanjutin ngobrol-ngobrol cantiknya, ya." Bianca melambaikan tangan lalu membiarkan Gavin kembali berduaan bersama Esta.

Setelah Bianca pergi, tatapan mata Esta yang tajam terarah pada Gavin. "Lo masih belum akur sama Bianca? Selama liburan kalian sering pergi bareng kan?"

"Kayaknya hampir setiap hari gue jadi ojek dia."

"Dan, lo masih belum suka sama dia?"

"Enggak," jawab Gavin terus terang. "Lo pikir gue bisa semudah itu buat suka sama Bianca? Enggak mungkin, Ta. Gue gak bisa semudah itu buat suka sama orang lain."

Esta menghela napas kasar. "Lo harus belajar, Vin. Gue gak bisa nerima cinta lo. Gue mau fokus belajar."

"Gue tahu. Gue juga lagi belajar buat lupain lo secara perlahan kok." Entah kapan, Gavin sendiri tidak yakin butuh berapa lama untuk melupakan Esta. "Gue mau ke kantin dulu. Lo juga mau ke lapangan, kan?"

"Iya. Gue masih ada tugas buat jelasin beberapa hal ke siswa baru. Lo duluan aja kalau mau ke kantin. Gue mau ambil sesuatu di tas."

Tanpa mengatakan apapun lagi, Gavin meninggalkan Esta dan mulai berjalan seorang diri. Teman-teman haus belaiannya itu sedang melanglang buana mencari adik kelas yang cantik untuk dijadikan gebetan.

Awalnya, Gavin berpikir jika Bianca akan kesulitan mendapatkan teman baru di sekolah barunya ini. Sayangnya tebakan Gavin seratus persen salah. Bianca begitu mudah berbaur dengan siapa saja. Tanpa malu dan canggung dia menyapa orang lain dengan senyuman hangatnya.

"Dia emang gak bisa diam dan selalu ceria seperti itu ya?"

Setiap gerakan kecil yang dilakukan Bianca tak lepas dari pandangan Gavin. Tawanya membuat suasana menjadi lebih hidup dan menyenangkan. Bianca tidak kesulitan dan mudah beradaptasi dalam waktu yang begitu singkat. Wajar rasanya jika James si playboy cap itik itu tertarik pada Bianca.

Seragam putih abu yang dikenakannya begitu rapi membalut tubuh mungilnya. Rambut panjangnya dibiarkan begitu saja tanpa sentuhan aksesoris rambut. Senyuman dan pembawaan Bianca mudah membuat orang lain tertarik dan merasa nyaman.

"Bahkan Bianca dengan mudah bergaul sama cewek hits seantero sekolah." Sekali lagi Gavin mengomentari Bianca.

"Semakin Bianca banyak teman, semakin gue repot harus memastikan jika cewek itu berteman dengan siswa yang gak bermasalah."

Oleh mamanya yang tukang selingkuh, oleh papanya yang punya istri dua, dan oleh papanya Bianca, ia diberi tugas untuk memastikan cewek itu tidak salah dalam memilih teman. Kepala Gavin hampir pecah mendengar ocehan itu, tapi ia tetap mengangguk dan patuh.

"Lo suka sama anak baru itu, Vin?" Martin— teman sekelas Gavin datang dan mengambil posisi berdiri di sebelah kiri. "Namanya Bianca. Dia cakep banget, bro."

"Dia bukan tipe gue," balas Gavin.

"Tipe lo yang kayak Esta. Yang gak suka balik sama lo dan nolak lo terus-terusan, kan?"

Gavin melayangkan pukulan kecil pada punggung Martin. "Mulut lo harus gue jahit biar bisa diam dikit."

Martin tertawa puas setiap kali berhasil membuat Gavin emosi. "Kalau lo gak suka Bianca, gue bakal dekati dia."

"Enak aja! Gak boleh." Suara Gavin cukup keras sampai membuat beberapa orang di sekitarnya mengalihkan perhatian.

"Gimana sih, Vin? Katanya lo gak suka sama dia. Kalau lo gak suka, Bianca buat gue aja."

Martin ini tidak jauh beda dengan James. Hanya saja Martin levelnya belum setinggi James. Jadi, mana mungkin ia membiarkan Bianca didekati oleh Martin meskipun cowok itu sahabat karibnya sendiri.

"Gue kenal baik sama Bianca. Lo jangan berani main-main sama dia." Gavin menelan ludahnya sendiri. Ia yang meminta Bianca berpura-pura tak mengenalnya, tapi dirinya sendiri malah mengaku kedekatan mereka pada orang lain. "Mau percaya atau enggak, gue sama dia udah dijodohkan."

"Hah? Lo gak lagi bohongin gue kan?" 

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang