About Us | 23

3 0 0
                                    

"Vin, gue tiba-tiba mau bulan, deh." Bianca menendang kecil kerikil dekat kakinya. "Lo mau ambilkan bulan buat gue gak?"

Gavin langsung menggelengkan kepala. "Enggak. Please, lo jangan ngada-ngada kalau minta sesuatu tuh."

Sinar matahari begitu menyengat kulit. Membuat penghuni bumi berlomba-lomba mencari tempat yang sekiranya bisa mendinginkan diri. Lalu, Bianca dengan pikiran anehnya tiba-tiba meminta bulan. Di siang bolong dan di bawah naungan langit biru tanpa gumpalan awan.

"Lo sengaja mau ngerjain gue kan?" tanya Gavin emosi.

Istirahat kedua seharusnya dihabiskan Gavin untuk berdiam diri di perpustakaan. Membaca buku sembari merasakan pendingin ruangan yang membuatnya merasa sejuk. Namun, Bianca datang dan memaksanya seperti biasa.

"Antar gue fotokopi yuk, Vin. Mesin fotokopi sekolah lagi rusak."

"Duh, di luar lagi panas banget, Bianca."

Dengan jurus andalannya, Bianca memasang wajah memelas. "Di dekat tempat fotokopi itu suka ada preman tahu, Vin. Lo tega biarin gue diganggu sama mereka?" tanyanya dengan nada yang dibuat sesedih mungkin.

Pada akhirnya, Gavin mengalah dan memilih menuruti permintaan Bianca. Di sini lah kini ia berada. Di pinggir jalan sembari mengipasi wajahnya yang terasa terbakar akibat matahari yang sedang berada di atas kepalanya, juga hawa panas yang berasal dari aspal jalan.

Kota yang tak pernah tidur. Jika panas akan sangat terasa menusuk sekali. Sekalinya hujan membuat gaduh dengan genangan air yang tak jarang menutupi banyak jalanan dan perumahan.

Tak ada preman apalagi pengganggu yang disebutkan Bianca. Seharusnya, Gavin tahu kalau cewek itu suka membual, tapi sialnya ia tetap percaya dan mau saja menuruti permintaannya. Ia pikir, Bianca semakin hari tingkah lakunya semakin tak bisa ditebak.

"Vin, gue mau bulan." Bianca kembali mengingat keinginannya. "Gue mau minta diambilkan sama Bunda, tapi sebelum gue minta Bunda udah gak ada," kata Bianca kali ini diiringi seulas senyuman.

Gavin sudah lumayan hapal jika Bianca bertingkah seperti ini. Bianca sedang merindukan bundanya. Entah ada masalah apalagi sehingga si bawel itu terlihat sendu.

"Nanti gue cari tangga dulu buat ngambil bulannya," jawab Gavin menarik lengan Bianca. "Buruan jalannya, takut keburu masuk. Pelajaran selanjutnya, gue gak boleh telat."

Sedikit berontak, Bianca mencoba meloloskan diri dari Gavin. Berhasil melepaskan tangan Gavin, ia langsung berlari sekencang mungkin. Kertas di tangannya di pegang dengan erat, ia harus sampai lebih dulu daripada Gavin.

Melihat Bianca yang terbirit-birit seperti dikejar setan, Gavin hanya mampu menghela napas kasar. "Bianca kalau baterainya lagi penuh emang gak bisa diam, sih," gumamnya tanpa sadar tersenyum geli.

⌛⌛⌛⌛

Permintaan aneh Bianca mengusik kedamaian Gavin. Maka dengan segala usaha dan memutar otak, ia berhasil menemukan bulan yang diinginkan Bianca.

Bukan. Bukan bulan yang ada di langit. Gavin mana bisa mengambil benda langit itu meski memakai tangga setinggi apapun.

"Eh, Gavin," sapa Sindi ketika membuka pintu. "Mau ketemu Bianca, ya?"

Tanpa ragu, Gavin menganggukkan kepala. "Iya, Tante. Bianca udah pulang les kan?"

Sindi terlebih dulu mempersilakan Gavin untuk masuk. "Sudah. Tante panggil Bianca dulu, ya. Kamu duduk dulu."

Hanya perlu menunggu beberapa menit saja sampai akhirnya Bianca datang dengan senyuman cerahnya. Malam ini, cewek itu memakai piyama satin berwarna cokelat muda. Sementara rambut panjangnya diikat asal-asalan.

"Wih, bawa apaan tuh?" Bianca langsung berlari heboh saat melihat paper bag yang berada di sebelah Gavin. "Itu pasti buat gue, kan?" tanyanya lagi penuh semangat.

Gavin menggeser posisi duduknya saat Bianca secara sengaja duduk di sampingnya dengan heboh. Sudah malam, tapi energi Bianca sepertinya masih penuh.

Tangan Bianca terulur ke depan. "Sini, gue mau lihat lo bawa apaan," pintanya sedikit tak sabaran.

"Harusnya gue gak usah ke sini aja," bisik Gavin berdecak kesal melihat kelakuan Bianca. "Nih, katanya mau bulan."

Bianca sedikit bingung mendengar perkataan Gavin. Namun, ia tetap menerima paper bag yang diserahkan ke tangannya. Cukup terasa berat, ia jadi semakin penasaran apa isinya.

Sedikit tergesa, Bianca menemukan sebuah kotak yang langsung ia buka untuk segera melihat isinya. Sementara paper bag kosong di pangkuannya langsung digeser kembali pada Gavin yang jelas sekali terlihat kesal.

Benda bulat di tangannya persis seperti bulan ketika sedang penuh. Ada beberapa kayu berukuran kecil yang nantinya akan menjadi penyangga benda ini. Bianca pernah melihat bulan ini sebelumnya. Di beranda sosial media dan halaman paling depan toko daring yang biasa ia gunakan untuk membeli beberapa barang.

"Bulan," kata Gavin tiba-tiba. "Bisa nyala juga. Kayak bulan purnama."

"Buat gue?" Bianca sebenarnya terlalu terkejut dengan semua ini. Gavin dan kejutannya memang selalu berhasil membuatnya kehilangan kata.

"Buat Pak Marno aja kalau lo gak mau." Gavin mencibir seperti biasa. "Katanya lo mau bulan. Nah, itu udah gue bawain buat lo bulannya," lanjutnya kali ini dengan intonasi yang lebih lembut.

Semakin mengenal Gavin, Bianca semakin menemukan banyak hal tak terduga. Kejutan aneh yang tak jarang berhasil membuatnya tersenyum tanpa sadar. Bahkan, Bianca mulai goyah atas keyakinannya jika dirinya tidak akan jatuh hati pada Gavin.

Di antara celotehan dan sikap menyebalkan Gavin, Bianca semakin percaya jika yang sering dikatakan Melani itu benar.

"Gavin baik banget, Bi. Setelah dia tahu Tante selingkuh dan ngelakuin banyak salah, dia tetap mau menuruti apa yang Tante inginkan."

"Termasuk dekat dengan aku?" Sore itu, Bianca berani menanyakan hal yang seharusnya ia sendiri sudah tahu jawabannya.

"Iya. Kedekatan kalian memang dipaksakan, tapi, Tante melihat semakin ke sini kalian memang dekat karena sudah terbiasa."

Ya, Bianca memang mengakui jika waktu membuatnya terbiasa. Terbiasa dengan kehadiran Gavin.

"Do you love me?"

Rahang Gavin hampir jatuh saat indera pendengarannya dengan jelas menangkap pertanyaan Bianca. Kapan kiranya, Bianca akan berhenti menanyakan hal aneh dan membuatnya tidak emosi.

"Enggak." Gavin mengambil napas dalam-dalam lalu ia embuskan secara perlahan. "Gue lagi cinta sama Jisoo," ungkapnya tanpa rasa bersalah.

"Gak apa-apa. Gue bakal tanya lagi kapan-kapan," ujar Bianca menyalakan lampu berbentuk bulan di tangannya.

Cahaya kuning temaram samar terlihat di antara Bianca dan Gavin. Sejenak, Gavin merasa tertarik jauh lebih dalam pada tatapan mata Bianca. Sinar dari lampu yang dibelinya membuat wajah Bianca seolah bersinar.

"Terima kasih, Gavin," kata Bianca antusias. "Lampunya nyala. Cantik."

Benar. Cantik.    

Sialnya, Gavin justru menganggap jika Bianca lah yang sekarang terlihat cantik. Matanya berpendar seperti bintang yang menemani rembulan.

"Ambilkan bulan, Vin ...." Bianca mulai bersenandung kecil dengan senyuman di bibir sampai ke mata.

Ada yang terpesona. Diam-diam ada yang mengagumi makhluk yang katanya pengganggu karena mengusik kehidupannya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Senyuman Bianca rupanya begitu mudah menular pada Gavin.   

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang