Seperti kertas yang disiram minyak, kabar tentang Esta menyebar begitu cepat. Banyak yang memandang Esta dengan tatapan tak mengenakan. Tak jarang kata jahat dilontarkan ketika Esta lewat di hadapan segerombol siswa yang tukang buat onar. Bahkan, teman sekelasnya saja mencemooh tak berperasaan.
"Ta, gak mau ke kantin?" Oke, itu sebenarnya pertanyaan buruk dan tak seharusnya Bianca tanyakan. Namun, ia sudah kehabisan kata untuk mengajak Esta berbicara. "Ta...."
"Lo gak usah sok peduli," potong Esta cepat. "Lo kalau mau ke kantin pergi aja sendiri. Gak usah ngurusin gue."
Nyali Bianca langsung menciut. Meski ia tahu yang dilakukan Esta salah, tapi ia tetap yakin jika teman sebangkunya itu memiliki alasan. Lagi pula sudah banyak kebaikan yang dilakuan Esta untuknya. Bukankah tidak seharusnya ia ikut menjauhi Esta hanya karena hal ini?
"Lo jangan dekat-dekat sama Esta. Hati-hati nanti Papa lo digebet sama dia," bisik bendahara kelas saat melewati Bianca. "Jagain Gavin, Bi. Bisa aja Esta ngambil Gavin lagi."
"Gue mau bayar uang kas." Bianca merogoh saku roknya dan mengeluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan. "Nih, catat. Gue udah bayar ya. Sana dah balik," usirnya terang-terangan.
"Lah, lo kemarin baru bayar uang kas."
"Gak apa-apa. Udah sana catat kalau gue udah bayar kas."
Setelah bendahara kelas yang super galak itu pergi, Esta tersenyum miring. Bianca terlihat menyebalkan di matanya sekarang. Cara cewek itu mengajaknya bicara dan tersenyum membuat ia muak. Esta benci orang munafik seperti Bianca.
"Gue muak lihat muka lo," aku Esta berhasil menarik kembali perhatian Bianca. "Lo mending jauh-jauh dari gue. Lo bisa pindah tempat duduk sama yang lain. Jangan ganggu gue."
Bianca melongo. Esta mendadak banyak berubah sejak kejadian itu terjadi. Apalagi setelah para guru tahu dan berakhir Esta dipanggil ke ruang guru. Meski tidak mendapatkan hukuman secara fisik, Esta mendapat sanksi sosial. Dijauhi teman-teman dan kehilangan banyak orang yang dulu berlomba-lomba mengaku mengaguminya.
"Gue ke kantin dulu. Dan, soal permintaan lo buat gue pindah tempat, itu gak mungkin. Gue bakal tetap duduk di samping lo." Bianca memamerkan senyumannya sebelum benar-benar melenggang keluar kelas.
Selain hubungannya dengan Esta yang mendadak dingin, Bianca juga merasakan kalau hubungannya dengan Gavin ikut berubah. Ia sendiri bingung harus mengartikan perubahan hubungannya dengan Gavin itu ke arah yang baik atau buruk.
"Babi!" Gavin melambaikan tangannya pada Bianca yang baru saja keluar kelas. "Babianca," katanya sekali lagi.
"Bisa gak kalau manggil tuh langsung aja gitu? Gak usah pake babi, babi, babi dulu kayak gitu." Tangan Bianca begitu ringan melayangkan sebuah cubitan di perut Gavin. "Mau ketemu sama Esta ya?" tanya Bianca setelah selesai menyalurkan amarah.
Gavin masih sibuk memegangi perutnya yang terkena capitan kepiting kecil. "Enggak. Gue mau ketemu lo. Mau ngajak lo ke kantin."
Dan di antara banyak orang yang membenci Esta, Gavin masih tetap setia bersama Esta. Cowok itu seakan buta dan tuli. Ia masih menunjukan rasa pedulinya meski tidak seperti dulu.
Hari itu, Gavin memang marah pada Bianca. Satu hari penuh mogok bicara dan menganggap cewek cerewet itu seolah tak ada. Namun, siapa yang mengira besok malamnya, Gavin datang membawa 10 tusuk sempol ayam dan meminta maaf pada Bianca.
"Gue gak suka sempol. Gue lebih suka basreng yang pedes." Bianca yang akal sehatnya sisa seperempat malah membahas buah tangan dari Gavin. "Lo mau beliin gue basreng gak? Gue mau basreng, tapi kata Papa gak boleh," ungkapnya terdengar sedih.
"Gue ke sini mau minta maaf sama bahas masalah Esta loh," kata Gavin berusaha sabar. "Lo kenapa malah minta basreng sama gue? Tapi gak apa-apa, besok gue beliin."
Malam yang dingin untuk hati Bianca yang terasa hangat. Gavin datang meminta maaf tanpa pernah ia bayangkan sebelumnya. Meski ia yakin Gavin aslinya gengsi, tapi cowok itu tetap mau mengatakan kata maaf dan menyadari kesalahannya yang tak seberapa itu.
"Gue merasa kenal Esta dengan baik. Gue belum sepenuhnya lupa sama perasaan gue terhadap Esta, tapi gue juga gak bisa bohong kalau gue sedikit kecewa sama dia."
"Gue minta maaf karena kemarin pagi udah kayak orang gila membentak lo. Gue cuma gak bisa nerima kenyataan kalau sebenarnya ternyata gue gak kenal bagaimana Esta yang sebenarnya. Gue terlalu dibutakan sama rasa yang gue miliki untuk dia."
Sejak malam itu, semuanya terasa berubah. Gavin yang kecewa pada Esta tidak menarik diri dan tetap peduli. Hanya saja, sekarang dirinya menjadi lebih dekat dengan Bianca. Sebut saja Gavin jahat. Sebab, Bianca tanpa sadar ia jadikan sebagai pelarian agar bisa lupa dari Esta.
Semuanya sudah terlalu jauh. Perjodohan. Orang-orang yang percaya jika Gavin dan Bianca berpacaran, Esta yang selalu memaksa agar Gavin melupakannya, lalu Esta yang memilih menjalin hubungan dengan orang lain membuat Gavin merasa kalau dirinya memang akan lebih baik bersama Bianca. Entah akan bagaimana ke depannya, setidaknya ia sekarang harus memastikan kalau keluarga baik-baik saja dengan cara mendekati Bianca.
"Esta jadi gampang marah sejak kejadian itu, Vin." Bianca menyuap satu sendok kuah bakso ke mulutnya.
"Vin, traktir dong." Tidak ada angin apalagi hujan, Martin tiba-tiba datang dan mengambil posisi duduk di sebelah Gavin. "Aduh, Bianca makin hari makin cantik aja."
"Cih, najis banget mulutnya," sindir Gavin, melirik Martin dengan tatapan menghunus. "Tumben amat lo ke kantin. Gak nongkrong di kelas dedek gemes lo?"
Martin mencomot salah satu gorengan yang ada di depan Gavin. "Gue udahan sama dia. Sekarang gue lagi dekat sama Teresa kelas 11."
"Lu kata gue mending tobat sih, Tin."
"Itu namanya seleksi, Gavin," timpal Bianca dan langsung mendapat tatapan tajam dari lawan bicara. "Martin cuma mau mencari yang terbaik. Kalau sekarang dia putus dan cari yang baru, itu artinya dia belum nemu yang baik."
Gavin menggeleng tak percaya mendengar penuturan barusan. Luar biasa! Bianca semakin tak waras semenjak bergaul dengan Martin yang sama gilanya. "Cocok kalian berdua," kata Gavin memberi komentar.
Bianca dan Martin tertawa bahagia. Melihat wajah Gavin yang lelah sekaligus frustrasi adalah sebuah kebahagiaan.
"Bi, Esta jadi jarang kelihatan keluar kelas, ya?" Martin menyadari kalau akhir-akhir tak pernah melihat keberadaan Esta selain di kelas. "Padahal gue masih mau temenan sama dia kok. Gue gak masalah sama kesalahan yang dia perbuat. Lagian gue yakin kalau ada alasan yang masuk akal kenapa dia melakukan itu."
"Lo juga kenapa gak dekat lagi sama Esta, Vin? Kenapa lo gak ada di samping dia?"
"Gue udah berusaha. Esta selalu mendorong gue dari jangkauannya. Dia yang menyuruh gue buat lupa dan menjauh," jawab Gavin tersenyum samar. "Gue selalu menawarkan payung buat dia. Sayangnya, dia suka hujan dan lebih memilih hujan-hujanan."
Sejenak, Bianca tertegun mendengar kalimat yang dikatakan Gavin. Ia tahu jika Gavin sudah berusaha tetap dekat dengan Esta, tapi selalu mendapat penolakan dan kalimat tak enak didengar.
"Gue akan selalu peduli sama Esta. Sampai kapanpun itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...