Bianca tidak pernah mengira kalau dirinya akan mendapat kunjungan malam dari Gavin. Namun, Bianca sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Gavin untuk kunjungannya kali ini.
"Pasti mau bahas Esta, kan?" Bianca memperhatikan Gavin dari balik gorden kamarnya.
Tidak perlu menunggu lama, Bianca langsung berlari keluar kamar sebelum orang lain mengetuk pintu kamarnya. Dia harus menyambut kedatangan Gavin dengan hangat, bukan?
"Selamat malam." Bianca membuka pintu, berhasil menghentikan Gavin yang hendak menekan bel. "Ada gerangan apa kiranya sehingga seorang Gavin Malviano berkunjung selarut ini?" tanya Bianca, nada bicaranya sengaja dibuat-buat.
"Orang tua lo udah tidur? Gue mau marah soalnya." Gavin mencoba melihat keadaan di dalam rumah Bianca. "Gue mau bahas soal Esta," tambahnya.
Bianca sudah menebak kalau hal ini akan terjadi. "Di depan ada taman. Mau ke sana?" tawar Bianca.
"Lo kalau gue bunuh gimana? Orang gue mau marah malah ditawarin ke tempat yang sepi. Lo gak takut?" Gavin ingin membenturkan kepala pada tembok setiap kali berbicara dengan Bianca. Tak pernah terlintas dalam benaknya jika ia akan bertemu cewek menyebalkan sekaligus gila seperti Bianca.
Tawa Bianca terdengar di antara angin yang berembus kencang. "Enggak, tuh. Lagian gue percaya lo gak sejahat itu."
"Lo kenapa bilang kayak gitu sama Esta, sih? Gue baru aja mau jadian sama dia, loh." Gavin mondar-mandir di depan Bianca. "Gue udah lama suka sama dia, sebentar lagi gue bisa dapatin Esta. Dan, lo malah datang buat semuanya jadi kacau."
"Gak jadi ke taman?" Bianca bersandar pada pintu yang sudah kembali ditutup. "Gue cuma mau menjelaskan sama dia. Lagian Esta cuma anggap lo sahabat doang," sambungnya tetap santai dan tidak merasa bersalah.
Gavin tahu itu. Namun, tidak seharusnya Bianca mengatakan hal seperti itu pada Esta. Sayangnya, mau dikatakan seperti apa pun, Bianca tidak akan menurut. Cewek itu sepertinya keras kepala.
"Gue gak bisa, Bi," tukas Gavin. "Gue gak bisa terima perjodohan ini. Gue gak suka sama lo, gue takut nantinya malah nyakitin hati lo." Sorot mata Gavin mendadak berubah. Kakinya berdiri tepat di hadapan Bianca. "Gue tahu kalau ini terjadi untuk menepati janji, tapi apa bisa kalau secepatnya kita akhiri?"
Bianca sempat termangu melihat mata kecokelatan Gavin yang menatapnya secara intens. Tatapan putus asa sekaligus penuh pengharapan. "Gue gak bisa. Gue akan tetap setuju karena mau buat Papa bahagia."
"Tapi apa lo bahagia dengan semua ini? Enggak, kan?" Gavin menebak isi kepala Bianca dengan telak.
Bahagia. Perihal kebahagiaannya, Bianca tidak pernah peduli. Bahkan, Bianca merasa tak berhak bahagia saat papanya merasa lara.
"Gue bahagia. Lo gak usah sok tahu." Bianca mencibir Gavin. "Tante Melan sering bilang kalau lo tuh baik banget. Jadi, ya gue yakin bakal bahagia sama lo, sih."
"Lo udah suka sama gue?"
"Belum ... gak tahu bakal suka atau enggak. Tapi, gue yakin gak bakal suka sama lo."
"Nah, itu udah tahu. Seharusnya lo gak usah setuju. Lo bisa cari cowok lain buat jadi pacar lo nantinya."
Bianca mengedikan bahu, ia tidak peduli cowok lain kalau orang tuanya ingin Gavin menjadi pasangannya. "Gue maunya lo. Sesuai keinginan Papa."
Seharusnya, Gavin tahu jika berbicara dengan pasti akan berakhir seperti ini. Darah rendahnya sudah dipastikan naik kalau ngobrol sama Bianca.
"Bi, gue suka banget sama Esta, sumpah," ujar Gavin seolah informasi itu begitu penting.
"Lah, terus gue harus gimana? Esta gak suka sama lo, Vin." Bianca menjentikkan jari di depan wajah cowok itu. "Percaya sama gue, Esta gak suka sama lo. Dia gak tertarik sama lo."
"Pedes amat mulutnya," cibir Gavin, sedikit tak terima jika Bianca juga tahu bagaimana perasaan Esta terhadap dirinya.
Bianca tersenyum samar. Gavin sangat mudah ditebak. "Udah selesai belum marahnya? Kalau udah, lo mending buruan pulang soalnya gue udah ngantuk."
"Cih, lo kok ngusir gue?"
"Terus mau gimana? Lo mau gue tawarin mau nginep atau enggak gitu?" Bianca mencibir seperti biasa. "Besok antar gue beli kue. Ini bukan permintaan, tapi perintah."
Gavin mendelik. Level menyebalkan Bianca sudah berada di titik tertinggi. Sehingga membuatnya terus menghela napas kasar agar tidak meraup wajah mungil Bianca saking gemasnya.
"Sono tidur. Gue mau balik." Gavin membalikan badan lalu benar-benar pergi.
Senyum Bianca kembali terbit. Memikirkan apa yang dipikirkan oleh kedua orang tuanya dulu sehingga ada acara jodoh menjodohkan ini?
"Setidaknya kalau gue gak bisa jatuh cinta sama Gavin .... maka Gavin yang harus cinta sama gue." Ide cemerlang itu membuat Bianca tertawa pelan. "Betul. Kalau Gavin suka gue, berarti perjodohan ini bakalan terus berlanjut," tambahnya lalu cekikikan.
"Tapi, kalau Gavin suka sama gue, terus gue tetap gak suka dia gimana?" Bianca membuka pintu lalu masuk. "Ah, udah lah bodo amat. Gue mau tidur, besok kan ulangan. Gue gak mau gara-gara mikirin Gavin nilai gue jadi jelek."
Salah satu membuat papanya bangga dan bahagia adalah dengan berprestasi di sekolah. Bianca memang hampir muak pada angka dan tulisan di buku pelajaran. Namun, itu tidak lagi ia pedulikan. Papanya datang ke sekolah, lalu pulang membawa laporan hasil belajarnya dengan senyuman yang terukir jelas.
"Kamu gak bisa berhenti suruh Bianca les, Mas? Aku kasihan lihat dia les setiap hari."
"Itu memang tugas dia sebagai seorang pelajar, kan?" Suara berat itu menjawab pertanyaan barusan begitu datar. "Memangnya Bianca kalau tidak les mau ngapain? Keluyuran di luaran sana dan bergaul dengan orang-orang gak jelas?" tanyanya.
"Aku tahu maksud kamu baik, Mas. Tapi, kamu harus mengurangi jadwal les Bian. Kasihan dia gak ada waktu buat istirahat."
"Bianca senang. Dia tidak protes dan menjalaninya dengan santai."
"Mas, gak paham! Bianca juga punya batas kali, Mas. Masa setiap hari harus belajar terus."
Pada saat seperti ini lah, Bianca merasa bersalah. Mamanya selalu membela dan menginginkan sedikit kebebasan untuk dirinya. Sekolah, les dengan berbagai macam mata pelajaran, les piano, les biola, dan berbagai macam les lainnya yang harus Bianca ikuti.
Jika ditanya apa Bianca lelah, maka jawabannya tentu saja. Sayangnya, perasaan itu seketika lenyap ketika papanya tersenyum bangga dan memeluknya dengan erat. Energi Bianca yang hampir habis seketika terisi kembali sampai penuh.
Bianca harus les piano karena mendiang ibunya pandai bermain piano. Bianca harus les biola karena dulu, ibunya sangat ingin bisa bermain biola. Bianca juga harus ikut kursus memasak. Tentu saja alasannya karena mendingan ibunya juga. Semua ditentukan Fadil atas kehendak sendiri. Tanpa pernah meminta persetujuan Bianca.
"Mas, kamu terlalu memaksakan Bianca. Dia bukan Mbak Reva. Gak semua tentang dia harus ada dalam diri Bianca."
"Kamu gak usah ikut campur. Bianca anak aku sama Reva," jawabnya, kali ini suara itu terdengar keras. "Urusan Bianca biar menjadi urusan aku. Bianca anak aku satu-satunya, aku mau yang terbaik untuk dia."
Apa yang terbaik untuk papanya, akan menjadi yang terbaik juga untuk Bianca?
"Berhenti ikut campur atau aku akan menceraikan kamu. Lagian sebenarnya aku sudah lama tidak menginginkan perempuan mandul seperti kamu."
Bianca berhenti. Sudah cukup ia mendengar kalimat menyakitkan itu. Tanpa tergesa, ia kembali ke kamar sembari berusaha menyulam senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...