About Us | 28

0 0 0
                                    

Katanya, kita tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Menangis karena merasa kehilangan boleh, tetapi jangan sampai meratap.

Gavin mendengar itu sejak semalam. Sejak ia mendengar kabar jika mamanya telah tiada. Para kerabatnya terus mengatakan jika dirinya tidak boleh berlarut-larut dan terus menangis. Maka hari ini, Gavin mencoba berdiri di atas kakinya sendiri. Mencoba kuat dan tidak menangis manakala melihat gundukan merah yang penuh dengan taburan bunga di hadapannya.

"Belum mau pulang?" Bianca melirik Gavin prihatin.

"Sebentar lagi," jawab Gavin lirih.

Bianca mengangguk paham. Ia membiarkan Gavin diam dan terus memandang batu nisan bertulisan nama mamanya. Orang-orang telah kembali ke rumah. Sementara Gavin masih ingin berada di sana, meski tanpa kata dan hanya memandang sekitar dengan tatapan kosong.

Enggan membiarkan Gavin sendirian, Bianca memilih menemani Gavin. Entah sampai kapanpun, Bianca akan menemani Gavin. Seperti janjinya pada Melani pada waktu itu.

"Ayo pulang," ajak Gavin setelah beberapa menit terus diam.

"Ayo." Bianca tersenyum manis seperti biasanya. Ia berdiri terlebih dulu lalu mengulurkan tangan pada Gavin.

Gavin mencoba menarik kedua sudut bibirnya. "Terima kasih."

Jika boleh mengatakan yang sebenarnya, Bianca lebih suka jika melihat Gavin tidak bisa diam seperti biasanya. Yang suka mengejeknya karena hal sepele, yang sering mendebatnya karena tidak berada dalam tim yang sama, dan hal lainnya yang membuat Gavin emosi padanya.

"Papa beneran lagi bahagia kayaknya," celetuk Gavin. "Semalaman gue coba telepon sama sekali gak dijawab."

"Jadi, Om Arya belum tahu kalau Tante Melan meninggal?" tanya Bianca memastikan.

Gavin menggeleng pelan. "Enggak. Gue gak tahu Papa ada di mana. Tapi gue yakin kalau Papa lagi sama anak dan istri barunya."

Mendengar pernyataan Gavin membuat Bianca merasa pilu. Ia meraih tangan Gavin untuk digenggam. "Om Arya pasti pulang. Nanti lo bicara baik-baik sama beliau," katanya terdengar lembut. "Gue pikir, Om Arya udah harus tahu kalau selama ini, lo tahu apa yang telah terjadi di antara Om Arya dan Tante Melan."

Bianca harus mengakui kalau Gavin pandai menyimpan rahasia. Cowok itu menyimpan semua yang diketahuinya dengan baik. Tentang Melani yang sering berganti 'pacar', juga tentang keluarga lain yang dimiliki oleh Arya.

Gavin menyimpan itu sendirian. Bersikap acuh dan menunjukan jika dirinya memang tidak tahu apa-apa. Gavin hanya mendengar apa yang dikatakan orang tuanya; tidak perlu ikut campur.

"Nanti gue bakal coba bilang sama Papa," balas Gavin. "Omong-omong, lo dibolehin bolos sama Om Fadil?"

"Boleh," jawab Bianca singkat.

Semalaman Bianca mencoba membujuk papanya agar diizinkan untuk tidak masuk sekolah. Berbagai macam alasan dan janji ia berikan agar bisa mendapat izin. Sampai akhirnya ia berhasil.

"Aku bakal batalin perjodohan aku sama Gavin, kalau Papa gak izinin aku bolos sekolah."

Tepat sekali. Bukan alasan dan janji yang Bianca gunakan untuk meluluhkan hati papanya. Rupanya ancaman itu cukup berhasil membuat papanya tersentak dan berpikir dua kali.

"Katanya, Papa mau lihat aku sama Gavin bareng sesuai janji dan keinginan Bunda. Ya udah biarin aku bolos buat nemenin Gavin di hari-hari terpuruknya," jelas Bianca tersenyum penuh arti.

"Oke. Besok kita ke sana bareng. Biar Papa yang urus surat izin kamu."

Sejujurnya, Bianca tidak pernah mengira jika ancaman aneh itu akan berhasil membuat dirinya saat ini sedang menemani Gavin duduk di balkon kamar cowok itu.

"Penyesalan tuh emang selalu ada di akhir ya?"

"Ya kalau ada di awal itu pendaftaran kan?" Bianca mencoba tidak menertawakan pertanyaan konyol Gavin. "Kenapa? Lo menyesal karena di beberapa kesempatan, lo gak bisa bersikap baik sama Tante Melan?" tanyanya kembali memastikan.

Kepala Gavin mengangguk lemah.

Bianca mengembuskan napas pelan. Dilihatnya Gavin yang sedang memandang lurus ke depan. "Lo udah jadi anak yang baik buat Tante Melan kok, Vin. Tante Melan sendiri yang bilang sama gue."

Kali ini perhatian Gavin ditarik paksa oleh pernyataan Bianca. "Gimana caranya gue jadi anak yang baik buat Mama kalau kerjaan gue cuma ngambek gak jelas tiap kali lihat Mama jalan sama cowok?"

"Itu wajar, Vin. Kayaknya gue pun bakal melakukan hal yang sama kalau berada di posisi lo," ungkap Bianca.

"Lo tetap jadi anak yang baik di mata Tante Melan. Lo masih cium tangan Tante Melan setiap mau berangkat sekolah, mau dekat sama gue sesuai permintaan Tante Melan. Lo baik, Vin. Lo selalu baik sama Tante Melan."

Bianca selalu mendengar cerita baik tentang Gavin dari Melani. Perempuan cantik itu selalu mengatakan jika dirinya begitu bersyukur karena memiliki seorang anak seperti Gavin.

"Gavin selalu baik sama Tante. Meski Gavin tahu bagaimana sikap Tante, dia tetap mau bersikap baik. Gavin yang selalu terlihat acuh di hadapan Tante, diam-diam setiap malam suka datang ke kamar untuk memastikan kalau Tante baik-baik saja atau tidak setiap habis berantem sama Om Arya."

Dan sejuta lainnya lagi cerita tentang Gavin yang Bianca dengar dari Melani. Bianca yang awalnya tak begitu peduli, mulai tertarik sejak Melani selalu datang membawa cerita baru tentang putra kesayangannya.

"Lo jelek kalau lagi serius kayak gini." Gavin mengusap pipi Bianca yang basah. "Jangan nangis dong," katanya mulai kewalahan melihat cewek di sebelahnya tersedu.

Ah, Bianca sejak dulu memang cengeng. Meminta pada Gavin untuk tidak menangis dan bersedih, tetapi dirinya sendiri yang sekarang menangis karena mengingat kebersamaannya dengan Melani.

"Bi, udah ya," pintanya mencoba tersenyum.

Bianca tidak pernah menyangka jika Melani akan pergi secepat ini. Mulai hari ini, tidak akan ada lagi yang datang secara tiba-tiba dan meneleponnya di saat ia sedang fokus belajar.

Hanya untuk sekadar menanyakan kabar dan memastikan jika hubungan antara dirinya dan Gavin baik-baik saja.

"Gue minta maaf. Seharusnya gue kasih tahu tentang Tante Melan lebih awal. Supaya lo punya waktu lebih banyak dan bisa lebih paham tentang Tante Melan."

"Lo gak perlu minta maaf, Bi. Lo cuma melakukan apa yang diminta sama Mama. Lo gak salah apapun." Gavin membawa kepala Bianca agar bersandar pada bahunya. "Gue justru berterima kasih karena lo mau mendengarkan setiap cerita yang dibawa Mama."

"Semuanya tentang lo, Vin," balas Bianca jujur.

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang