Gavin yakin ada yang salah dengan dirinya akhir-akhir ini. Belakangan ini, ia mudah sekali emosi melihat kedekatan antara Bianca dan James. Rasa tidak suka mendadak muncul ketika melihat Bianca tertawa karena James. Detik berikutnya, ia bisa saja menjadi tersenyum saat Bianca lari ke arahnya sembari melambaikan tangan dan tersenyum lebar. Benar-benar aneh.
Perasaannya pada Esta seakan mulai terkikis. Meski begitu, ia tetap peduli dan berusaha membuat Esta kembali mendapatkan rasa percaya dirinya. Selalu berusaha ada ketika Esta meminta bantuan, walaupun sekarang Esta tak pernah meminta bantuannya lagi.
"Gavin." Esta menepuk pundak Gavin dengan gerakan pelan. "Gue boleh duduk di sini?" tanyanya, sedikit canggung.
Melihat kedatangan Esta membuat Gavin langsung mengangguk. Ini adalah kali pertama Esta menginjakkan kaki di kantin setelah kejadian itu. Sepertinya orang-orang sudah mulai lupa karena Esta tak lagi jadi pusat perhatian.
Tangan Gavin menepuk pelan bagian kosong di sebelahnya. "Duduk aja, Ta. Temenin gue makan. Si Martin lagi ganjen gak tahu makan sama siapa."
Esta duduk tepat di sebelah kanan Gavin. Ia melemparkan senyuman manisnya. "Bianca lagi sama James?"
"Ya begitulah," jawab Gavin terkekeh pelan.
"Gak heran sih, soalnya kalau di kelas juga mereka berdua dekat banget."
Haruskah Gavin mengatakan jika ia sedang tidak ingin membahas Bianca dan James?
Esta menopang dagu menggunakan tangan kanan, tatapannya terpaku pada Bianca dan James. Beralih fokus, ia berpindah pada Gavin yang sedang menyedot es jeruk secara cepat.
"Gue rasa James suka sama Bianca, dan sepertinya cinta mereka gak bertepuk sebelah tangan."
"Lo gak mau pesan apa gitu?" Gavin berdeham pelan. "Lo pasti lapar, Ta. Tunggu sebentar ya biar gue beliin makanan," tambahnya lalu tanpa permisi meninggalkan Esta sendirian.
Di tempatnya, Esta tersenyum kecut. Ternyata ada banyak hal yang telah berubah sejak kejadian sial itu menimpanya. Tidak. Haruskah ia mengatakan sial jika memang hal tersebut ia lakukan? Kali ini, Esta tertawa pelan. Menertawakan hidupnya yang sudah banyak berubah.
Pandangan matanya kali ini jatuh pada Bianca yang sedang tertawa bersama James. Ah, lihatlah. Hidup Bianca memang terlalu sempurna. Berasal dari keluarga kaya raya, memiliki orang tua yang penuh kasih sayang, dianugerahi otak yang cemerlang, dan jika harus Esta jelaskan perbandingan antara dirinya dengan Bianca akan terlihat sangat jelas.
Jujur saja harus Esta akui jika ia menaruh rasa iri pada Bianca. Terlalu iri sampai ia membencinya.
"Gak mungkin lo udah gak suka sama siomay, kan?" Gavin datang membawa sepiring siomay dan es teh.
"Oh, bagus lo masih inget sama makanan kesukaan gue," balas Esta menerima pemberian Gavin dengan senang hati. "Gue pikir lo udah lupa sama gue."
Bagaimana bisa lupa jika di saat yang lain menjauhi Esta, Gavin tetap peduli dan hampir datang setiap hari ke kelas Esta untuk menanyakan kabar cewek itu. Sayangnya, niat baiknya selalu ditolak dan diacuhkan begitu saja oleh Esta. Gavin tetaplah Gavin, yang tidak peduli meski hari ini diacuhkan, dan akan kembali datang keesokan harinya.
Esta memasukan sepotong kol ke mulutnya. Terasa nikmat. Rasanya ia sudah lama tidak menikmati siomay ini. Semua gara-gara ulah Rania yang kurang ajar itu.
"Gue takut lo makin dekat sama Bianca jadi lupa sama gue," kata Esta selesai menelan makanannya. "Lo makin dekat sama Bianca, gue senang lihatnya."
Gavin tertawa pelan. "Enggak lah. Mana mungkin gue lupa sama lo. Lagian gue sama Bianca cuma temenan."
"Bagus kalau gitu," sahut Esta cepat. "Lo sama dia emang lebih cocok temenan. Meski lo sama dia dijodohkan, lo gak bisa maksain perasaan lo buat dia."
Ternyata bukan hanya dirinya saja yang aneh dan merasa berubah. Esta juga. Gavin masih mengingat jelas bagaimana gigihnya Esta mengatakan jika dirinya harus belajar membuka hati untuk Bianca. Namun, kenapa sekarang jadi berbeda? Kenapa Esta seakan lupa pernah menjadi orang terdepan yang mencoba mendekatkan dirinya dengan Bianca?
Esta menyenggol pelan lengan Gavin. Ia sadar jika pikiran cowok itu sedang melalang buana entah ke mana. "Kenapa? Ada yang salah sama omongan gue?" tanyanya.
"Enggak," jawab Gavin.
"Daripada sama lo, Bianca kayaknya lebih cocok sama James." Esta kembali melanjutkan membahas Bianca.
"Tapi gue udah pacaran sama Bianca," kata Gavin secara tidak sadar.
Tawa Esta terdengar sebagai jawaban atas pernyataan Gavin. "Lo gak bisa bohong sama gue, Vin. Lo sama Bianca gak pacaran. Gue tahu itu kebohongan yang dilakukan sama Bianca."
Rupanya Gavin mulai menyadari perubahan sikap Esta. Bukan. Esta yang ia kenal sebelumnya tidak seperti ini. Ia hapal betul rasanya, bahkan dari nada bicaranya saja Esta yang dulu tidak pernah ketus seperti sekarang.
Gavin mengalihkan pandangannya pada Bianca yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya. "Ya, mau bagaimana pun, orang-orang tahunya gue pacaran sama Bianca. Jadi, entah itu benar atau tidak, gue gak masalah selama gak merugikan siapapun," jelas Gavin mencoba tenang.
"Lo jelas-jelas dirugikan, Gavin." Esta menaruh sendok di tangannya secara kasar. "Lo dipaksa sama dia. Gue tahu lo gak suka sama dia, dan itu jelas-jelas merugikan lo, Vin," ungkapnya dengan nada suara yang lebih tinggi daripada biasanya.
"Enggak. Gue gak merasa dirugikan sama Bianca," sanggah Gavin langsung.
Obrolan sengit itu berhenti saat Martin datang dengan cengiran di wajahnya. Ia datang seperti biasa dan langsung menegak sampai tandas minuman milik Gavin. Tanpa merasa berdosa, ia juga menghabiskan makanan yang dipesan sahabatnya itu.
"Lo anjir banget ya jadi orang," ketus Gavin geleng-geleng kepala melihat tingkah Martin yang sudah sangat biasa di matanya.
"Gue lapar. Tadi, gue malah keasyikan pacaran di kelas sama pacar baru gue."
"Najis, belum tobat juga ternyata."
"Wih, ada bidadarinya Gavin, nih." Martin mengacuhkan Gavin dan memilih menatap Esta. "Aduh, gue kangen sama lo, Ta. Welcome, Esta cantik yang gak bisa dimiliki oleh Gavin," cerocosnya lalu bertepuk tangan heboh.
Esta memamerkan senyuman manis seperti biasanya. Bahkan, ia juga merasa rindu pada Martin meski sesekali dirinya berpapasan ketika hendak pulang. "Gak baik ngomong gitu. Sekarang, Gavin udah punya pacar."
Martin mengibaskan tangan seraya berdecak kecil. "Yang lain boleh tahu kalau Gavin pacarnya Bianca, tapi yang lain kan gak tahu kalau di hatinya Gavin masih ada seorang Esta Janenara," bebernya tersenyum bangga.
Aduh, ini teman siapa, sih? Gavin rasanya ingin menukar Martin dengan satu liter minyak goreng atau satu kilo gula putih. Lebih bermanfaat daripada Martin yang senang berceloteh dan membuat suasana menjadi runyam.
"Lo yakin Gavin masih suka sama gue?" tanya Esta pada Martin.
"Yakin." Jawaban yang terdengar begitu yakin.
"Tin, lo kata gue mending lanjut pacaran aja, sih." Gavin menendang pelan kaki Martin yang kebetulan dekat dengan kakinya.
Martin terbahak-bahak melihat wajah Gavin yang begitu kesal. "Ta, Gavin tuh dari dulu sukanya sama lo. Mau siapapun yang akan ada di dekatnya, hati Gavin akan tetap milik lo."
Benarkah? Gavin sendiri kebingungan dengan perasaannya akhir-akhir ini. Lalu, manusia yang otaknya kurang setengah ons itu sudah berkoar-koar pada Esta mengenai perasaannya.
"Vin, lo masih suka sama gue? Setelah apa yang terjadi sama gue, lo masih punya perasaan untuk gue?"
Kali ini, Gavin membisu. Matanya bertemu dengan Bianca yang kali ini sedang menatap ke arahnya sembari tersenyum manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...